"Maaf, Pak sebentar. Bapak mengatakan hubungan Bapak dengan Cahaya spesial? Hubungan Seperti apa? Bolehkah Bapak jelaskan sama saya? Jangan buat saya bertanya-tanya karena kami bercerai juga sebenarnya situasi yang tidak saya inginkan." "Hubungan kami spesial dan tidak bisa saya jabarkan sama kamu yang penting saya dekat dengan Cahaya." "Dekat dengan istri saya maksudnya? Apakah kalian sudah lama dekat, Pak sebelum kami bercerai? Kalian dekat?" "Saya dekat dengan Cahaya baru sebulan ini kok. Lagi pula dia bercerai dari kamu sudah 5 bulan yang lalu." "Jangan berbicara sembarangan ya, Mas. Dulu aku sangat jelek dan tidak ada satupun orang yang mau denganku dan aku baru berubah sekitar 5 bulan yang lalu. Aku tahu nggak ada laki-laki yang serius dan benar-benar mencintai wanita dengan sepenuh hati. Tapi itulah yang aku alami seperti kamu yang selalu memandang rendah diriku!" kataku begitu saja. "Arman, intinya saya sama Cahaya itu tidak pernah punya hubungan apa-apa selama kamu masih
SEBENING CAHAYA CINTA 30. **PoV Cahaya**Aku dan Pak Pras bergegas meninggalkan Kafe. Dia terburu-buru setelah menjawab panggilan telepon yang mengatakan kalau kondisi Mbak Rahma kritis. Aku juga terkaget, kritis seperti apa? Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa yang mengkhawatirkan dengan Mbak Rahma. Itu yang selalu ku inginkan dan doakan. Sepanjang perjalanan wajah Pak Pras sangat serius. Aku tidak berani untuk menyapanya. Aku hanya diam saja sesekali meliriknya tetapi kemudian memandang lagi ke depan. Benar saja dia sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun. Mungkin dia berkutat dengan pemikirannya begitu pula dengan ku. Setelah sampai di rumah sakit. Kami bergegas segera berjalan ke ruang privat Mbak Rahma ketika sudah berada di sana ada beberapa orang berkumpul. Seperti yang diketahui kalau Mbak Rahma itu tidak memiliki Ibu lagi. Tetapi dia memiliki Ayah yang sudah menikah lagi dengan wanita lain. Kali ini Ayahnya datang bersama ibu tirinya. Mereka menangis di dekat bang
Setelah selesai membaca surat itu. Dia melirikku. Kayaknya, keinginan Mbak Rahma memang tidak berubah dan aku tidak bisa berkata tidak sebagai orang yang begitu mencintai dan menyayanginya aku harus mengabulkan permintaannya apapun perasaanku. Aku sudah siap untuk Mbak Rahma. Pak Pras mendekatiku dan memberikan surat itu kepadaku. Aku menghapus air mataku secara kasar. Air mata ini tidak boleh hadir, aku tahu Mbak Rahma pasti tidak suka melihat kesedihanku yang begitu besar saat aku berada di sampingnya. Namun, tetap saja aku ini cengeng, sedih. Dia bagaikan Kakak kandungku sendiri walaupun dia bukan siapa-siapa dan tidak punya hubungan apa-apa. Kadang kala orang lain lebih baik dari saudara sendiri. Aku menerima surat dari pak Pras dan kubaca perlahan. Setiap aksara yang dituliskannya membuat hatiku luluh lantak. Perasaanku berkecamuk. Dia seakan-akan selalu saja tahu kapan malaikat maut akan menjemputnya. Mbak Rahma memberikan keinginannya kepadaku untuk ku tunaikan. Assalamuala
SEBENING CAHAYA CINTA 31. **PoV CahayaAku tak orang tua lagi. Yang ku miliki hanya adik kandungku, Fikar. Di mana adik kandungku yang akan menjadi wali pernikahanku. Aku nggak tahu apakah perbuatanku ini benar atau tidak. Tapi aku kasihan sama Mbak Rahma sampai segitunya dia menginginkan aku menikah dengan suaminya. Hingga dia memberikan surat segala sebagai bukti permohonannya dan ini nggak main-main. Penyakitnya nggak main-main. Dia sedang kritis, menghadapi sakitnya penyakit yang dideritanya. Aku tidak mampu untuk menolak permintaannya. Ini adalah perasaan Mbak Rahma dari hatinya terdalam. Ku lirik Pak Pras juga menerima dengan tegar keputusan sang istri agar aku menikah dengan dirinya. Padahal aku belum mendiskusikan tentang pernikahanku kepada Pak Pras. Ah, sudahlah nanti aku akan mendiskusikannya setelah kami menikah. Aku tahu pernikahan ini mungkin tidak pernikahan yang benar-benar. Kami terjebak dalam situasi pernikahan yang memang terpaksa. Nggak tahu bagaimana kedepann
