"Jadi, tetaplah berada di posisi mu!"
"Tapi pak, apa mungkin pak Bara bersedia menjadikan saya asisten atau sekretaris pribadinya?" Bagaimanapun Bakri adalah mantan bawahan Zayyad. Seseorang yang sangat di musuhi Bara dalam dunia bisnis dan juga dalam urusan persaingan cucu kesayangan.
"Kau tidak bekerja untuknya"
"Ap-apa pak?" Mata Bakri membulat lebar, nyaris hampir melompat keluar saking terkejutnya akan apa yang baru saja ia dengar.
'Aku tidak bekerja untuk pak Bara?'
'Lalu pada siapa aku bekerja?'
"Nanti kau juga akan tau!" Zayyad menepuk pundak Bakri, "Kembali lah bekerja.."
"Baik pak!" Bakri mengangguk sopan. Masih sulit rasanya menerima fakta bahwa dirinya tidak lagi bekerja untuk Zayyad.
Setelahnya Zayyad masuk kedalam mobil. Duduk di bangku pengemudi, Zayyad menurunkan kaca jendela dan melambai kearah Bakri yang masih ada diluar menunggunya pergi.
Bakri mengangkat tangan, membalas lambaian Zayyad
Alina sudah berganti pakaian dan duduk di pinggir ranjang. Mendengar suara pintu terbuka, Alina menoleh. Melihat Zayyad masuk, menutup pintu dan membawa segelas air hangat. Langkah kakinya pelan dan tenang seperti perawakannya, tapi wajah tampannya tampak cemas dan risau. "Kau tau tidak bisa berenang, tapi kenapa berlarian di pinggir kolam?" Zayyad berdiri di hadapan Alina, suara maskulinnya meninggi dengan riak emosi yang tergambar jelas di raut wajahnya yang khawatir, "Jika aku tidak ada, apa yang terjadi dengan—" "Air hangat itu untuk ku?" Potong Alina, mengangkat kepalanya kearah gelas putih di tangan Zayyad, "Berikan padaku, aku haus" Mata Alina berpaling menatap mata coklat Zayyad. Sekali pandang, Alina dapat melihat pupil mata coklat Zayyad yang bergetar pelan— menahan emosi dan menyembunyikan kegelisahan. Zayyad tidak merespon, bergeming dan menatap Alina dalam diam. Alina yang melihat tingkah Zayyad seperti patung tak bergerak dengan tampang
Ferdi baru saja membersihkan pecahan vas di lantai. Setelah mengumpulkan pecahan keramik itu, Ferdi segera membuangnya ke belakang. Sebelum pergi, Ferdi melihat Faqih yang bergeming di ruang tamu. Ferdi menggelengkan kepalanya merasa kasihan untuk Faqih, 'Aku tahu anak itu pasti sangat menyesali perbuatannya..' Ferdi pun pergi ke belakang. Zayyad menuruni anak tangga, mendapati Faqih yang berdiri diam dengan kepala tertunduk menyesal. Tepat di pijakan terakhir, tatapannya bertemu dengan Faqih. "Kak Zayyad..." Faqih berlari menghampiri Zayyad. Zayyad berlalu begitu saja, terus berjalan tak menghiraukan keberadaan Faqih. Matanya sedikit pun tidak melihat kearah saudara kesayangannya itu. Faqih kian gugup dan gemetar, ia tidak pernah mendapati Zayyad begitu marah sampai mendiamkannya, "Kak Zayyad maaf.." Langka Zayyad terhenti dan Faqih berada di belakangnya, tertunduk penuh penyesalan. "Aku tau bercandaan ku sudah kelewatan.."
"Aku hanya ingin!""Hah?""Aku hanya ingin melakukannya..""Oh!"Zayyad pun pergi meninggalkan kamar. Alina tertawa kecil seraya menggelengkan Kepalanya, "Hanya ingin?"Di malam harinya, makan malam berlangsung lebih hangat dari biasanya. Tidak hanya Alina, Erina dan Zayyad, tapi Irsyad juga ikut bergabung. Dua orang tua itu sesekali datang dengan obrolan ringan dan tertawa. Hanya Alina dan Zayyad yang menghabiskan piring dalam keheningan.Makan malam pun berakhir tanpa ada yang membahas mengenai pemunduran Zayyad dari jabatannya sebagai CEO perusahaan.Di dalam kamar ketika bersiap-siap hendak tidur. Alina dan Zayyad tidak lagi merasakan kecanggungan melakukan rutinitas bersama. Zayyad keluar dari kamar mandi dengan jubah tidurnya bewarna coklat gelap, mengusap rambutnya yang basah dengan handuk dan Alina duduk di depan meja rias menyisir rambut panjangnya yang tergerai.Pemandangan itu tanpa keduanya sadari— menciptakan
Erina pergi ke dapur, tidak menemukan batang tubuh Zayyad yang biasanya sudah bangun di pagi buta menyiapkan sarapan. Dapur terlihat lengang dan meja makan masih kosong. Sepertinya Zayyad tidak bangun awal karena ia tidak perlu bersiap ke perusahaan, "Ku harap anak itu dapat dengan mudah menerima keadaannya yang sekarang..." Dalam sehari Zayyad kehilangan jabatan dan pekerjaannya. Siapapun tidak akan mudah menerimanya. "Itu keahliannya" Irsyad muncul di dapur, tanpa sengaja mendengar gumaman Erina, langsung saja menyambung. Karena ia tau dituju pada siapa itu. "Kau sudah bangun?" Erina memutar kran dan menampung air. "Ya" Irsyad mengangguk. "Syukurlah, anak itu tidak mengusirku semalam" Irsyad membuka kulkas, mengambil botol air dan menuangkannya ke dalam gelas. "Sebelumnya dia mengusir mu?" Erina menutup kran air, membawa ceret yang sudah penuh dengan air ke atas kompor dan menyalakan api. "Ya, anak itu takut tidak mendapatkan
