Siang itu, mal Grand Jakarta tampak ramai. Wajar, mengingat ini hari Sabtu dan musim liburan sekolah. Di antara kerumunan pengunjung, Lintang dan Kayla berjalan beriringan, tangan mereka bertautan erat."Tante, kita mau beli apa?" tanya Kayla, matanya berbinar melihat toko-toko yang berjajar.Lintang tersenyum. "Kita mau beli kado ulang tahun buat Aisyah, inget kan?"Kayla mengangguk antusias. Aisyah, sahabatnya di TK, akan berulang tahun minggu depan. "Aisyah suka boneka. Kita beli boneka ya, Tante?""Oke," Lintang menyetujui. "Tapi inget, nggak boleh terlalu mahal. Papa udah kasih uang pas."Mereka memasuki toko boneka di lantai dua. Mata Kayla langsung tertuju pada rak boneka beruang. Ada beruang cokelat dengan pita merah, beruang putih dengan baju ballerina, dan..."Tante! Lihat!" Kayla menunjuk ke atas. Di sana, di rak tertinggi, duduk sebuah boneka beruang panda besar. Matanya hitam mengkilap, perutnya gemuk dan lembut. "Panda! Aisyah pasti suka!"Lintang mengambil boneka itu, m
Bunyi dering telepon memecah keheningan Minggu pagi di apartemen Lintang. Ia melirik layar ponsel, mengerutkan dahi. "Papa?" gumamnya, sedikit heran. Ayahnya jarang menelepon sepagi ini."Halo, Pa?" Lintang menjawab, sambil berjalan ke dapur untuk membuat kopi."Lintang, kamu di mana?" suara ayahnya terdengar tegang.Lintang mengernyit. "Di apartemen, Pa. Kenapa? Ada apa?"Terdengar helaan napas panjang. "Nggak. Nggak apa-apa. Papa kira kamu... lupa.""Lupa?" Lintang bingung. Tapi kemudian ia tersadar. "Astaga! Makan siang keluarga! Pa, maaf banget, aku—""Udah, nggak apa-apa," potong ayahnya, tapi Lintang bisa mendengar kekecewaan dalam suaranya. "Kamu sibuk, Papa ngerti."Lintang menutup wajahnya. Makan siang keluarga. Tradisi bulanan yang sudah mereka jalankan sejak ibunya meninggal tiga tahun lalu. Bagaimana ia bisa lupa?"Pa, aku ke sana sekarang ya? Satu jam lagi aku—""Nggak usah," ayahnya memotong lagi. "Papa sama Kak Dimas udah mau keluar. Lain kali aja."Telepon ditutup. Lin
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Lintang mengecek penampilannya sekali lagi di cermin. Dress biru tua sederhana, anting mutiara hadiah dari Arya, dan rambut yang diikat rapi. Ia ingin tampil sempurna, bukan untuk memamerkan diri, tapi untuk menunjukkan keseriusannya.Arya masuk kamar, mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam. Ia membawa Kayla yang cantik dalam balutan gaun merah muda. "Kita siap," Arya tersenyum, tapi Lintang bisa melihat kegelisahan di matanya."Kalian sempurna," Lintang berlutut, memeluk Kayla. "Ingat ya, Kayla. Apapun yang terjadi nanti, Papa dan Tante sayang sekali sama Kayla."Perjalanan ke restoran Italia pilihan Mama terasa panjang. Kayla sibuk bernyanyi, tidak menyadari ketegangan di kursi depan. Lintang menggenggam tangan Arya, merasakan keringatnya."Kita pasti bisa," bisiknya.Sesampainya di restoran, mereka disambut oleh pelayan yang mengantar ke meja reservasi. Mama, Papa, dan Kak Dimas sudah menunggu. Lintang menarik napas dalam-dalam sebel
Seminggu setelah makan malam keluarga yang mencekam, hidup berjalan seperti biasa bagi Lintang, Arya, dan Kayla. Namun, Lintang tahu ayahnya belum sepenuhnya menerima hubungan mereka. Maka dari itu, ia tidak terkejut ketika suatu sore, ayahnya mengundang mereka untuk makan malam... tanpa ibu atau kakaknya."Aku tak yakin ini ide bagus," gumam Arya di mobil, matanya awas memandang jalanan.Lintang menepuk paha Arya menenangkan. "Akan baik-baik saja. Papa hanya ingin bicara empat mata. Mungkin dia masih punya beberapa pertanyaan untukmu.""Atau lebih tepatnya, diinterogasi," Arya meringis.Di restoran, Lintang dan keluarga kecilnya disambut oleh ayahnya yang sudah menunggu dengan tampang tenang. Senyumnya sedikit dipaksakan, tapi dia menyambut mereka dengan sopan."Arya, Lintang, Kayla. Silakan duduk," ayahnya mempersilakan.Seperti minggu lalu, mereka duduk berdampingan. Kayla dengan riang menceritakan hari di sekolahnya pada sang kakek, tidak menyadari atmosfer tegang.Setelah memesan
