Abraham dan Ayleen saling bungkam seribu bahasa selama sisa perjalanan mereka. Bahkan wajah sang majikan nampak mengeras, cenderung dingin sehingga Ayleen pun tidak berani meminta ijin. Meskipun dirinya merasa keadaan yang ia alami saat ini begitu mendesak.
Namun gesture tubuhnya tidak bisa menutupi kegelisahannya. Wanita itu sedari dari bergerak ke kanan dan ke kiri sambil sesekali meringis, mencengkram kuat ujung hijab yang ia kenakan.Abraham yang sedari tadi berusaha mengabaikan, akhirnya merasa tidak nyaman. Lelaki itu melirik sekilas dengan ujung kening mengerut. "Kenapa?" tanyanya, tidak sabar."Eh, m-maaf, Pak." Ayleen terkejut, ia menunduk, semakin mencengkram kuat ujung hijab hingga sedikit kusut."Saya tidak menyuruh kamu meminta maaf. Saya justru bertanya, kenapa kamu gelisah seperti itu?" desak Abraham, tatapan matanya lurus ke depan, memelankan laju mobilnya karena mereka tengah memasuki kawasan padat merayap."A-anu, itu, PAbraham bungkam seribu bahasa. Sementara Ayleen tidak berani berkata sepatah katapun, meski dirinya sedikit khawatir dengan lelaki itu. Ia bahkan memberanikan diri curi-curi pandang sedari tadi. Namun setiap kali sang majikan melirik, wanita itu berpura-pura menatap ke arah lain hingga berhasil mengusik ketenangan Abraham."Ngomong aja, Ay! Saya tahu jika kamu ingin mengatakan sesuatu!" titahnya, mencengkram kuat setir mobil hingga buku jarinya memutih."Anu ... itu ... maaf, Pak, jika saya dianggap lancang. Tapi, hmm ...," Ayleen menundukkan kepala, mencengkram erat sabuk pengaman, berusaha mengatur napas agar bisa berbicara dengan jelas."Katakan!" titah Abraham tegas.Ayleen sedikit berjengit kaget. Jantungnya berdetak sedikit lebih laju daripada sebelumnya. "Maaf, Pak. Tapi, saya penasaran kenapa Bapak tidak menerima permintaan Bu Airin soal rujuk?" tanyanya cepat, lalu menahan napas dengan mulut terkatup rapat, merasa takut seketika saat melihat sang majikan terbelalak lebar, bahk
"Iya, Ma. Akan saya pastikan itu," tukas Abraham, ikut menahan geram. "Mama tenang saja," lanjutnya, menghela napas."Iya. Mama percaya sama kamu, Abra." Bu Emil, ikut menghela napas, yakin dengan ucapan sang putra.Bu Emil kembali menatap pada Ayleen, mengulas senyum miris, benar-benar tidak tega pada wanita itu. "Kamu benar baik-baik saja, kan? Gak sedang membohongi Ibu, kan?!" desaknya.Ayleen mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Bu.""Syukurlah," desah Bu Emil, teramat lega. Senyum keibuannya bahkan hadir menghiasi wajah teduhnya."Ma, saya mau lihat Sam dulu," tukas Abraham, meminta ijin."Iya," sahut Bu Emil, menoleh pada sang putra, menganggukkan kepalanya.Abraham berlalu, meninggalkan keduanya tanpa berucap sepatah katapun. Lelaki itu hanya mengangguk singkat pada Ayleen, menghormati ibu asuh putranya itu.Sepeninggal sang putra, Bu Emil lantas menghela Ayleen ke arah sofa, duduk berdampingan. Ia bahkan menggenggam erat tangan wanita itu.Ayleen yang tidak tega, membiarkan
"Tidak ada, Ma. Kisah kami sudah berakhir tepat di pengadilan," ungkap Abraham, menghela napas panjang."Syukurlah," tukas Bu Emil, lega. Ia mematikan sambungan telepon, kembali menatap pada Ayleen. "Ay, Ibu boleh nanya sesuatu, gak?" pintanya."Nanya apa, Bu?" tanya Ayleen balik, menganggukkan kepala."Sebelum itu, mending kita ke kamar Sam aja, biar bisa sekalian jagain dia," ajak Bu Emil.Ayleen kembali menganggukkan kepala. Merekapun berjalan beriringan."Ibu mau nanya apa?" Ayleen kembali bertanya, duduk di atas sofa setelah mengecek Sam yang masih tertidur pulas."Tadi kan Ibu nanya sama Abra, tentang kejadian kalian ketemu sama si ular kepala dua. Terus kan, Abra cerita. Tapi, kok, Ibu ngerasa dia gak bicara jujur, ya! Kamu kan kebetulan juga berada di sana. Bisa, gak, ceritain sama Ibu, apa saja yang terjadi dan apa saja yang mereka bicarakan?" pinta Bu Emil, antusias.Ayleen bungkam. Ia bahkan menghela napas, na
