Yuna hampir tersentak saat ia baru saja duduk di meja kerjanya, pintu ruangan Jason terbuka. Seorang lelaki muda berpakaian formal, memasang raut wajah kesal. Lelaki itu bahkan membanting kasar pintu ruangan Jason.“Hei, kamu dokter pribadinya Jason?” tanyanya hampir mengejutkan Yuna.Wajah Yuna sedikit bingung. Namun, ia segera mengenali lelaki tersebut. Arka Wijaksono—saudara tirinya Jason. Yuna hanya membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai salam hormat.“Benar, Tuan. Saya dokter yang pribadinya tuan Sean,” jawab Yuna membenarkan.Arka mencibir. “Sebaiknya kamu hati-hati dengan Jason. Dia itu—““Tuan Arka!” tegur Adam memotong ucapan Arka.
“Kenapa kamu tak melarangku meminum obat dan vitamin yang diberikan bi Nani?” tanya Jason menatapnya curiga. “Maafkan aku, Tuan Jason. Saat pagi tadi aku masih ragu dan belum yakin ... apalagi sepertinya Tuan sangat mempercayai bi Nani,” jawab Yuna lalu menundukkan pandangannya, menunjukkan rasa penyesalannya. Jason menghela napas pendek. Tentu saja ia tak bisa menyalahkan Yuna. Bukankah dokter cantik itu sudah menyelamatkan dirinya? Lebih baik ia mencari tahu alasan kenapa pelayannya tega melakukan hal tersebut. Tidak! Jason tahu siapa pelakunya dan ia yakin sekali bi Nani hanyalah disuruh. Seseorang yang menginginkan perusahaannya dan tak menyukai keberadaannya. Akan tetapi, tetap saja pelayan itu berkhianat dan hampir mencelakainya. Jason, lantas menatap wajah Yuna yang masih memasang ekspresi bersalah. “Maafkan aku, Dokter Yuna. Aku tak bermaksud menyalahkanmu,” ucap Jason pelan. Ia berdeham pelan sebelum melanjutkan ucapannya. “Sekarang bagaimana kondisiku?” Yuna refleks men
“Diam!” sentak Yuna pada ketiganya saat mereka saling membuka mulutnya melakukan pembelaan. “Apa pun yang keluar dari mulut kalian, sangatlah tidak pantas! Apalagi kalian masih mengais rezeki dari perusahaan orang kalian hina!” Yuna tak terima mereka menghina Jason. Dokter cantik itu bisa saja menahan diri jika dirinya yang digosipkan atau dihina. CEO itu bukan hanya sekedar pasien untuknya, tetapi Jason menjadi jalan untuknya merubah masa depannya. Serentak ketiganya hanya bisa menunduk, takut dan cemas. Kemudian mereka memberi jalan pada Yuna yang bergerak maju menuju wastafel untuk membasuh tangannya. Tatapan dokter cantik itu masih menatap wajah mereka dari cermin di hadapannya seraya membilas sabun pada tangannya. “Maafkan kami, Dokter. Kami bersalah,” ucap salah satu dari ketiganya memberanikan diri untuk bersuara. Yuna mendesis sinis. “Syukurlah kalian sadar dan aku harap kalian memang menyadari tindakan bodoh tersebut, bukan menyesal karena sudah ketahuan,” ujarnya seraya m
“Maafkan aku terlalu lama meninggalkan meja kerjaku, Tuan,” ucap Yuna menunjukkan wajah penuh sesal setelah berada di hadapan Jason.“Tidak apa-apa. Cairan infusnya sudah mau habis, karena itulah aku memanggilmu ... aku sudah tak nyaman rasanya,” sahut Jason tanpa menatap wajah dokternya.Tangan Jason hanya menggulir malas kursor pada laptopnya. Ia lantas melirik wajah Yuna yang tengah memperhatikan sisa cairan infusnya. “Sepertinya masih lama, Tuan. Mungkin setengah jam baru bisa kulepas,” ucap Yuna bingung.“Ah, aku akan mempercepat saja, 15 menit lagi baru bisa dilepas. Tolong bersabar sebentar lagi, Tuan,” pinta Yuna seraya mengatur laju tetesan air infusnya.“Baiklah kalau begitu,” sahut Jason berat.Yuna langsung mengukir senyuman untuk Jason saat CEO tampan itu menatap ke arahnya. “Terima kasih atas kesabarannya, Tuan,” ucapnya tulus.Jason membalas senyuman Yuna tipis saja. Kemudian ia memandangi dokter cantik itu meninggalkan ruangan kerjanya. Namun Jason refleks menoleh pada
“Kamu mengerti?” tanya Jason masih dengan kedua tangan berada pada daun telinga Yuna dan menatapnya kedua netranya tegas.Yuna refleks mengangguk. Jason tersenyum tipis lalu melepaskan pelukannya dan meluruskan punggungnya. Sesaan Yuna tampak linglung, ia masih menatap senyuman Jason.Detik ketiga, ia langsung tersadar segera bangkit berdiri. Akan tetapi tangannya berpegangan pada tepian meja samping papan nama bertuliskan CEO’s Jason Abraham. Kaki dan tubuhnya mendadak lemas oleh tatapan Jason.Yuna memejamkan kedua bola matanya sebentar seraya menggelengkan kepalanya dan mengatur napas, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Sementara Jason tampak menahan tawanya. CEO itu mengalihkan perhatiannya pada berkas di hadapannya dengan membukanya sembari menunggu Yuna sadar.
