Sesampainya di kantor, Cecil dan Laras berpisah. Karena mereka harus menjalankan bagian pekerjaan masing-masing.Cecil berjalan menuju ruangannya. Tapi saat hampir tiba, Direktur keuangan yang tidak lain dan tidak bukan adalah Aris, memanggil dirinya."Cil," panggil Aris.Cecil yang sebenarnya muak dengan manusia picik itu, dengan susah payahnya mengembangkan senyumnya. Ya, Cecil harus pura-pura mendekati Aris, mengumpulkan bukti-bukti kelicikan mereka untuk diberikan pada Devan. Kalau Cecil hanya berucap tanpa bukti, mana mungkin lelaki itu percaya?"Ya, Mas? Ada apa?" Aris memegang pundak Cecil. Lihatlah, lelaki kurang ajar! Bahkan, Aris tahu jika Cecil adalah istri sepupunya. Tapi tetap saja genit. "Eh, maaf, Mas. Gak enak kalau dilihat orang kantor. Aku sudah bersuami. Nanti mereka mikir macam-macam."Sambil menurunkan tangan Aris di pundaknya, Cecil berujar sungkan."Maaf, maaf. Santai saja, tidak ada yang penting. Kamu nanti siang, ada urusan gak? Kalau gak ada, rencananya aku
Tawa Cecil terdengar menggema. Dia sangat tergelitik dengan sifat arogan Devan yang sangat buruk itu jika sudah kepepet. "Hahaha. Kamu benar-benar mencintaiku, Mas Devan?"Devan bangkit. "Apa maksudmu? Apa perlu kamu tanyakan lagi? Bahkan, aku rela bersujud di kakimu, tadi. Agar kamu tetap tinggal.""Kalau aku menyuruhmu menjauhi Mbak Dela, apa kamu sanggup."Devan mengangguk mantap. "Bahkan, membunuhnya pun akan kulakukan untukmu."Cecil mengikuti gerakan Devan, duduk tenang di sofa yang memang tersedia di ruangan pribadinya. "Gak perlu mengancamku. Aku sendiri bahkan rela menyerahkan tubuhku padamu. Terima kasih, sudah bersikeras mempertahankan rumah tangga kita.""Kamu udah gak benci aku?" tanya Devan memastikan.Cecil menggeleng. "Awalnya aku sangat benci. Kamu menggauliku dengan paksa. Tapi setelah aku tahu semua kebenarannya. Rasa benci itu seketika hilang entah ke mana. Jangan jelaskan apa pun padaku. Aku tahu, semua kebenaran yang bahkan kamu sendiri belum tentu tahu."Alis De
Amarah masih meletup-letup di hatinya. Dengan perasaan dongkol, Devan berlalu dari hadapan Cecil sambil membanting pintu cukup keras.Jeder!"Allahuakbar!" Cecil memegang detak jantungnya yang berlompatan. "Cih! Ngambekan, kayak perawan!"lanjutnya.Setelah meninggalkan ruangan Cecil, Devan kembali ke ruangannya. Bayangan lembut bibir Cecil merasuk pikirannya. Lelaki itu kembali mengerang, kala tak sanggup lagi menahan hasratnya. "Cil, kenapa kamu hobi sekali menyiksaku? Apa menurutmu ini lucu? Oh shit! Aku bahkan hampir gila karenamu."Semenjak tahu jika dirinya harus nunggu lampu hijau dari Cecil, Devan jadi sangat uring-uringan."Oh shit! Bahkan adikku sendiri, gak bisa diajak kompromi."Devan melirik tonjolan di celananya yang sudah memberi hormat. Bahkan, selalu mendesak ingin dikeluarkan dari tempatnya.Gawat! Ini gawat. Bisa-bisa, celana Devan robek kalau harus terdesak begini. Devan benar-benar harus menuntaskannya segera. Dia tidak bisa membiarkan tubuhnya panas dingin. Dengan
"Ckck! Lama sekali hem?"Devan berdecak saat Dela menghampirinya. Melingkarkan tangan di lengan Devan, lalu menyunggingkan senyum manisnya.Cecil yang melihatnya, mengeratkan gigi dengan geram. Refleks, tangannya juga ikut melingkar di lengan Aris.Aris yang diperlakukan seperti itu, jadi salah paham. Dia pikir, Cecil memang memberi lampu hijau padanya, sementara Devan sendiri menatap Cecil dengan tatapan entah.Dela yang melihatnya, terlihat sangat senang. Gadis itu juga berusaha mengompori Devan."Eh, ada Cecil dan Aris juga di sini? Kalian mau ke mana?"Bukan mereka, tapi Devan yang menyahut. "Mereka ingin makan siang berdua. Berhubung kita juga mau melakukan hal yang sama, aku pikir ... kenapa gak double date saja?""Ah, double date ya? Cukup seru. Kita pergi ke restoran depan saja. Di sana sedang ada menu baru dan langsung jadi best seller."Aris pun membuka suara. Padahal, niatnya hanya ingin makan berdua. "Ah, ya. Cecil sudah bilang tadi. Jadi, tujuan kita memang ke sana. Terim
