Share

Bab 9 Arya dan Masalah Perceraiannya

Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.

Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.

Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?

Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"

Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."

Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pikirannya melayang.

"Papa," Kayla memecah keheningan, "hari ini Tante Lintang jadi kan ikut kita ke taman?"

Arya tersenyum lemah. Ya, mereka berencana mengajak Lintang ke taman tempat Kayla biasa bermain. "Jadi dong. Tante Lintang udah janji."

"Asyik!" Kayla bersorak. "Aku mau ajak Tante main ayunan. Terus beliin es krim. Terus..."

Arya mendengarkan celotehan Kayla dengan setengah hati. Di benaknya, bayangan Dian muncul lagi. Dulu, sebelum semua berantakan, mereka sering ke taman itu. Tapi Dian lebih sering sibuk dengan ponselnya, meninggalkan Arya bermain sendiri dengan Kayla.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Lintang: "Pagi, Arya. Kita ketemu jam 10 ya di taman. Aku bawa bekal sandwich. Kayla suka tuna kan?"

Arya tersenyum, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Iya, dia suka. Makasih ya, Lin."

Saat mereka sampai di taman, Lintang sudah menunggu di bangku dekat area bermain. Ia melambai, senyumnya cerah. Kayla berlari ke arahnya, memeluknya erat.

"Tante! Ayo main ayunan!"

Lintang tertawa. "Oke, tapi jangan terlalu tinggi ya!"

Arya memperhatikan dari kejauhan. Lintang mendorong ayunan Kayla dengan lembut, tertawa lepas saat Kayla berseru minta didorong lebih tinggi. Mereka tampak bahagia. Seperti ibu dan anak sungguhan.

Ibu. Kata itu menghantam Arya. Bagaimana jika Lintang juga seperti Dian? Bagaimana jika suatu hari nanti, Lintang juga bosan? Menemukan pria lain yang lebih kaya, lebih muda? Meninggalkan Kayla seperti Dian meninggalkannya?

"Arya?" Lintang tiba-tiba sudah di depannya. "Kamu kok melamun?"

Arya tersentak. "Ah, nggak. Cuma... capek."

Lintang menatapnya curiga. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Kayla datang berlari. "Papa, Papa! Aku lapar!"

Mereka duduk di bawah pohon oak tua. Lintang membuka keranjang pikniknya, mengeluarkan sandwich tuna, buah-buahan, dan jus jeruk. Makan siang berlangsung dengan ceria, terutama berkat celotehan riang Kayla.

Tapi Lintang terus melirik Arya. Ada yang tidak beres. Arya tampak murung, jawabannya singkat. Bahkan saat Kayla memintanya bermain frisbee, ia menolak dengan alasan lelah.

Saat Kayla asyik memberi makan burung-burung dengan remah roti, Lintang mendekati Arya. "Kamu kenapa sih? Jangan bilang cuma capek. Aku tahu kamu lebih dari itu."

Arya menghela napas berat. "Lin, aku... aku ragu."

"Ragu?" Lintang mengernyit. "Tentang kita?"

Arya mengangguk pelan. "Bukan karena aku nggak sayang kamu. Tapi... Kayla. Aku takut dia terluka lagi."

"Maksudmu...?" tapi Lintang paham. "Dian."

"Iya," Arya memejamkan mata. "Semalam aku mimpi tentang malam dia pergi. Ninggalin kami. Ninggalin Kayla."

Lintang terdiam. Ia tahu tentang Dian, tentu saja. Tapi Arya jarang membahasnya secara detail. Hanya garis besarnya: mereka bercerai dua tahun lalu, Dian menemukan pria lain, dan Dian jarang menengok Kayla.

"Arya," Lintang berkata lembut, "aku bukan Dian."

"Aku tahu," Arya membuka mata, menatap Lintang sendu. "Tapi bagaimana kalau suatu hari nanti kamu bosan? Jenuh mengurus Kayla? Atau... atau kamu ketemu pria lain yang lebih cocok?"

