Share

Bab 7 Keraguan Lintang

Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor.

Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang.

Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang.

Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut?

Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? 😊"

Lintang memandangi pesan itu lama. Jarinya bergetar di atas keyboard.

"Pagi juga. Iya, tidurku nyenyak. Kamu?"

Singkat, tanpa emoji. Lintang menghela napas. Kenapa ia jadi seperti ini? Bukankah ia yang selama ini menginginkan kedekatan, kehangatan, dan mungkin... cinta?

Tapi cinta dengan seorang duda? Dengan anak? Lintang bangkit, berjalan mondar-mandir di kamar. Pikirannya kacau.

Di kantor, Lintang memaksakan senyum saat menyapa rekan-rekannya. Ia masih dipuji atas kesuksesan rapat strategi kemarin. Tapi semua pujian itu terasa hambar. Ia terus memikirkan Arya dan Kayla. Terus menimbang-nimbang.

Saat makan siang, Dewi, sahabatnya sejak kuliah, menyadari ada yang tidak beres. "Lin, kamu kenapa? Bukannya harusnya lagi happy? Rapat kemarin kan sukses besar."

Lintang memainkan sedotan jus apelnya. "Dewi... kalau kamu jatuh cinta sama duda, gimana?"

Dewi tersedak roti lapis tunanya. "Hah? Kamu... sama Arya?"

Lintang mengangguk pelan. Dewi tahu tentang Arya. Lintang sering cerita, meski belum pernah mengaku ada perasaan khusus.

"Terus masalahnya apa? Arya kan baik. Mapan. Ganteng lagi," Dewi mengerling.

"Tapi dia duda, Wi. Punya anak. Kayla..." Lintang menatap kosong ke luar jendela kafe. "Aku... aku takut nggak bisa jadi ibu yang baik."

Dewi meraih tangan Lintang. "Lin, kamu itu wanita terhebat yang pernah aku kenal. Kamu pikir kenapa kamu bisa jadi manajer termuda? Karena kamu nggak pernah nyerah. Kamu selalu belajar."

"Tapi ini beda, Wi. Ini anak manusia. Kalau aku salah..."

"Kamu nggak akan salah," Dewi memotong tegas. "Aku lihat gimana kamu sama Kayla. Kamu sayang dia. Dan dia sayang kamu. Itu yang penting."

Lintang terdiam. Ia teringat senyum Kayla saat menerima buku "Putri dan Naga". Teringat tawa renyahnya saat memotong daun bawang untuk nasi goreng. Dan kata-katanya, "Tante kan udah jadi bagian dari keluarga kita."

Keluarga. Kata yang dulu terasa asing bagi Lintang. Dulu, karirnya adalah segalanya. Tapi sekarang...

"Wi, aku... aku rasa aku cinta sama Arya."

Dewi tersenyum lebar. "Nah, akhirnya ngaku juga. Terus?"

"Tapi aku takut," Lintang berbisik. "Kalau nanti nggak berhasil... Kalau nanti aku menyakiti Kayla..."

"Lin," Dewi menatap serius, "hidup itu nggak ada jaminan. Tapi kita nggak bisa diem aja gara-gara takut. Cinta itu perlu keberanian."

Sore itu, Lintang duduk di mobilnya di parkiran kantor. Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Kayla nanya, kapan Tante Lintang main lagi. Dia kangen."

Hati Lintang mencelos. Ia memejamkan mata, teringat malam di teras belakang. Ciuman itu. Lembut, tapi penuh janji. Janji akan hari-hari cerah, tawa Kayla, dan... keluarga.

Tapi bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika, seperti orang tuanya dulu, ia dan Arya berakhir dengan pertengkaran dan air mata? Bagaimana jika Kayla harus melihat itu semua?

Lintang teringat album foto lama di apartemennya. Album berisi foto-foto masa kecilnya. Foto-foto di mana ia tersenyum lebar, diapit kedua orang tuanya. Sebelum perceraian itu. Sebelum ia bersumpah untuk tidak pernah jatuh cinta, untuk tidak pernah membuat seorang anak merasakan apa yang ia rasakan.

