Share

bab 8 Makan Siang yang Canggung

Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.

Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?"

Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya.

"Iya, turun sekarang."

Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut.

"Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?"

"Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta."

Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya pada pasta saat mereka memasak di rumah Arya. Entah mengapa, fakta kecil ini membuat dadanya menghangat.

Di restoran, setelah memesan (fettuccine carbonara untuk Lintang, lasagna untuk Arya), keheningan canggung menyelimuti mereka. Lintang memainkan gelas airnya, sementara Arya tampak asyik mengamati lukisan di dinding.

"Jadi," Arya akhirnya memecah keheningan, "bagaimana proyekmu? Yang revitalisasi brand itu?"

"Oh, lancar," Lintang menjawab, agak terlalu cepat. "Tim marketing sudah mulai implementasi. Respon awal positif."

"Bagus," Arya mengangguk. Hening lagi.

Lintang merujuk dalam hati. Mengapa semuanya jadi begini? Kemarin mereka masih bisa ngobrol santai, bercanda, bahkan hampir berciuman. Sekarang? Rasanya seperti dua orang asing yang dipaksa duduk semeja.

Makanan datang, memberi mereka alasan untuk tidak bicara. Lintang memutar-mutar fettuccine di garpunya, pikirannya melayang ke malam di teras itu. Kehangatan tangan Arya di pinggangnya. Napas mereka yang beradu. Bibir mereka yang nyaris...

"Lin?" suara Arya menyentaknya kembali ke realita. "Kau nggak suka pastanya?"

"Eh? Oh, enak kok," Lintang buru-buru menyuap. "Cuma... lagi mikir sesuatu."

Arya meletakkan garpunya. Matanya menatap Lintang lurus-lurus. "Tentang malam itu?"

Lintang tersedak. Ia terbatuk-batuk, buru-buru minum air. Arya menunggu dengan sabar, tapi tatapannya intensif. Menuntut kejujuran.

"Iya," akhirnya Lintang mengaku. "Aku... aku bingung, Arya."

"Karena kita hampir berciuman?"

Lintang mengangguk, wajahnya memanas. "Bukan cuma itu. Tapi... semuanya. Kau, aku, Kayla. Ini bukan sekedar hubungan biasa kan?"

Arya menghela napas panjang. "Memang bukan. Lin, aku nggak mau bohong. Aku... aku suka padamu. Lebih dari teman."

Jantung Lintang seolah berhenti. Ia tahu, tentu saja ia tahu. Tapi mendengarnya langsung dari mulut Arya...

"Tapi," Arya melanjutkan, "aku nggak mau memaksamu. Aku tahu ini rumit. Aku duda, punya anak. Kau masih muda, punya karir cemerlang. Aku nggak mau jadi beban."

"Kau bukan beban," Lintang menyela cepat. "Arya, kau... kau orang baik. Dan Kayla, dia anak yang luar biasa. Aku sayang kalian berdua."

"Tapi?" Arya menebak, matanya sendu.

Lintang menelan ludah. "Tapi aku takut. Orang tuaku... perceraian mereka hancurkan aku, Arya. Dan aku nggak mau Kayla mengalami hal yang sama."

Arya mengulurkan tangan, menggenggam jemari Lintang di atas meja. Hangat. Menenangkan. "Lin, aku nggak bisa janji kita nggak akan punya masalah. Tapi aku bisa janji satu hal: aku nggak akan pernah menyakiti Kayla. Atau kamu. Kita hadapi apapun bersama."

Air mata menggenang di pelupuk mata Lintang. Ia teringat kata-kata ibunya. Tentang memilih untuk mencintai meski ada risiko terluka. Tentang keberanian.

"Aku juga suka padamu, Arya," Lintang berbisik. "Tapi... bisa kita pelan-pelan? Aku nggak mau buru-buru. Demi Kayla."

Arya mengangguk, senyumnya lembut. "Tentu. Kita ambil waktu. Yang penting kita jujur satu sama lain. Kalau ada yang mengganggu, langsung bilang ya."

Lintang mengangguk, hatinya lebih ringan. Mungkin ini masih terasa canggung, mungkin masih ada ketakutan. Tapi setidaknya, mereka sudah bicara. Mereka jujur.