Kata-kata itu menusuk Lintang. Ia ingat ketakutannya sendiri, tentang menjadi seperti ayahnya yang meninggalkan ibunya. Tapi ia juga ingat janji ibunya untuk tetap percaya pada cinta.

"Arya, dengar," Lintang menggenggam tangan Arya erat. "Aku nggak bisa janji kita nggak akan punya masalah. Tapi aku bisa janji satu hal: aku nggak akan pernah meninggalkan Kayla. Atau kamu. Kita hadapi apapun bersama, ingat?"

Arya tertegun. Kata-katanya sendiri, yang ia ucapkan pada Lintang saat makan siang canggung itu, kini berbalik padanya. Memberikan kekuatan.

"Kamu tahu nggak," Lintang melanjutkan, "kenapa aku suka ngajak Kayla belanja? Beli baju, buku, es krim? Bukan karena aku mau gantiin peran ibunya. Tapi karena saat bersamanya, aku merasa... utuh. Seperti aku menemukan bagian dari diriku yang hilang."

Air mata menggenang di pelupuk mata Arya. Ia mengerti perasaan itu. Setiap kali melihat Lintang dan Kayla bersama, ia juga merasakan hal yang sama. Keutuhan. Kelengkapan.

"Maaf," bisik Arya. "Aku... hantu masa lalu kadang masih menghantui."

"Nggak apa-apa," Lintang mengusap pipi Arya lembut. "Kita hadapi bersama, kan?"

Arya mengangguk, lalu menarik Lintang ke dalam pelukannya. Di kejauhan, Kayla melambai, mulutnya belepotan es krim. "Papa! Tante! Ayo main frisbee!"

Mereka tertawa, lalu berlari menghampiri Kayla. Di bawah sinar matahari sore, mereka bermain frisbee. Tawa Kayla memenuhi udara. Arya dan Lintang saling melempar pandang penuh arti, seolah berjanji tanpa kata.

Malam itu, dalam perjalanan pulang, Kayla tertidur di pangkuan Lintang. Arya menyetir pelan, sesekali melirik dua perempuan yang kini mengisi hidupnya.

"Lin," bisiknya, "maafkan aku soal tadi. Aku..."

"Sssh," Lintang memotong lembut. "Kita sama-sama punya masa lalu, Arya. Tapi kita juga punya masa depan. Bersama."

Arya mengangguk. Hatinya terasa ringan. Mungkin hantu perceraiannya dengan Dian tidak akan hilang sepenuhnya. Tapi sekarang, dengan Lintang di sisinya, dengan cinta Kayla yang tulus, Arya yakin. Mereka akan baik-baik saja. Lebih dari baik-baik saja.

Karena kadang, untuk menyembuhkan luka lama, yang dibutuhkan adalah cinta baru. Cinta yang datang dalam bentuk sandwich tuna, permainan frisbee, dan janji untuk tetap bersama, apapun yang terjadi.

(◕‿◕)

Malam itu, setelah menidurkan Kayla, Arya duduk sendirian di ruang tamu. Lintang sudah pulang, tapi kehangatannya masih terasa. Ia memandang foto Kayla di dinding, diambil setahun setelah perceraiannya dengan Dian.

Arya bangkit, membuka laci lemari tua di sudut ruangan. Di dalamnya, sebuah kotak sepatu lusuh. Dengan tangan gemetar, ia membukanya. Isinya: surat-surat perceraian, beberapa foto lama, dan... sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk hati.

Liontin itu hadiah pernikahan dari Dian. Di dalamnya, foto mereka bertiga: Arya, Dian, dan Kayla bayi. Arya ingat bagaimana Dian menangis terharu saat ia memberikannya. "Selamanya bersama," bisik Dian waktu itu.

Selamanya. Kata yang terasa pahit sekarang.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Lintang: "Udah tidur? Makasih buat hari ini. Aku sayang kalian."