Siang berganti malam. Devan dan Cecil tengah berada di kamarnya. Ya, mereka memutuskan untuk pindah ke kamar Devan, setelah perdamaian yang melibatkan banyak drama.Etahlah, rasanya tiap kali melihat wajah Cecilia, dia jadi uring-uringan karena tidak bisa menyentuh wanitanya.Cecil sendiri, yang awalnya sibuk bermain ponsel, akhirnya mengalihkan perhatian pada Devan saat pria itu menekuk wajah masam."Deketan sini, ngapain jauh-jauh?" Cecil meletakkan kepalanya di bahu Devan.Niat hati ingin manja-manja, malah disemprot habis-habisan. "Jangan deket-deket! Aku masih marah sama kamu."Cecil tersenyum. Mengelus dada Devan penuh kelembutan. Seketika, erangan demi erangan keluar dari mulut Devan. "Jangan memancingku! Aku sudah menahannya sekuat tenaga. Aku gak mau main sendiri lagi. Capek!"Devan menghentak tangan Cecil yang bandel itu. "Apa aku begitu menggoda, Mas?"Tatapan mematikan itu, sedetik membuat Cecil terpesona. Rasanya, dia juga sangat merindukan Devan. "Apa kamu bercanda? Baha
Keesokan paginya, Cecil sudah bersiap dengan setelan kemeja kantor dipadu dengan blazer. Gadis itu mematut dirinya di cermin, sambil menyisir rambutnya yang hampir kering. Sementara Devan sendiri baru bangun dari tidur lelapnya.Ingin menyibak selimut, Tapi urung setelah melihat bekas kemerahan yang dia buat semalam. Leher jenjang itu, dapat dia lihat dengan jelas dari pantulan cemin. Mengingat itu, Devan sangat bangga dengan dirinya yang berhasil menato tubuh Cecilia."Cil, kemarilah!" Cecil yang merasa terpanggil pun bergegas mempercepat gerakannya. Setelah rambutnya tersisir rapi, barulah dia berjalan menghampiri Devan."Ada apa?" Matanya penuh selidik, menatap pria yang semalam tengah menganghangatkan ranjangnya."Kamu mau ke mana, rapi begini? Di rumah saja, gak usah kerja hari ini."Cecil membuka mulutnya. Perempuan itu hampir melontarkan sumpah serapah. "Kenapa? Kenapa aku gak boleh kerja? Aku gak sakit, kok. Àku bisa ke kantor.Devan menunjuk leher Cecil dengan jari telunjuk
Usai mandi bersama yang berakhir dengan makian panjang Cecilia, Devan keluar dengan mengenakan handuk yang melilit di pinggang. Cecil sendiri hanya bisa menghela napas ketika suaminya pergi setelah mendapatkan kenikmatannya kembali."Dasar suami gak peka! Istrinya belum selesai malah ditinggal." gerutu Cecilia saat perempuan itu asik berendam di bathtub. Rendaman air hangat, sedikit banyaknya bisa membantu Cecilia melemaskan ototnya yang kaku.Ceklek.Cecilia keluar setelah puas berendam. Dia juga sudah berganti dengan gaun rumahan.Cecil berjalan menuju meja riasnya. Tak sengaja, pandangan Devan dan Cecil bersitatap. Devan yang berduduk santai di tepi ranjang, hanya memandang gadis itu sesaat, sebelum kembali berkutat dengan ponselnya."Aku sudah mengabari Zaki, kalau kita hari ini gak ke kantor. Aku juga sudah kasih tahu Laras, biar gak usah jemput kamu lagi karena mulai besok, kamu berangkat sama aku."Ucapan Devan menghentikan Cecilia yang memoles wajahnya dengan bedak. Dengan cep
Pagi yang cerah. Seusai sarapan bersama, Devan mengajak Cecil kembali ke kamar. Tentu hari ini Devan tidak akan membiarkan Cecil menganggur barang sedetik."Ma, Devan sama Cecil pamit ke kamar ya."Cecil menoleh pada Devan penuh kewaspadaan. Lelaki itu pasti sudah menyusun rencana sedemikian rupa.Cecil menghela napas. Menatap Utari seolah meminta pertolongan. "Kamu duluan saja, Mas. Aku masih mau ngobrol sama Mama."Utari yang merasa namanya dibawa-bawa pun mengangguk mengiyakan. Kasihan juga Cecil kalau sampai dikurung di kamar. Sudah pasti, Devan akan menjadikan gadis itu sebagai makanan penutup. Apalagi, Devan sudah bilang jika hari ini dia cuti. Sudah pasti menantunya tidak akan keluar kamar."Kamu duluan saja, Van. Mama juga mau minta pendapat Cecil."Bukannya beranjak, Devan malah bertopang dagu dengan wajah ditekuk. Ditatapnya istri dan sang mama bergantian. "Aku tungguin di sini. Jangan lama-lama ngobrolnya. Aku butuh Cecil."Utari berdecak. Menggeleng heran dengan kepala bat