Sisa makan siang itu berlalu dengan lebih santai. Arya bercerita tentang proyek arsitekturnya, tentang rumah hijau yang jadi impiannya sejak kuliah. Lintang mendengarkan dengan tertarik, sesekali memberi saran.

Saat mereka berpisah di lobi, Arya menahan tangan Lintang sebentar. "Hei," katanya lembut, "terima kasih sudah berani bicara tadi."

Lintang tersenyum. "Terima kasih juga sudah mengerti."

"Nanti malam aku jemput ya. Kita makan nasi goreng di rumah. Kayla sudah nggak sabar."

"Oke," Lintang mengangguk. "Sampai nanti."

Di lift menuju kantornya, Lintang merenung. Makan siang tadi memang canggung. Tapi juga jujur. Dan kadang, kejujuran memang tidak nyaman. Tapi dari ketidaknyamanan itu, mereka menemukan pemahaman. Menemukan harapan.

Lintang tersenyum. Mungkin ini memang bukan jalan yang mudah. Tapi kalau itu artinya ia bisa terus melihat senyum Kayla dan mendengar tawa Arya, maka ini adalah jalan yang ia pilih untuk ditempuh. Pelan-pelan, dengan hati yang semakin terbuka.

(โ—•โ€ฟโ—•)

Lift berdenting, pintu terbuka di lantai kantor Lintang. Ia melangkah keluar, pikirannya masih tertinggal di restoran Italia itu. Pada pengakuan Arya. Pada ketakutannya sendiri yang akhirnya terucap.

"Lintang!" suara Rina, salah satu anggota tim marketingnya, menyentak Lintang kembali ke realita. "Gimana makan siangnya? Eh, kok muka kamu merah?"

Lintang menggeleng cepat. "Nggak apa-apa. Cuma... kepanasan." Ia berjalan cepat ke ruangannya, mengabaikan tatapan penasaran Rina.

Di dalam, Lintang menghempaskan diri ke kursi. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih belum normal. Matanya tertuju pada pigura di meja. Foto ibunya. Wanita itu tersenyum lembut, seolah mengerti pergolakan batin putrinya.

"Ibu," Lintang berbisik, "aku sudah coba. Aku jujur sama Arya. Tapi... kok rasanya malah tambah takut ya?"

Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Udah sampai kantor? Hati-hati ya. Dan Lin, makasih udah berani tadi. Aku tahu itu nggak mudah."

Lintang tersentak. Bagaimana Arya bisa tahu? Bagaimana ia selalu tahu apa yang Lintang rasakan, bahkan saat Lintang sendiri bingung?

"Udah. Makasih juga udah ngerti," Lintang membalas. Jarinya berhenti sejenak di atas keyboard. Lalu, dengan jantung berdebar, ia menambahkan, "Aku nggak nyesel. Jujur sama kamu. Meski takut."

Balasan Arya datang cepat: "Aku juga. Kita sama-sama takut, Lin. Tapi kita hadapi bareng. Step by step. Oke?"

Air mata Lintang nyaris jatuh. "Oke," balasnya singkat. Tapi di balik kata pendek itu, ada janji. Janji untuk mencoba. Untuk tetap jujur, meski takut.

Ketukan di pintu. "Lintang?" Itu Dewi. "Rapat 5 menit lagi. Kamu udah siap?"

Lintang menarik napas dalam. Rapat. Karirnya. Dulu, hanya ini yang ia punya. Hanya ini yang ia yakini tidak akan mengkhianatinya. Tapi sekarang...

"Iya, aku siap," Lintang menjawab, bangkit dari kursi. Ia meraih tas laptopnya, tapi kemudian berhenti. Tangannya meraih pigura foto ibunya, mengusapnya lembut.

"Doain aku ya, Bu," bisiknya. "Buat rapat ini, dan... buat yang lainnya juga."

Di ruang rapat, Lintang berdiri di depan para eksekutif. Ia mulai presentasi tentang revitalisasi brand. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Biasanya, ia bicara dengan dingin dan fakultatif. Kali ini, ada semangat baru dalam suaranya.

