Setelah ibu ceramah minta cucu dan berdiskusi dengan mantu kesayangannya. Akhirnya ibu pamit setelah isya karena Alya yang minta. Ibu ingin sekali menginap, tetapi Alya larang khawatir kesehatan ibu terganggu."Kabari ibu ya, nak. Gimana keadaan Dave," ucap ibu pamit ke Alya. Mau pamit segala adegannya bikin mual. Ckck ... Anak sendiri dicuekin. Mereka berpelukan saling melepas. Gaya Alya yang santun membuat ibu sangat menyanyanginya. Alya mengantar ibu sampai depan. Diantara hal yang begitu kusyukuri adalah Alya itu tampil apa adanya di depan ibu, dia tidak pernah buat-buat dirinya jadi kemayu atau berubah kalem. Tetap tampil biasanya dan anehnya ibu begitu menyukai ciri khas Alya yang kebanyakan wanita no drama.Setelah antar ibu dia masuk ke kamar. Bahkan tadi sore dia sempat pulang membuatkanku makan malam bersama ibu. Rasanya hatiku semakin aneh dibuat olehnya. Fix, ini jatuh cinta beneran.
Alya menatap Ilham, lalu kembali memandangku."Ayo, bang kita masuk ke ruangan. Sebentar lagi kita pulang ke rumah." Si Ilham tak bergeming, dia hanya menatap kami dengan lekat. Aku justru tersenyum puas melihat Alya tidak memperhatikannya."Alya ...." Ilham masih tidak menyerah."Istriku tidak ingin berbicara denganmu pak Ilham terhormat!" Aku berbicara tegas agar dia tidak nekat.Ilham mundur ketika Alya mendorong kursi rodaku ke ruangan tanpa mengucap satu kata pun."Apa kalian dulu pacaran?" tanyaku penasaran."Nggak, aku bukan abang yang ingin dicintai dan mencintai." Hm, mulai dah si Alya ini. Pandai sekali
Hatiku diliputi gelisah. Hingga malam menjelang aku tak kunjung ke luar kamar. Bagaimana menjelaskan ke Aya jika yang mengirim pesan tadi adalah aku. Sungguh teledornya aku sampai menggunakan nomor sendiri. Dia bukan wanita yang bisa diajak main-main. Kenapa aku dilema dengan perasaanku. Aku akui aku laki-laki yang tidak pernah serius dulu pacaran, ketika menemukan rasa yang aneh seperti ini aku justru bingung sendiri. Apa aku harus belajar mencintai Alya dengan sepenuh hati tanpa berfikir ini dan itu.Tok! Tok! Tok!Alya mengetuk pintu."Bang, kita makan malam. Aku sudah siapkan.""Iya," jawabku singkat.Setelah selesai menjalankan salat magrib aku keluar kamar. Kulihat Alya sudah menyiapkan makan malam untukku."Udah lebih baikan, ban
Semua diam. Hingga semua berpamitan satu persatu. Sukma terus menunduk tak berani menatapku. Alya tetap santai dan santun berbicara dengan lainnya."Istirahat dulu, pak Dave. Surat keterangan dokternya sudah kami terima.""Terima kasih, pak," jawabku singkat. Entahlah aku ingin mereka cepat-cepat keluar dari rumah ini. Lebih tepatnya aku ingin berduaan dengan Alya. Jujur, aku takut dia mengira akan kembali lagi seperti kemarin yang pecicilan dengan beberapa wanita. Kali ini aku tobat.Alya membereskan semua bekas minuman dan makanan. Namun, aku larang karena ini tugasku."Istirahatlah, biar aku yang bereskan." Dia diam. Seperti tak tega melihatku."Gak apa-apa, istirahatlah.""Makasih, bang. Aku ada proyek di luar kota yang harus aku buat laporanny
"Cemburu pak dokter? Makanya jangan jomlo saja." Sengaja aku memperjelas agar si Nu Nu sadar."Lebih baik aku jomlo daripada nyakiti hati wanita, gaes. Nih Alya aku kasih minuman. Kasitau abang, besok kalau jogging bawa bekal biar kencannya sukses." Astaghfirullah ini dokter sebelas duabelas sama si Alya."Bye, Al. Aku ada sift pagi hari ini. Bye juga, bang," ucapnya berlalu. Pengen di hih si dokter ini."Bye, Nu. Makasih minumannya."Si Nu Nu mengedipkan mata. Dih, geli aku lihatnya."Suruh temanmu si Nu Nu itu nikah, gangguin aja kerjaannya.""Haha ... dia mah pemilih orangnya, bang. Banyak sebenarnya yang antri, tapi dia suka gadis yang apa adanya. Tidak yang menor gitu.""Maksudmu yang tidak suka dandan?"
Alya melepas pelukanku dan duduk di tepi ranjang. Aku pun ikut duduk di sampingnya."Maafkan aku, Al. Jujur aku cemburu," ucapku begitu saja. Mengalir apa adanya."Memang abang bisa cemburu, gengsi gitu.""Entahlah, Al. Aku mulai menyukai apa yang ada dalam dirimu."Dia hanya diam. Tak terlihat bahagia atau wajah memerah menahan malu."Jangan terlalu cepat menyukai seseorang, bang. Apalagi denganku yang kusam tidak jelas ini. Kalau aku tipe prinsip, bang. Jika tak suka tinggalkan, jangan sampai jadi beban.""Tarnyata kamu belum memaafkanku, Al. Kamu pendendam.""Hal biasa bagi istri yang ingin diceraikan karena hal sepele. Istri yang tidak suka dandan." Aku kalah telak dibuat. Dia memang bukan wanita biasa yang
Rasanya dunia ini seakan runtuh. Tak peduli dengan jam kantor yang masih lama aku mengejar Alya yang sudah naik taksi. Tak kupedulikan Sukma di ruanganku."Dave ... maafkan aku ...." Sukma terlihat tegang karena melihat Alya yang marah dan pergi. Namun, Semuanya sudah terlambat tak bisa lagi diulang.Aku tak menjawab dan segera mengejar Alya."Ada apa, Bro?" Fery bertanya melihatku yang tergopoh-gopoh mengejar Alya. "Aku izin, Fer," jawabku. Untuk kedua kalinya aku melakukan hal yang membuat Alya marah. Mungkin kata maaf sudah tak ada lagi untukku. Kurasa kali ini Alya akan pergi selama-lamanya. Dan entah bagaimana nasib pernikahan ini.Kulihat taksi berhenti di depan rumah. Itu berarti Alya baru pulang. "Alya ... Kumohon jangan pergi ...." Alya sedang membereskan pakaian yang akan dibawa. Dia tidak terlihat marah, tapi tetap santai memasukkan pakaiannya ke dalam tas yang akan dibawa."Alya ... percayalah ...." Aku duduk dibawahnya. Kupegang tangannya tanpa ada rasa malu yang kuras
Kata maaf sepertinya sudah tak mampu meluluhkan hati Alya. Wanita yang pernah aku sia-siakan. Wanita yang pernah aku anggap remeh berjalan lurus tanpa menolehku sedikit pun. Tak ada lagi hal yang bisa aku lakukan selain penyesalan yang mendalam. "Dave ...." Tiba-tiba bahuku ditepuk oleh orang yang tak asing. "Satrio?" "Iya, aku Satrio, Dave. Ngapain disini malam-malam?" tanyanya heran. Setidaknya ada sesuatu yang membuatku bahagia. Rio berada di apartemen ini. "Mengunjungi istriku." "Yang mana?" "Itu ... yang berjalan lurus." Satrio melihat Alya yang dijaga oleh pengawa