Tapi kemudian ia teringat kata-kata ibunya, setahun sebelum ibunya meninggal karena kanker. "Lintang, Ibu menyesal. Bukan karena bercerai dengan ayahmu. Tapi karena membiarkan kamu berpikir bahwa cinta itu hanya menyakitkan. Cinta itu indah, Nak. Berani mencinta lagi. Demi Ibu."

Air mata Lintang menetes. Ia meraih ponselnya, mengetik pesan untuk Arya:

"Aku juga kangen kalian. Besok Sabtu, aku ke sana ya. Kita piknik di taman kota. Bawa bekal nasi goreng?"

Balasan Arya datang nyaris seketika: "Tentu! Kayla sudah loncat-loncat senang. Dan Lin... terima kasih. Untuk berani mencoba."

Lintang tersenyum di antara air mata. Berani mencoba. Ya, mungkin itu yang ia butuhkan sekarang. Keberanian untuk membuka hati, untuk mengambil risiko, untuk percaya bahwa kadang, cinta bisa datang dalam bentuk seorang duda tampan dan putri kecilnya yang ceria.

Ia menyalakan mesin mobil. Besok Sabtu. Besok, ia akan melangkah maju. Bukan sebagai Lintang si wanita karir yang takut terluka, tapi sebagai Lintang yang berani mencinta. Lintang yang mungkin, suatu hari nanti, akan dipanggil "Mama" oleh seorang gadis kecil bernama Kayla.

Dan mungkin, hanya mungkin, kali ini cinta tidak akan menyakitkan. Kali ini, cinta akan terasa seperti piknik di taman kota, nasi goreng hangat, dan janji akan keluarga yang utuh.

(◕‿◕)

Malam itu, Lintang tidak bisa tidur. Ia terus membolak-balik tubuhnya di tempat tidur, pikirannya berkecamuk. Keputusan untuk piknik besok dengan Arya dan Kayla terasa benar, tapi juga menakutkan. Seolah dengan menerima ajakan itu, ia telah membuka pintu menuju sesuatu yang lebih besar, lebih serius.

Akhirnya, frustasi, Lintang bangkit. Ia berjalan ke arah rak buku di sudut kamar. Tangannya menyusuri deretan novel dan buku bisnis, berhenti pada sebuah album tua. Album yang sama yang tadi siang membuatnya teringat akan janji pada ibunya untuk berani mencintai lagi.

Lintang membawa album itu ke tempat tidur, membukanya perlahan. Halaman pertama: foto kelulusan SD-nya. Ia tersenyum melihat dirinya yang kecil, memegang piala dan sertifikat, diapit ayah dan ibunya yang tersenyum bangga. Tapi senyum itu memudar saat ia ingat, dua bulan setelah foto itu diambil, pertengkaran hebat pertama terjadi.

Halaman berikutnya, foto ulang tahunnya yang ke-15. Hanya ada ibunya di sana. Ayahnya sudah pergi, memilih keluarga barunya di luar kota. Lintang ingat, malam itu ia bersumpah tidak akan pernah jatuh cinta. Tidak akan pernah membiarkan seorang pria membuatnya merasa ditinggalkan seperti ibunya.

Lintang membalik halaman demi halaman. Foto-foto kelulusannya, wisudanya, bahkan pesta untuk jabatan manajernya. Semuanya hanya ada ibunya. Tapi di setiap foto, senyum ibunya tak pernah pudar. Meski sendiri, meski mungkin hatinya masih terluka, ibunya tetap tersenyum. Untuk Lintang.

"Ibu," bisik Lintang, jarinya menyusuri wajah ibunya di foto terakhir, diambil sebulan sebelum ibunya meninggal. "Aku takut, Bu. Bagaimana kalau aku juga ditinggalkan? Bagaimana kalau aku juga menyakiti Kayla, seperti Ayah menyakitiku?"