"Brand kita bukan cuma tentang produk," Lintang menjelaskan, matanya berbinar. "Tapi tentang cerita. Cerita tentang keluarga. Tentang momen-momen sederhana yang jadi berharga."

Para eksekutif tampak tertarik. CEO bahkan mencondongkan badan, alisnya terangkat.

"Bayangkan iklan kita," Lintang melanjutkan, "seorang ayah dan putri kecilnya, membuat kue bersama dengan produk kita. Atau mungkin, seorang ibu muda yang baru pulang kerja, disambut pelukan hangat keluarganya. Kita jual bukan hanya kualitas, tapi juga kehangatan."

Hening sejenak. Lalu CEO bertepuk tangan. Yang lain mengikuti. "Brilian, Lintang," pujinya. "Pendekatan yang segar. Sangat... personal. Apa yang menginspirasi mu?"

Lintang terdiam sejenak. Bayangan Arya dan Kayla di dapur, belepotan tepung saat membuat kue ulang tahun Kayla minggu lalu, melintas di benaknya. Atau malam-malam saat ia pulang kerja, disambut tawa riang Kayla dan senyum hangat Arya.

"Pengalaman pribadi, Pak," Lintang akhirnya menjawab, senyum tulus di bibirnya. "Kadang, kebahagiaan datang dari hal-hal yang tidak kita duga."

Rapat berakhir dengan sukses besar. Rekan-rekannya menghampiri, memberi selamat. Tapi Lintang sudah tidak sabar. Ia buru-buru kembali ke ruangannya, meraih ponsel.

"Rapat sukses!" ia mengetik pesan untuk Arya. "Ide kita diterima. Nasi goreng malam ini jadi kan?"

Balasan datang nyaris seketika: "Tentu! Kayla udah siap-siap dari tadi. Katanya mau pake dress pemberian Tante. ๐Ÿ˜Š"

Lintang tertegun. Dress itu, hadiah ulang tahun Kayla. Ia ingat bagaimana ia kebingungan memilih hadiah. Tapi saat melihat dress merah muda dengan pita putih itu, entah kenapa ia yakin Kayla akan menyukainya.

"Bilang Kayla, Tante juga mau dandan. Kita princesses malam ini!" balas Lintang, tersenyum lebar.

Sore itu, Lintang pulang dengan hati ringan. Rapat sukses, tapi bukan itu yang membuatnya bahagia. Melainkan janji makan malam dengan dua orang yang, tanpa ia sadari, telah mengisi ruang kosong dalam hatinya.

Di apartemen, Lintang mandi cepat lalu membuka lemari. Tangannya menyusuri deretan baju, berhenti pada gaun musim panas berwarna hijau mint. Gaun yang ia beli tahun lalu tapi tak pernah ia pakai. Terlalu manis, pikirnya dulu, untuk seorang wanita karir.

Tapi malam ini, Lintang memakainya. Ia bahkan menambahkan sedikit lip glossy dan eye shadow. Bukan untuk terlihat cantik di mata Arya, tapi karena malam ini, untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa cantik. Merasa seperti dirinya yang utuh.

Perjalanan ke rumah Arya terasa berbeda. Bukan lagi perjalanan canggung seperti tadi siang. Kali ini, ada antisipasi. Ada harapan.

Begitu sampai dan menekan bel, pintu terbuka dengan cepat. "Tante!" Kayla menyerbu Lintang, memeluknya erat. Ia mengenakan dress merah muda pemberian Lintang, rambutnya dihiasi pita putih.

"Hai, Putri," Lintang tertawa, mengangkat Kayla. "Wah, cantik sekali malam ini!"

"Tante juga cantik!" Kayla berseru. "Papa, liat deh! Tante Lintang cantik kan?"

Arya muncul dari dapur, masih mengenakan apron. Matanya melebar melihat Lintang. "Iya, cantik sekali," bisiknya, tapi cukup keras untuk Lintang dengar.

Lintang merasa wajahnya memanas. Tapi kali ini, ia tidak memalingkan muka. Ia balas menatap Arya, tersenyum malu.

"Ayo masuk!" Kayla menarik tangan Lintang. "Papa udah siap-siap buat goreng telur. Aku bantuin Tante bikin nasi goreng ya?"

