SEBENING CAHAYA CINTA 24. **PoV Cahaya. Aku terperanjat ketika mendengar suara bariton yang menyapaku. "Cahaya, sudah lama datang?" "Eh, Pak Pras. Baru saja," "Kenapa gak ke dalam?" tanyanya lagi lembut. "Anu, Pak. Mbak Rahma sedang tertidur. Nggak enak juga membangunkannya. Tadi saya juga udah bertanya sama suster dan suster bilang Mbak Rahma sudah dikasih obat jadi tertidur sementara. Ya udah biarin aja dulu Mbak Rahma istirahat Nanti saya akan datang lagi kemari," kataku canggung. Entah kenapa rasa canggung itu menyelimuti diriku. Jika saja Mbak Rahma tidak mengatakan yang tidak tidak kepadaku. Mungkin aku tidak merasakan hal seperti ini. Mbak Rahma mengundangku datang ke rumahnya beberapa waktu yang lalu dan dia menyuruhku untuk menggantikan posisi dia sebagai istri untuk suaminya, Pak Pras. Tentu saja aku mikir-mikir dan nggak masuk akal. Aku berpikir, itu hanya suara hati Mbak Rahma yang merasa sedih karena dia menderita penyakit berbahaya. Tapi, tidak sepatunya dia me
"Sebelumnya saya mohon maaf sama kamu. Mungkin apa yang dikatakan Rahma mengganggu pikiran kamu. Kamu tidak perlu terlalu memikirkannya," kata Pak Pras. "Iya, Nggak kok, Pak. Saya sama sekali nggak memikirkannya. Lagi pula saya tahu Mbak Rahma cuma bercanda. Tidak serius dengan itu. Saya mendoakan kesembuhan Mbak Rahma. Semoga Mbak Rahma lekas sembuh dan bisa berkumpul lagi dengan keluarga. Bisa kembali lagi beraktivitas seperti biasa," kataku gak enak hati. Aku bingung mau ngomong apa. Aku juga cuma meringis tanpa berani menatap lawan bicaraku. Rasanya gak pantas saja. Gara-gara Mas Arman aku jadi ilfeel dengan diriku sendiri. Aku merasa belum bisa menikah apalagi menjalin hubungan serius. Jatuhnya, aku lebih ke takut sih. Takut memenuhi benakku. Takut kecewa, takut menderita, dikhianati, di jelekkan, macam-macam rasa takut memenuhi dadaku. "Dokter bilang umurnya sudah gak lama lagi. Saya tahu kalau Dokter bukan Tuhan. Jujur saja saya merasa bersedih kalau kehilangan dia. Setiap m
SEBENING CAHAYA CINTA 25. **PoV Cahaya"Kalian sudah saling ngobrol?" tanya Mbak Rahma dengan senyum terpaksa. "Enggak kok, Mbak. Tadi kami nggak sengaja ketemu aja dan bicara sebentar. Aku segera kemari untuk melihat Mbak Rahma. Sekarang bagaimana kondisi Mbak Rahma? Apakah sudah lebih baik atau seperti apa? Semoga Mbak Rahma cepat sembuh ya," kataku berbasa basi. Jujur saja aku bingung mau mengatakan apa. Nggak mungkin aku mengatakan Kalau kami tadi ngobrol-ngobrol di Kafe mungkin akan membuat dia semakin terpukul. Aku juga nggak tahu dari mana Mbak Rahma punya pikiran untuk memberi tempat kepadaku dan juga Pak Pras untuk bersama ketika dia nggak ada. "Nanti Mbak kemoterapi, sekarang lagi nungguin dokternya."Mbak Rahma masih bisa tersenyum sekilas, dia memperhatikan suaminya yang berdiri di sampingnya bagaikan patung. "Mas, makasih ya kamu udah mau beramah tamah sama Cahaya. Udah mau membuka percakapan dengan dia. Aku semakin yakin dan bahagia," kata Mbak Rahma. Jujur saja,
"Bagus, Mbak," kataku. Kaca yang kubawa kuberikan padanya agar dia melihat wajahnya di cermin. "Alhamdulillah, sangat cantik, Cahaya, terima kasih ya," ucap Mbak Rahma. Aku dan Pak Pras saling melirik satu sama lain dengan perasaan yang campur aduk. Tetapi kami tersenyum manis ke Mbak Rahma seakan-akan kami bahagia berada di ruangan ini sebenarnya aku merasa nggak pantas berada di sini. Tapi, aku juga mengunjunginya yang sakit jadi aku berusaha tenang berada di ruang privat perawatan Mbak Rahma. Tak lama berselang datanglah perawat beberapa orang untuk membawa Mbak Rahma. Mungkin dia mau kemoterapi seperti yang dia katakan barusan. "Suster, bagaimana hijab saya. Bagus, 'kan?" tanya Mbak Rahma. "Bagus, Bu. Cantik sekali. Udah siap, 'kan? Semua mendukung Ibu sembuh," kata Suster memberi motivasi pada Mbak Rahma. "Iya, Sus. Terima kasih," ucap Mbak Rahma. "Cahaya, Mbak mau kemoterapi dulu. Nanti kita lanjut lagi yang ngobrolnya. Sebenarnya masih banyak sekali hal yang ingin Mbak s