Arya tersenyum getir. Ia membalas: "Udah. Makasih juga, Lin. Maaf soal tadi."

Lintang: "Jangan minta maaf terus. Kita udah bahas ini. Aku ngerti, Arya."

Air mata Arya menetes. Ia ingat malam Dian pergi. Bertengkar hebat di ruang tamu ini. Tuduhan perselingkuhan. Lalu Dian mengepak barangnya, meninggalkan liontin itu di meja. "Aku nggak bisa, Arya," isaknya. "Aku nggak siap jadi ibu. Maaf."

Kayla menangis sepanjang malam. Memanggil-manggil ibunya. Arya hanya bisa memeluknya, tidak tahu harus bilang apa. Bagaimana menjelaskan pada anak 5 tahun bahwa ibunya memilih pergi?

Ponsel bergetar lagi. Lintang menelepon.

"Arya?" suaranya lembut. "Kamu masih bangun. Ada apa?"

Arya terdiam sejenak. "Lin, aku... aku takut."

"Aku tahu," Lintang menjawab sabar. "Tapi kita udah bahas ini, kan? Aku nggak akan—"

"Bukan itu," Arya memotong. "Aku takut... aku yang akan menyakitimu."

Hening sejenak. "Maksudmu?"

Arya menghela napas berat. "Dulu, aku yang salah. Aku terlalu fokus kerja. Pulang malam terus. Dian kesepian. Dia bilang, aku lebih cinta pekerjaanku daripada dia."

"Arya..."

"Aku nggak mau jadi begitu lagi, Lin," suara Arya bergetar. "Aku nggak mau kamu merasa diabaikan. Atau Kayla. Aku nggak mau kehilangan kalian karena aku bodoh."

Lintang terdiam. Ia paham sekarang. Ketakutan Arya bukan hanya soal ditinggalkan, tapi juga soal menyakiti orang yang ia cintai.

"Arya, dengar," Lintang berkata tegas. "Kita bukan Arya dan Dian dulu. Kita beda. Kita belajar dari kesalahan. Kamu udah berubah. Aku lihat sendiri gimana kamu sama Kayla sekarang."

Arya terisak pelan. "Tapi pekerjaanku..."

"Kita atur bersama," Lintang meyakinkan. "Kamu CEO, punya fleksibilitas. Aku juga punya karir. Kita bisa saling mengerti. Dan Kayla, dia lebih ngerti dari yang kamu kira."

Arya memandang liontin di tangannya. Bayangan masa lalu. Tapi bukan masa depan.

"Lin," bisiknya. "Makasih. Aku... aku mau coba. Buat kita. Buat Kayla."

"Aku tahu," Lintang tersenyum, walau Arya tak bisa melihatnya. "Kita coba bareng ya. Nggak ada yang sempurna, Arya. Tapi kita bisa jadi lebih baik, bersama."

Setelah telepon ditutup, Arya memandang liontin itu sekali lagi. Lalu, dengan mantap, ia menaruhnya kembali ke kotak. Mungkin suatu hari nanti, ia akan menceritakan semuanya pada Lintang. Tapi tidak malam ini.

Malam ini, ia punya janji untuk ditepati. Janji untuk mencoba. Untuk memperbaiki kesalahan lama. Untuk mencintai dengan lebih baik.

Arya menutup kotak itu, menaruhnya kembali ke laci. Besok, ia akan mengajak Lintang dan Kayla sarapan di luar. Mungkin ke kafe tempat mereka pertama bertemu. Karena kadang, untuk memulai masa depan yang lebih baik, kita perlu kembali ke tempat semuanya berawal.

Dengan hati yang lebih ringan, Arya melangkah ke kamarnya. Di luar, bulan purnama menyinari Jakarta. Simbol baru. Awal baru. Untuk Arya, untuk Lintang, dan untuk Kayla.

(◕‿◕)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status