Setelah makan malam yang emosional di rumah orang tua Lintang, hubungan mereka dengan keluarga Lintang perlahan membaik. Khususnya sikap Papa yang semula keras dan sangat menentang, kini mulai melunak. Pria separuh baya itu melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa Arya layak menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab.Namun, cobaan masih terus datang dari sudut yang tak terduga. Suatu hari, saat mereka tengah bersantai di kafe langganan, Lintang dan Arya dikejutkan oleh kehadiran seorang wanita cantik berpenampilan mewah yang tiba-tiba berdiri di hadapan meja mereka."Halo, Arya. Sudah lama tidak bertemu," wanita itu menyapa dengan senyum sinis.Arya membeku untuk sesaat, lalu bangkit dari kursinya dengan gerak protektif di depan Lintang dan Kayla. "Dian? Sedang apa kau di sini?"Dian, yang tak lain adalah mantan istri Arya, tertawa mengejek. "Tentu saja untuk melihat kekasih barumu ini. Dan Oh... apalagi ini? Kau membawa anak kita juga? Sungguh tidak tahu malu."Lintang meras
Hari Minggu pagi yang cerah, Lintang terbangun lebih awal dari biasanya. Aroma sedap masakan dari dapur membuat perutnya keroncongan. Rupanya Arya sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga.Lintang bangkit dari ranjang dan mengintip ke kamar Kayla. Gadis kecil itu masih terlelap, memeluk erat boneka panda pemberian Lintang. Senyum Lintang mengembang melihat pemandangan menggemaskan itu."Pagi, Sayang," sapa Arya dari dapur ketika Lintang melangkah ke ruang keluarga. "Sarapan akan siap sebentar lagi.""Pagi juga," Lintang menyambar secangkir kopi dan mencium aroma maskulin Arya yang selalu membuatnya tenang. "Biar aku bangunkan Kayla dulu."Lintang kembali ke kamar Kayla dan duduk di sisi ranjang kecilnya. Dengan lembut ia membelai rambut Kayla yang terurai."Kayla...saatnya bangun, Sayang. Ayo kita sarapan dulu."Perlahan, Kayla menggeliat dan membuka matanya. Senyum lebarnya menghiasi wajah polos saat melihat Lintang."Tante Lin!" Kayla melonjak untuk memeluk Lintang erat.
Hari yang dijanjikan akhirnya tiba. Lintang merasakan jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya ketika bel apartemen Arya berbunyi. Dengan sedikit ragu, ia membuka pintu, mendapati sosok seorang wanita muda berambut panjang yang masih tampak cantik meski Air mata tampak mengembun di pelupuk matanya."Dian..." gumam Lintang pelan. Meski telah melihatnya sebelumnya di kafe, ada sedikit rasa tak nyaman menginvasi hatinya menghadapi mantan istri Arya itu di tempat tinggal mereka.Dian mengangguk kaku, tampak sama gugupnya. "Hai, Lintang. Aku..."Ucapannya terputus ketika sosok mungil Kayla muncul dari balik punggung Lintang. Mata gadis kecil itu membelalak melihat tamunya."Mama?" Kayla bergumam pelan, tampak ragu sekaligus terkejut.Dian refleks membungkuk, seolah tak sanggup berdiri menghadapi putri semata wayangnya itu. Air mata mengalir di pipinya yang mulai layu."Kayla... Mama datang seperti janji Mama," ujar Dian parau. "Mama...datang untuk memperbaiki semuanya."Kayla terdia
Kalimat terakhir Dian benar-benar mengejutkan Lintang. Dia sama sekali tidak menduga bahwa percakapan mereka akan bermuara pada topik seperti itu."Hak asuh? Maksudmu..." Suara Lintang tercekat di tenggorokannya. Pikirannya kalut membayangkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.Dian mengangguk lemah, tampak begitu terpukul dengan kata-katanya sendiri. "Aku tahu aku egois, Lin. Tapi aku benar-benar merindukan Kayla. Ingin memeluknya, merawatnya, melihatnya tumbuh seperti dulu..."Air mata menggantung di pelupuk mata Dian. Lintang dapat merasakan kepedihannya sebagai seorang ibu yang begitu merindukan putrinya."Aku tidak bermaksud mengancam kalian, sungguh," lanjut Dian di sela isak tangisnya. "Hanya saja... aku hampir tak bisa menahan diri lagi, Lin. Aku...aku benar-benar ingin membawa Kayla bersamaku."Mendengar pernyataan itu, gemetar muncul di kaki Lintang. Membayangkan Kayla harus terpisah dari Arya dan dirinya sudah seperti mimpi buruk yang membekukan aliran darahnya."Tap