SEBENING CAHAYA CINTA 26. **Arman penasaran dengan apa yang di katakan Ibunya dan adik-adiknya. Mereka mengatakan kalau Cahaya adalah Ayu yang menyamar. Dengan hati yang berkecamuk Arman datang ke Toko di mana Cahaya menjual berbagai perlengkapan dan pakaian yang sering dibeli ibunya secara live. Ternyata dia memiliki toko fisik tidak hanya toko online. Arman terkaget benar kata ibunya dari mana Cahaya mendapatkan uang untuk membangun toko yang begitu besar?Rasa-rasanya tak Cahaya mendapatkan uang dari dirinya. Apalagi mengambil uang milik Arman. Selama ini Arman menyimpan uangnya di bank secara benar dan baik. Dia tidak pernah meninggalkan uangnya berceceran begitu saja dia tidak mungkin Cahaya mengambilnya apalagi dalam jumlah besar. Bagi Arman privasi adalah segalanya. Cahaya tak tau apapun mengenai keuangannya dan selama ini aman. Hanya dia bangkrut saja belakangan hari akibat PHK dan diturunkan jabatan. Bersyukur Arman tak kena PHK hanya turun jabatan saja. Arman berdiam dir
"Aku nipu kamu karena kamu memang mudah banget untuk ditipu. Bagaimana bisa kamu gak kenal sama aku? Hubungan kita udah berakhir dan sekarang. Jangan cari aku lagi karena kita juga udah bercerai. Aku tidak ingin kamu hadir dalam kehidupanku. Selamat tinggal!" Cahaya beranjak dia muak ke Arman. Tapi, Arman memegangi tangannya lagi. "Aku nggak mau cerai, Cahaya. Aku ingin kita kembali lagi seperti dulu. Bagaimana bisa kamu punya Toko seperti ini tanpa melibatkan ku. Dari mana kamu mendapatkan uang?!""Itu bukan urusan kamu dan kita sudah ketuk palu perceraian. Salahmu sendiri kenapa kamu tidak pernah datang ke persidangan. Kamu terlalu sibuk dengan urusanmu dan kamu tidak pernah mengabaikan ku sebagai istrimu. Seharusnya kamu malu. Kamu mau balik sama aku karena aku udah punya segalanya. Sekarang aku nggak butuh kamu!" Arman sakit hati dan dia melayangkan tangannya tetapi Cahaya malah menantang. Cahaya sama sekali nggak takut. "Kenapa kamu mau memukul ku? Pukul aku! Aku nggak pernah
SEBENING CAHAYA CINTA 27. **PoV Cahaya. Aku gak habis pikir dengan mas Arman yang datang kemari. Untuk apa dia datang kemari? Aku muak sekali melihat dia. Apalagi dia nggak mau bercerai seperti apa yang dikatakannya. Dulu dia ke mana bahkan menghadiri persidangan saja dia nggak mau. "Pergi, Mas!" "Aku gak terima, Cahaya!" "Gak terima apa?!" "Gak terima kamu bohongin aku!" Aku masuk begitu saja meninggalkan dirinya. Aku memutuskan berada di toko saja hari ini sampai dia pergi agar kami bisa ke kontrakan dengan nyaman. Aku nggak mau Mas Arman mengikutiku ke rumah kontrakan yang baru saja kami tempati. Fikar juga mengusir Mas Arman dia ikut andil. Dengan tegas dia berkata ke mantan suamiku agar tidak menggangguku lagi. Mas Arman masih ingin berbicara denganku tapi aku nggak mau lagi berbicara dengan dia. Aku capek ngomong sama dia. Yang nggak pernah ada habisnya. Aku mendesah dan berharap Mas Arman itu pergi. Benar saja dia melajukan mobilnya pergi. Aku merasa lega ketika dia s
Sementara aku mendatangi bangsal di mana Mbak Rahma sedang menutup matanya. Dia beristirahat tadi kata Pak Pras kondisinya down mungkin sudah ditangani Dokter. "Cahaya, sekali lagi saya minta maaf ya sama kamu karena udah melibatkan kamu dalam hal ini tapi Rahma ingin kamu datang kemari. Katanya ada hal penting yang mau disampaikan. Dia selalu mengatakan kalau memiliki keinginan yang ingin disampaikan kepadamu. Jadi sebelum dia pergi. Dia ingin mengatakannya sendiri," kata Pak Pras. "Pak, Kenapa Mbak Rahma selalu mengatakan kalau dia ingin pergi. Padahal kita nggak pernah tahu kan umur seseorang," kataku pelan. "Iya, saya tahu dan saya selalu marah sama dia. Tapi dia selalu mengatakan itu ke saya.""Saya selalu doakan kesembuhan Mbak Rahma, Pak. Saya tidak ingin dia kenapa-napa. Saya ingin dia sembuh dan sehat seperti dulu lagi." Beberapa saat kami bercerita secara pelan mengenai kondisi Mbak Rahma tiba-tiba wanita itu sepertinya menerima rangsangan dan dia menggeliatkan sedikit t