Seolah menjawab, ponselnya bergetar. Lintang mengambilnya, mengira pesan dari Arya. Tapi bukan. Itu notifikasi dari aplikasi jurnal digital yang ia gunakan. "Pengingat: 2 tahun yang lalu hari ini, Anda menulis..."

Penasaran, Lintang membuka aplikasi itu. Entri yang muncul membuatnya tercekat:

"10 Juni 2022. Ibu pergi hari ini. Tapi sebelumnya, ia memintaku berjanji. 'Berani mencinta lagi,' katanya. Aku tidak mengerti, Bu. Bukankah cinta itu yang membuatmu terluka? Yang membuatku terluka? Tapi Ibu bilang, 'Cinta bukan hanya tentang dipilih, Lintang. Tapi juga tentang memilih. Memilih untuk tetap mencintai meski sakit. Memilih untuk membuka hati lagi. Karena kadang, cinta datang dengan cara yang tak terduga.'"

Air mata Lintang menetes. Ia teringat hari itu, hari terakhir ibunya. Bagaimana di tengah rasa sakitnya, ibunya masih memikirkan kebahagiaan Lintang. Masih percaya pada cinta.

Lintang meraih ponselnya lagi, membuka galeri. Ada foto yang ia ambil diam-diam minggu lalu. Arya dan Kayla di taman bermain, duduk di ayunan. Arya mendorong ayunan Kayla pelan-pelan, wajahnya serius tapi matanya berbinar. Dan Kayla, tertawa lepas, rambutnya berkibar tertiup angin.

"Memilih untuk tetap mencintai," Lintang berbisik, mengulang kata-kata ibunya. Ia sadar sekarang. Arya memilih untuk tetap mencintai Kayla meski pernikahannya hancur. Dan mungkin, mungkin Arya juga memilih untuk membuka hatinya lagi, untuk Lintang.

Dan Lintang? Ia telah memilih untuk datang ke piknik besok. Untuk membawa nasi goreng. Untuk mencoba, meski takut.

Tiba-tiba, Lintang teringat sesuatu. Ia melompat dari tempat tidur, menuju dapur. Di sana, di rak paling atas, tersembunyi di belakang toples-toples bumbu, ada sebuah buku. Buku resep peninggalan ibunya.

Lintang membuka buku itu, halaman-halamannya menguning dan agak rapuh. Tapi resep nasi goreng ibunya masih terbaca jelas. Dengan tulisan tangan ibunya di tepi halaman: "Resep cinta. Buatlah dengan sepenuh hati."

Lintang tersenyum. Besok, ia akan membuat nasi goreng ini. Bukan hanya untuk Arya dan Kayla, tapi juga untuk dirinya sendiri. Sebagai pengingat bahwa ia, Lintang, putri dari seorang wanita yang tetap percaya cinta meski terluka, kini berani memilih. Memilih untuk mencoba. Memilih untuk mencintai.

Ia kembali ke kamar, memeluk album fotonya erat-erat. "Ibu," bisiknya, "besok aku akan membuktikan. Aku akan berani seperti Ibu. Aku akan mencintai lagi."

Malam itu, Lintang akhirnya bisa tidur. Dan ia bermimpi. Mimpi tentang piknik di taman, tawa Kayla, senyum Arya, dan aroma nasi goreng. Mimpi tentang keluarga. Mimpi tentang cinta yang datang dengan cara yang tak terduga.

Keesokan paginya, Lintang bangun dengan tekad baru. Rasa takutnya masih ada, tapi kini ada sesuatu yang lebih kuat. Keberanian. Keberanian yang diwariskan ibunya. Keberanian untuk memilih cinta.

Di dapur, Lintang mulai meracik nasi goreng. Setiap bahan ia pilih dengan hati-hati. Setiap gerakan penggorengan ia lakukan dengan penuh perasaan. Dan saat aroma nasi goreng memenuhi apartemennya, Lintang tahu. Ia siap. Siap untuk piknik. Siap untuk Arya dan Kayla.

(◕‿◕)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status