Ayleen nampak sibuk merapikan semua barang-barang yang diperlukan Sam selama di rumah sakit karena hari ini jadwal bocah tampan itu imunisasi.Sam bahkan sudah rapi dan wangi dalam gendongan Bu Emil yang nampak senang membawanya berjalan-jalan keliling kamar karena sedari tadi dirinya ingin bersama sang ibu susu."Bentar, ya, Nak. Mama Ayleen belum selesai nyiapin punya kamu," hibur Bu Emil, melirik pada Ayleen yang tengah menenteng tas."Ayo, Bu," ajaknya, berdiri di hadapan keduanya."Ayo!" sahut Bu Emil, semangat.***"Kamu beneran gak bisa ikut, Abra?" tanya Bu Emil saat mereka telah tiba di parkiran rumah sakit tujuan."Saya ada rapat 1 jam lagi, Ma. Setelah selesai rapat, saya akan jemput kalian," sahut Abraham penuh sesal."Ya udah, jangan telat jemput, ya!" titah Bu Emil, membuka pintu penumpang bagian depan."Iya, Ma, saya janji."Bu Emil mengangguk, keluar dari sana disusul Ayleen yang nampak menggendong Sam, keluar dari balik pintu belakang. Sementara tas perlengkapan bocah
"Ah ... tidak. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih banyak karena telah menjadi ibu asuh yang baik buat Sam." Pak Hartawan menukas, tersenyum lembut. Bahagia bercampur bangga pada sang putri yang masih belum bisa ia rengkuh."Oh, sama-sama, Pak. Saya juga senang karena bertemu dengan Sam," sahut Ayleen, mengangguk. Senyumnya terlihat kikuk."Apa kamu benar-benar menyayangi Sam?" tanya Pak Hartawan, melepaskan pegangan tangannya, membantu Ayleen duduk.Meskipun tidak mengerti kenapa kakek dari Sam itu bertanya. Ayleen serta merta mengangguk."Syukurlah. Saya lega mendengarnya. Oh ya, bolehkah saya meminta sesuatu padamu, hmm ... Ayleen, benar?" pinta Pak Hartawan. "maaf, saya kadang suka lupa nama seseorang. Mungkin faktor usia," ungkapnya terkekeh kecil."Benar, Pak. Nama saya Ayleen Arunika. Semoga Bapak terus mengingatnya," tukas Ayleen, ikut terkekeh kecil."Iya, tentu. Saya pasti akan mengingatnya dengan baik." Pak Harta
Abraham memenuhi janjinya untuk menjaga Ayleen dan juga Sam dengan baik. Bahkan hingga mereka keluar dari mall. Namun, sepertinya ketiganya tidak bisa pulang karena hujan tiba-tiba turun dengan derasnya.Abraham bahkan melirik ke arah Ayleen yang nampak memeluk Sam dengan erat, melindungi putranya dari angin dan bias hujan yang menerpa."Gak papa, Sayang. Mama Ayleen ada di sini buat jagain kamu," ucap Ayleen, berusaha menenangkan Sam yang nampak gelisah, menepuk-nepuk punggungnya pelan. Sesekali menatap ke arah hujan yang tidak terlihat akan teduh.Abraham merasa tidak tega. Bahkan saat dirinya mendengar gerutuan para pengunjung mall yang lain perihal bakal terlambat pulang, membuatnya semakin tidak tega pada keduanya."Ay!" panggilnya sedikit keras."Ya, Pak!" sahut Ayleen, ikut bersuara keras, menoleh pada sang majikan."Kamu tunggu di sini, ya!" ujar Abraham, berlari menembus hujan tanpa menunggu sahutan dari Ayleen.
"Bukan gitu, Pak," ringis Ayleen, berharap lelaki itu percaya."Lalu, apa?!" tuduh Abraham lagi. Kembali meringis karena kepalanya justru semakin berdenyut. "sudahlah! Cepat kemari kan buburnya, biar saya bisa segera minum obat," titahnya, menyodorkan tangan.Ayleen menurut, memberikan mangkuk ke hadapan sang majikan, bersiap meninggalkan lelaki itu. Namun, baru saja dirinya berbalik, suara denting sendok yang terjatuh ke atas lantai justru terdengar. Refleks dirinya berbalik dan terkejut saat melihat raut pucat Abraham."Pak! Bapak gak apa-apa?!" pekiknya, tanpa sadar memegang pundak Abraham dengan raut panik di wajah."Bantu saya menyuap bubur, Ay," titah Abraham."Baik, Pak. Sebentar, saya ambilkan sendok yang baru," ujar Ayleen, berjalan ke arah pintu keluar. Tak lama kemudian, wanita itu kembali dengan sendok yang baru, lalu dengan telaten menyuapi sang majikan yang kini duduk bersender.Ayleen bahkan membantu Abraham meminu
"... Abra! Abra bangun! ABRA!" panggil seseorang dengan kencang, menggoyangkan lengan atas lelaki itu yang sedari tadi bergerak gelisah, keringat bercucuran serta mulut mengigau.Abraham pun seketika membuka mata. Ia terengah-engah sambil beringsut duduk dengan tatapan nyalang ke sekitar, nampak linglung.Tatkala dirinya benar-benar sadar seratus persen, lelaki itu menatap nanar ke arah orang yang telah membangunkan tidurnya. "Ma ... ma," panggilnya teramat lirih."Iya, ini Mama, Nak. Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba berteriak kencang seperti itu? Apa kamu tengah bermimpi buruk?" tanya Bu Emil bertubi-tubi."Aku—," Suara Abraham tercekat. Ia bahkan berusaha menarik napas yang seketika tersendat. Jakunnya bahkan terlihat naik turun karena tenggorokannya mengering.Bu Emil yang melihat sang putra nampak kesulitan, segera meraih segelas air yang berada di atas nakas, memberikannya pada lelaki itu yang segera meminumnya setelah mengucapkan basm