Tiba-tiba Ryan semakin menambah kecepatan mobilnya semakin kencang. Tentu saja Yuna panik. Ia tak ingin mati sia-sia.“Ryan hentikan!” teriak Yuna kencang.“Aku tidak akan berhenti sampai kamu minta maaf dan berjanji kita tak akan putus!” seru Ryan tanpa menoleh pada Yuna.“Kamu gila, Ryan!” pekik Yuna keras.Semuanya pilihan sulit. Namun, ia tak akan sudi untuk kembali pada Ryan. Tangannya mencengkeram kuat pegangan di dekat kepalanya berjaga-jaga jika tubuhnya terpental. “Lebih baik aku mati daripada harus kembali denganmu!” teriak Yuna keras dan lantang. Mati sekarang lebih baik dibandingkan ia harus menderita di kemudian hari.“Apa?” Ryan terkejut.Kakinya refleks melepaskan pedal gas dan berpindah pada rem sedalam mungkin, hingga terdengar bunyi derit. Tangannya langsung membanting setir ke arah kiri, hingga menabrak pembatas jalan. Yuna panik dan memekik kuat. Tangan kanannya menahan dadanya, memastikan sabuk pengaman pada tubuhnya terikat kencang.“Argh!”Akan tetapi, tetap sa
“Tuan Jason, Anda memerlukanku?” tanya Yuna mencoba untuk bersikap santun disusul senyuman ramahnya setelah berada di hadapan Jason. Hatinya sedikit lega menyadari posisi ponselnya dalam posisi terbalik. Ia yakin Jason tak berani menyentuhnya. Johan lantas memutar posisi kursi rodanya menghadap Yuna. “Tidak ada. Aku hanya ingin memberitahumu jika nanti malam aku diundang makan malam di rumah papaku,” ucap Jason datar. Yuna terdiam sesaat. Cepat sekali lelaki di hadapannya merubah sikapnya. Bukankah sebelumnya ia merasa Jason sangat hangat dan ramah, tetapi Yuna segera mengangguk dan tersenyum. “Semoga makan malamnya menyenangkan, Tuan,” ucap Yuna santun. Jason refleks menatapnya heran. Ia bahkan mengerutkan dahinya. “Menyenangkan? Maksudmu ... aku tidak sedang memberikan laporan padamu, tetapi memberitahumu karena kamu juga harus ikut. Paham!” tegasnya. “I—iku? Untuk apa, Tuan?” tanya Yuna langsung, gagap dan bingung. Bahkan kedua bola mata dokter cantik itu membesar, terkejut de
Yuna berkali-kali menghembuskan napas panjang. Sesekali ia menyumpali mulutnya dengan roti isi coklat sembari menatap lurus ke detetan atap gedung hadapannya. Dokter cantik itu menghabiskan waktu istirahat makan siangnya hanya dengan sepotong roti di rooftop gedung tempatnya bekerja.“Kenapa aku merasa tuan Jason terasa lebih licik dari Ryan?” gumam Yuna berat. “Kemarin dia menawarkan aku untuk makan siang bareng, sekarang malah sendirian dan aku?”Dokter cantik memajukan bibirnya mengeluarkan kekesalannya. Bagaimana tidak, ia harus makan siang di kantin bersama para karyawan lain. Bukannya Yuna enggan atau gengsi, tetapi ia harus bertemu dengan Vina dan Ryan. Serta dirinya tak punya teman di sana."Membosankan sekali. Haruskan aku mencari teman di sini?" ucapnya malas.Sepotong roti yang dibelinya untuk mengganjal perut dan terpaksa ia menyantapnya di lantai rooftop yang sepi dan sunyi. Bukan itu saja yang mengganggu pikirannya, tetapi sikap dan permintaan Jason. Menemaninya makan ma