Dengan santainya, Devan berjalan keluar dari kamar itu, tak lupa dirinya mengambil kunci di saku celana, lalu memasangnya di dekat gagang pintu. Sebelum benar-benar pergi, Devan sempat memberi pesan untuk Cecil. "Istirahat ya, Manis, jangan suka membantah, aku tidak suka. Selamat siang!"Tanpa membalas ucapan Devan, Cecil membuang muka. Ia arahkan pandangannya ke penjuru arah. "Gak usah sok peduli!" ketusnya tanpa mengalihkan perhatiannya pada Devan.Selepas kepergian Devan, cecil terduduk di bawah ranjang, sambil memeluk kakinya yang terbungkus celana jeans berwarna abu. Ia menyembunyikan kepala di balik lengannya yang terlipat. Air matanya meluruh ketika mengingat nasib malang yang dialami. Hidup sebatang kara ternyata tidak mudah. Dulu, Cecil merasa bahagia, meski hidup dalam kesederhanaan."Ya Allah, kenapa nasibku malang sekali? Cobaan apa lagi yang harus kuterima."Utari yang bermaksud mengantar puding buatannya, tak sengaja mendengar keluh kesah Cecil. Hatinya ikut sesak mend
Devan memperingati Cecil melalui tatapan matanya. Sorot matanya menajam, seolah mengatakan jangan macam-macam.Bukan Cecil namanya, kalau mudah ditaklukkan begitu saja. Ini justru kesempatannya untuk meminta pembelaan. Tak mungkin menyiakan kesempatan emas begitu saja, Cecil pun mencoba menghiraukan Devan. Sorot matanya membalas tajam Tatapan Devan, lalu beralih menatap Utari lembut.Kepalanya tergerak menggeleng pelan. "Nggak, Ma! Mas Devan yang bohong. Mas Devan maksa Cecil buat jadi kekasihnya."Devan menyangkal, "Gak Ma, dia bohong, orang Cecil yang kejar-kejar aku."Utari terkekeh, jelas saja dirinya lebih percaya Cecil daripada Devan–putranya. Utari sangat hapal dengan sifat Devan yang arogan, dirinya tidak bisa melepas sesuatu yang diincar begitu saja. Lelaki itu pasti melakukan sesuatu agar Cecil tak berkutik."Devan, Devan. Ngapain bohong sama Mama? Tanpa kamu kasih tahu pun, Mama tahu siapa yang jujur. Puluhan tahun kamu hidup sama Mama, jadi Mama tahu luar dalam, gimana k
Cecil meraung kala Devan semakin memperdalam ciumannya. Sekuat tenaga gadis itu mendorong tubuh Devan agar jauh darinya, tapi percuma saja, bila tenaga lelaki itu 10X lebih kuat darinya."Lep pash!" ucap Cecil kesusahan. Bukan melepas, lelaki itu malah semakin tertantang. Aroma cherry dan rasa legit yang tercecap dari bibir gadis itu, membuat Devan semakin tertantang untuk menerobos langit-langit mulut Cecil yang masih tertutup rapat. Tak kunjung terbuka, Devan menghentikan aksinya. Napasnya yang mulai terengah, mencoba dinetralkan kembali. Devan pun memasok oksigen banyak-banyak, sama halnya dengan Cecil yang terengah-engah. Ia pun menarik napas panjangnya.Sebelum Devan meraih kembali bibir itu, Cecil memalingkan wajahnya. Emosinya mendidih, kurang ajar sekali Devan mengambil ciuman pertamanya.Tanpa mneoleh pada Devan, Cecil melontarkan makian. "Kurang ajar banget! Beraninya kamu ambil ciuman pertamaku."Devan memaksa Cecil untuk menatapnya. Lelaki itu memegang dagu Cecil dengan p
Setelah berhasil mencecap manisnya bibir Cecil untuk yang ke dua kalinya, akhirnya Devan melepas pangutan itu. Cecil menatap Devan nyalang, karena lelaki itu hampir membuatnya kehilangan napas.Dengan napas memburu, Cecil mantap melayangkan tangannya di pipi Devan. Saking kerasnya tamparan Cecil, pipi putih mulus milik Devan sampai memerah.Lelaki itu memegangi wajahnya yang memanas, ia berusaha maklum jika Cecil emosi atas kekurang ajaran yang dirinya lakukan. Tapi lelaki itu juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan diri sendiri atas hasratnya yang memburu.Berada di dekat Cecilia, membuat otaknya sedikit gila. Bahkan, lelaki itu menyadarinya.Tatapan Cecil dan Devan saling beradu. Tubrukan manik coklat Keduanaya, terlihat menjam. Sekuat tenaga, Cecil berusaha tidak menangis."Kamu pantas dapat itu. Dasar laki-laki berengsek!" Cecil memukul dada Devan dengan brutal. Ia merasa sakit hati atas apa yang Devan lakukan.Dengan tenaga yang penuh, Devan berusaha mendekap tubuh Cecil yang mero