"Selamat ya, Mbak sekarang kamu sudah menjadi seorang istri. Walaupun pernikahan ini sepertinya terburu-buru tapi ini memang sudah takdir kamu. Semoga kamu bahagia," kata adikku, Fikar."Terima kasih, Fikar. Kamu udah membantu Mbak sejauh ini. Mbak nggak tahu apakah ini benar atau salah. Tapi semuanya sudah lega dan sudah selesai. Oh ya sepertinya anak-anak lelah. Tolong kamu bawa aja dulu pulang. Nanti Mbak akan nyusul. Nggak mungkin mereka nunggu di sini seharian. Akan ada hal yang ingin Mbak bicarakan dulu dengan Pak Pras yang sekarang menjadi suami Mbak."Fikar menganggukkan kepalanya dia menyetujui. Rani dan Ratu pulang bersama Fikar. Sebelumnya aku mengecup pipi kedua putriku tersebut. Anak-anakku belum mengerti apa-apa. Mereka juga dengan sopan menyalami anggota keluarga Mbak Rahma dan Pak Pras. "Sayang, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi ya lebih dekat dan lebih akrab," kata Pak Pras memegang kepala kedua buah hatiku. Aku pun kembali duduk di sofa di dalam ruang privat Mbak Rah
SEBENING CAHAYA CINTA 32. **PoV CahayaBersamaan dengan ibu mertuaku, aku bergegas masuk ke ruang privat Mbak Rahma ketika mendengar berita dia kejang. Jujur saja perasaanku nggak enak dan tidak menentu. Pak Pras berlari untuk memanggil Dokter agar Mbak Rahma segera mendapatkan penanganan. Begitu kembali di ruang privat tersebut. Aku memang melihat Mbak Rahma seperti menahan sakit yang luar biasa. Aku menyangka dia akan sakaratul maut. Seperti inilah rasanya. Walaupun dia dalam keadaan koma, tetap saja dia menahan rasa sakit yang luar biasa dan semoga apa yang dirasakannya menjadi penggugur dosanya. Penyakit yang dialaminya ini akan menjadi penggugur dosanya. Mungkin saat Inilah aku diberi kesempatan menuntun Mbak Rahma karena dokter juga belum datang. Aku menuntunnya untuk mengucapkan kalimat talqin. Aku tuntun dia pelan-pelan untuk mengucapkan kalimat lailahaillallah agar Mbak Rahma bisa mengikutiku. Walaupun di alam bawah sadarnya. Aku berupaya agar Mbak Rahma itu mendengarkan
Selebihnya, aku juga nggak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku hanya berdiam sambil terus menangis. Pasti seluruh keluarga dilanda kelelahan luar biasa termasuk juga diriku. Keluarga besar sudah berkumpul di rumah sakit dan Pak Pras sedang berusaha agar jenazah Mbak Rahmah bisa segera dibawa pulang. Aku terus mendampingi karena kalau aku juga pulang tidak enak. Ini adalah situasi yang genting, di mana Mbak Rahma sudah menghembuskan nafas terakhir dan aku harus terus berada di sini mendampingi Pak Pras sebagai suamiku sekarang. Saat ini aku sedang menghubungi Fikar. Memberitahu kalau aku akan pulang lebih lama setelah mengantarkan jenazah ke rumah duka. Mungkin saat itulah aku akan pulang atau tidak tahu kapan. Seperti apa nanti akan ku konfirmasi lagi lebih jauh kepadanya. "Jadi malam ini kamu ada di sana, Mbak. Aku turut berdekacita atas meninggalnya Mbak Rahma semoga diberikan kelapangan kubur dan keluarga ditinggalkan juga lebih bersabar," ucap Fikar saat aku memberitahu kalau M
SEBENING CAHAYA CINTA 33**PoV Cahaya Aku menunggu Pak Pras mengucapkan kalimatnya. Dia mau berkata apa kepadaku?"Cahaya, sebaiknya kamu jangan memanggil Bapak lagi kepadaku karena aku sekarang suami kamu," katanya lembut. Aku hanya menganggukkan kepalaku tersenyum kecut tanda menyetujui ucapannya. "Begini, Cahaya. Aku tahu kita semua sedang pusing dan dilanda kelelahan apalagi secara tiba-tiba Rahma meninggalkan kita semua. Maafkan aku kalau fokus sekarang mengurusi Istriku yang meninggal. Aku harap kamu paham." "Tentu aku mengerti, Pak. Eh, maksudku Mas. Kalau seperti ini lebih bagus saya pulang saja, ini juga sudah malam. Mungkin besok pagi saya datang kemari bersama anak-anak juga untuk melihat dan menghadiri pemakaman Mbak Rahma." Aku bingung mau mengatakan apa. Sebenarnya aku nggak betah ada di rumah ini. Inginku pulang ke rumah dan tidur bersama kedua putriku. "Mungkin pernikahan ini tidak seperti yang kamu harapkan. Itu pula tidak seperti yang saya harapkan. Kejadianny