Alina menggeleng, matanya berkaca-kaca dan wajahnya terlihat cemas, "Tidak ada" "Kakek.." Zayyad teringat dengan kakeknya, langsung mengambil ponsel dan menelpon Irsyad. Tapi sebelum itu sebuah pesan muncul. 'Aku dan Erina sarapan diluar, jangan tunggu kami' "Mereka pergi sarapan diluar" "Apa?" Alina tidak tau apakah harus bernafas lega setelah mendengar hal itu, "Kenapa mereka akhir-akhir ini selalu sarapan diluar..." Tepat pukul delapan pagi, Alina malas-malasan di atas sofa sambil menonton televisi. Zayyad menyiapkan sarapan di dapur. Ferdi baru saja tiba di vila dan sudah berada di depan membersihkan halaman. Alina memencet tombol remote, mengganti siaran. Aroma telur yang gurih dari dapur merayap masuk ke dalam hidungnya. Alina menduga Zayyad sudah selesai memasak,"Zayyad, bawa sarapannya kemari.." Jerit Alina dari ruang tamu, "Aku mau makan di sini.." Zayyad baru saja meletakkan omelette buatannya di atas piring
Faqih sudah berada di vila Zayyad bersama Bakri yang berjalan di belakangnya. Faqih sebenarnya tidak berniat mengunjungi kediaman Zayyad hari ini, mengingat insiden yang tidak menyenangkan kemarin. Tapi hal tak terduga terjadi, membuat Faqih tidak punya pilihan selain datang menemui Zayyad. "Aku baru saja kembali, kenapa tiba-tiba aku harus menggantikan posisi kakak ku di perusahaan?" Hal yang tak terduga itulah yang membuat Faqih mau tidak mau harus segera bertemu Zayyad. "Bukannya sejauh ini kinerja kak Zayyad tidak pernah mengecewakan, hal apa yang membuatnya mengundurkan diri? Dia seseorang yang bertanggung jawab sampai akhir pada pekerjaannya, jadi ku rasa ia tidak akan melakukan itu" Bakri yang berjalan di belakang Faqih, hanya mendengar ocehannya tanpa merespon sepatah katapun. Bakri mengenal Faqih, karena beberapa kali mereka pernah bertemu dan itu sudah beberapa tahun yang lalu. Kembali dipertemukan, ternyata bocah itu tidak banyak berubah.
"Kak Zayyad.." Sepasang mata Faqih membulat lebar tampak berkaca-kaca memohon. Penampilannya itu persis seperti anak kecil yang merengek meminta perdamaian. Alina menatap Faqih berkedip tak percaya. Ia ragu seseorang yang dilihatnya itu baru saja mendapatkan gelar magister. Jika diperhatikan, Faqih lebih seperti bocah ingusan dengan seragam putih abu-abu, 'Benar-benar bocah!' "Dia tiba-tiba datang ke rumah!" Faqih menunjuk Bakri, gaya bicaranya persis seperti anak kecil yang sedang melaporkan sesuatu yang tidak disenanginya pada sang ibu, "Tiba-tiba menyuruhku untuk ke perusahaan menggantikan posisi mu" "Lalu?" Zayyad menaikkan salah satu alisnya. "Aku menolak!" "Bawa dia pergi ke perusahaan. Karena ini hari pertamanya, perkenalkan padanya tempat-tempat di perusahaan dan sekilas sistem kinerja tiap divisi dan struktur organisasi" Titah Zayyad pada Bakri, mengacuhkan penolakan Faqih. "Baik pak" Bakri mengangguk sopan. "Kak Zayya
Alina berjalan malas ke sofa dan duduk di samping Zayyad yang tengah tenggelam dalam bacaannya. Alina melipat kedua tangannya di depan dada, kepalanya menoleh tepat ke wajah tampan Zayyad yang tampak begitu tenang dan larut membaca buku di tangannya. Zayyad yang cukup fokus, tidak tau kalau Alina sudah duduk di sampingnya. Zayyad bahkan sama sekali tidak sadar akan sepasang mata yang terus memandanginya. "Zayyad" Alina yang sudah bosan menunggu Zayyad menyadari keberadaannya, akhirnya memanggil. "..." Zayyad membalik halaman buku, suara Alina yang cukup pelan tidak merusak konsentrasinya pada bacaan. Alina menghela nafas panjang, itu bukan kali pertama, "Zayyad" "..." Zayyad mengerutkan kening, sepertinya terjebak pada bagian sulit di bacaannya. "Zayyaadd.." Yang ketiga kalinya, Alina memutuskan untuk menaikkan suaranya tiga tingkat lebih keras. "Sejak kapan kau di situ?" Zayyad tertegun, menurunkan buku dari pandangannya, meno