Zaki sedikit memberi ruang, untuk bosnya yang sedang dipengaruhi luapan emosi. Ia pun pamit undur diri dari ruangan sang pemilik perusahaan."Tenangkan dirimu, Van. Aku kembali ke ruangan dulu."Devan hanya melirik sepintas, lalu mengangguk lemah. "Silakan."Setelah mendapat izin dari sang atasan, Zaki pun beranjak meninggalkan ruangan ber AC itu."Assalamualaikum," pamitnya."Waalaikumussalam."Devan hanya bisa menatap punggung Zaki yang menghilang di ambang pintu.Sepeninggal Zaki, Devan berusaha mengalihkan pikirannya soal Dela. Seketika, fokusnya tertuju pada Cecil. Entah mengapa, bayangan sosok Cecil tiba-tiba terlintas di kepalanya."Sedang apa gadis itu sekarang?" gumamnya lirih pada diri sendiri.Tanpa berlama-lama, Devan bergegas menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja. Jarinya yang lincah, berkutat mencari kontak Cecilia di sana.Setelah berhasil menemukan kontak Cecil, Devan langsung menekan tobol dengan gambar gagang telepon yang tertera.Di tempat yang berbeda, Ceci
Cecil memutuskan untuk menunggu di luar, daripada di kamar, nanti Devan bisa mengambil kesempatan.Cuaca yang terik membuat gadis itu harus berpanas-panasan dengan sinar matahari. Matanya yang silau, terus menyipit seiring dengan naiknya sang surya."Rumah segede gini, gak ada tempat yang teduh. Bikin taman kek!" Cecil memaki dalam hati. Tangannya gatal untuk mengubah halaman luas ini menjadi taman yang cantik.Tak lama, deru mobil terdengar cukup keras, membuat gadis berpita itu mengalihkan atensinya. Ia menatap mobil Devan yang mulai berhenti.Pintu mobil terbuka bersamaan dengan kaki panjang yang menapak di atas tanah, menampakkan sosok Devan yang berdiri gagah dengan setelan jasnya.Laki-laki itu mengernyit kala melihat Cecil yang berdiri memegangi tas di kepalanya. "Ngapain panas-panasan?"Cecil menurunkan tas yang menjadi pelindung kepalanya. Ia menatap Devan nyalang sebelum akhirnya berjalan menuju mobil lelaki itu. "Pakai tanya lagi."Devan dibuat geleng-geleng dengan tingkah
Tawa Cecil masih mengudara. Gadis itu terlihat sangat puas setelah berhasil meledek Devan habis-habisan. "Ketawa yang puas! Enak aja doain orang biar cepet mati. Kalau mau mati, sendiri aja, gak usah ajak-ajak!"Cecil meringis. Ia menemukan sisi baru Devan yang menurutnya sangat menggemaskan. Seperti beda dari sosok Devan yang kasar dan arogan, sosok yang berdiri di sebelahnya sangatlah lembut dan peduli.Tiba-tiba, suasana kembali hening. Cecil terdiam, lalu menatap lama Devan. Nampaknya, gadis itu mulai bertingkah laku. Untuk menutupi debar di dada, tangannya sibuk menyugar poni yang panjangnya sedikit lebih jauh dari angin. Rambut pajang nan legam itu, berterbangan indah, membuat Devan tak kuasa menahan tangannya.Devan berdehem, membuat Cecil menghentikan lamunannya."Ekhem! Maaf, rambut kamu berantakan. Sini, aku bantu rapihin."Bak patung pancoran, Cecil diam membisu. Ia menganggukkan kepala, sebagai persetujuan atas pernyataan Devan.Setelah mendapat izin dari sang empunya, De
Cecil menatap nyalang pada Devan penuh kebencian. Mata elangnya menyorot tajam lelaki itu dengan dendam yang berusaha ia kendalikan."Omong kosong!" Meski diambang kemarahan, Cecil harus tetap terlihat tenang. Dirinya tidak boleh terpancing emosi, yang mungkin bisa membuatnya menyesal. Cecil mendorong tubuh Devan menjauh, lalu berkata, "Udah ah! Aku laper, mau makan.""Dih, aneh! Tadi marah-marah, sekarang minta makan!" tukas Devan. Tak menghiraukan, Cecil memilih meninggalkan Devan dan duduk di meja makan yang tersedia.Devan berjalan menghampiri Cecil. Menarik kursi lalu ikut duduk. Melihat mood gadis itu yang sedang tidak baik, Devan berinisiatif menawarinya makan. "Mau makan apa?""Menunya mana?" Tempat VVIP yang ia pesan, memang tidak menyediakan menu. Buat apa dibikin menu, kalau pelayanan dan kokinya saja sudah dipesan khusus melayani mereka."Gak ada menu. Sebutin aja yang kamu mau. Pasti dibikinin."Sempat takjub, Cecil menatap tak percaya. Baru pertama kali ia pergi ke tempa