Di dapur, Lintang menemukan bahan-bahan sudah siap. Arya bahkan sudah mengeluarkan buku resep ibunya dari rak atas. "Kamu... ingat ini?"

"Tentu," Arya tersenyum lembut. "Kamu bilang ini resep spesial ibumu."

Lintang tercekat. Ia ingat menceritakan tentang buku ini saat mereka makan siang berdua minggu lalu. Saat itu, ia tak menyangka Arya akan mendengarkan dengan begitu seksama.

Mereka mulai memasak. Kayla membantu memotong daun bawang dengan gunting khusus anak, sementara Arya dan Lintang bergantian mengaduk nasi di wajan. Sesekali tangan mereka bersentuhan, dan bukannya menjauh canggung seperti dulu, kini mereka saling melempar senyum.

"Nah," Arya mengangkat wajan, "saatnya telur mata sapi ala Chef Arya!"

Lintang dan Kayla bertepuk tangan saat Arya dengan lihai memecahkan telur. Memang benar, pinggiran kuningnya sedikit garing, persis seperti yang Kayla suka.

Makan malam itu berlangsung hangat. Mereka duduk di meja makan kecil, Kayla di antara Arya dan Lintang. Nasi goreng tersaji di piring-piring bermotif bunga, telur mata sapi di atasnya seperti matahari kecil.

"Enak!" Kayla berseru setelah suapan pertama. "Tante, ini lebih enak dari restoran!"

Lintang tertawa, tapi matanya berkaca-kaca. Ia teringat ibunya lagi. "Ini resep Nenek, sayang. Nenek bilang, rahasia nasi goreng enak itu bukan di bumbunya. Tapi di cintanya."

Arya mengulurkan tangan di bawah meja, menggenggam tangan Lintang. Lintang balas menggenggam, erat.

Malam semakin larut. Kayla sudah terlelap di sofa setelah Lintang membacakan "Putri dan Naga" untuknya. Arya menggendong Kayla ke kamarnya, sementara Lintang membereskan piring-piring kotor.

Ketika Arya kembali, ia menemukan Lintang berdiri di depan jendela dapur, memandang keluar. Bulan purnama menggantung di langit, menyinari halaman belakang yang kecil namun terawat.

"Lin," Arya mendekat, berdiri di samping Lintang. "Terima kasih. Untuk semuanya."

Lintang menoleh. "Aku yang harusnya berterima kasih. Kalian... kalian memberiku sesuatu yang sudah lama hilang."

"Apa?" tanya Arya lembut.

"Rumah," Lintang berbisik. "Bukan rumah dalam arti bangunan. Tapi... perasaan di rumah. Aman. Diterima."

Arya menggenggam tangan Lintang, membawanya ke dadanya. "Kau akan selalu punya rumah di sini, Lin. Kau dan segala keraguanmu, ketakutanmu. Kita hadapi bersama."

Lintang menatap Arya, melihat kejujuran di matanya. Ia teringat makan siang canggung tadi. Betapa takutnya ia saat itu. Tapi sekarang, dengan aroma nasi goreng masih mengambang di udara dan suara dengkuran halus Kayla dari kamar sebelah, rasa takut itu perlahan memudar.

Digantikan oleh sesuatu yang lebih kuat. Sesuatu yang dimulai dengan pesanan kopi yang tertukar, berlanjut dengan makan siang yang canggung, dan kini berkembang menjadi malam yang penuh kehangatan. Cinta. Cinta yang datang perlahan, dalam bentuk yang tak terduga. Dalam bentuk seorang duda dan putri kecilnya yang istimewa.

Malam itu, saat Lintang pamit pulang, Arya mencium keningnya lembut. Bukan di bibir, belum waktunya. Tapi ciuman itu membawa janji. Janji akan hari-hari cerah di depan. Hari-hari yang mungkin masih akan ada keraguan dan ketakutan, tapi juga akan ada tawa Kayla, aroma nasi goreng, dan kehangatan tangan yang saling menggenggam.

Karena kadang, kisah cinta terbaik dimulai dari makan siang yang canggung. Dan berakhir dengan kepastian bahwa apapun yang terjadi, mereka akan menghadapinya bersama. Selangkah demi selangkah.

(โ—•โ€ฟโ—•)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status