“Kamu mengerti?” tanya Jason masih dengan kedua tangan berada pada daun telinga Yuna dan menatapnya kedua netranya tegas.
Yuna refleks mengangguk. Jason tersenyum tipis lalu melepaskan pelukannya dan meluruskan punggungnya. Sesaan Yuna tampak linglung, ia masih menatap senyuman Jason.
Detik ketiga, ia langsung tersadar segera bangkit berdiri. Akan tetapi tangannya berpegangan pada tepian meja samping papan nama bertuliskan CEO’s Jason Abraham. Kaki dan tubuhnya mendadak lemas oleh tatapan Jason.
Yuna memejamkan kedua bola matanya sebentar seraya menggelengkan kepalanya dan mengatur napas, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Sementara Jason tampak menahan tawanya. CEO itu mengalihkan perhatiannya pada berkas di hadapannya dengan membukanya sembari menunggu Yuna sadar.
Tiba-tiba Ryan semakin menambah kecepatan mobilnya semakin kencang. Tentu saja Yuna panik. Ia tak ingin mati sia-sia.“Ryan hentikan!” teriak Yuna kencang.“Aku tidak akan berhenti sampai kamu minta maaf dan berjanji kita tak akan putus!” seru Ryan tanpa menoleh pada Yuna.“Kamu gila, Ryan!” pekik Yuna keras.Semuanya pilihan sulit. Namun, ia tak akan sudi untuk kembali pada Ryan. Tangannya mencengkeram kuat pegangan di dekat kepalanya berjaga-jaga jika tubuhnya terpental. “Lebih baik aku mati daripada harus kembali denganmu!” teriak Yuna keras dan lantang. Mati sekarang lebih baik dibandingkan ia harus menderita di kemudian hari.“Apa?” Ryan terkejut.Kakinya refleks melepaskan pedal gas dan berpindah pada rem sedalam mungkin, hingga terdengar bunyi derit. Tangannya langsung membanting setir ke arah kiri, hingga menabrak pembatas jalan. Yuna panik dan memekik kuat. Tangan kanannya menahan dadanya, memastikan sabuk pengaman pada tubuhnya terikat kencang.“Argh!”Akan tetapi, tetap sa
“Tuan Jason, Anda memerlukanku?” tanya Yuna mencoba untuk bersikap santun disusul senyuman ramahnya setelah berada di hadapan Jason. Hatinya sedikit lega menyadari posisi ponselnya dalam posisi terbalik. Ia yakin Jason tak berani menyentuhnya. Johan lantas memutar posisi kursi rodanya menghadap Yuna. “Tidak ada. Aku hanya ingin memberitahumu jika nanti malam aku diundang makan malam di rumah papaku,” ucap Jason datar. Yuna terdiam sesaat. Cepat sekali lelaki di hadapannya merubah sikapnya. Bukankah sebelumnya ia merasa Jason sangat hangat dan ramah, tetapi Yuna segera mengangguk dan tersenyum. “Semoga makan malamnya menyenangkan, Tuan,” ucap Yuna santun. Jason refleks menatapnya heran. Ia bahkan mengerutkan dahinya. “Menyenangkan? Maksudmu ... aku tidak sedang memberikan laporan padamu, tetapi memberitahumu karena kamu juga harus ikut. Paham!” tegasnya. “I—iku? Untuk apa, Tuan?” tanya Yuna langsung, gagap dan bingung. Bahkan kedua bola mata dokter cantik itu membesar, terkejut de
Yuna berkali-kali menghembuskan napas panjang. Sesekali ia menyumpali mulutnya dengan roti isi coklat sembari menatap lurus ke detetan atap gedung hadapannya. Dokter cantik itu menghabiskan waktu istirahat makan siangnya hanya dengan sepotong roti di rooftop gedung tempatnya bekerja.“Kenapa aku merasa tuan Jason terasa lebih licik dari Ryan?” gumam Yuna berat. “Kemarin dia menawarkan aku untuk makan siang bareng, sekarang malah sendirian dan aku?”Dokter cantik memajukan bibirnya mengeluarkan kekesalannya. Bagaimana tidak, ia harus makan siang di kantin bersama para karyawan lain. Bukannya Yuna enggan atau gengsi, tetapi ia harus bertemu dengan Vina dan Ryan. Serta dirinya tak punya teman di sana."Membosankan sekali. Haruskan aku mencari teman di sini?" ucapnya malas.Sepotong roti yang dibelinya untuk mengganjal perut dan terpaksa ia menyantapnya di lantai rooftop yang sepi dan sunyi. Bukan itu saja yang mengganggu pikirannya, tetapi sikap dan permintaan Jason. Menemaninya makan ma
“Aku merasa sekarang Yuna seperti orang lain, sulit untuk dibujuk.”Vina mengeluhkan sikap Yuna pada Ryan dari sambungan telepon. Ia masih berada di lantai rooftop dan masih duduk di bangku panjang tempat tadi bersama Yuna. Wajah wanita itu tampak menyimpan kekesalan yang mendalam.“Aku pun merasakah hal yang sama. Sepertinya karena pengaruh paman Dimas-nya ... lebih baik kita bujuk dengan cara halus. Tetap dekati Yuna, dan terus bersikap baik sampai dia mau menurut lagi. Yuna sudah tak bisa lagi digertak apalagi diancam,” titah Ryan dari balik telepon.“Baiklah kalau begitu. Nanti biarkan aku yang berbicara pada tuan Arka dan meminta pengertiannya,” balas Vina berat, lalu ia menyudahi panggilan teleponnya.Wanita itu mengepalkan kedua tangannya dan menatap penuh kebencian ke arah depannya seolah menunjukkan amarahnya pada Yuna.“Banyak tingkah sekali kamu, Yuna! Menyebalkan.” Puas mengerang dan mengumpati Yuna. Wanita itu langsung bangkit dan memutar tubuhnya masuk ke dalam gedung.
“M—maafkan aku, Tuan! A—aku hanya disuruh.”Bi Nani, pelayannya Jason yang menukar obat serta vitamin langsung bersimpuh di hadapan kaki Jason. Tangis ketakutan dan penyesalannya mengalir deras, hingga suaranya gagap saat memohon ampun. Jason sama sekali tak tersentuh oleh air mata bi Nani. Sepulang kerja wanita itu langsung diintrogasi di ruang tengah.“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Jason dengan tatapan murka. Elsa, Arka?” tebaknya.Air mata bi Nani langsung terhenti. Kedua bola matanya membesar sempurna, bibirnya bergetar. Akan tetapi, ia tak segera menjawab.“Jika kamu diam, berarti memang mereka yang menyuruhmu,” ucap Jason seraya memundurkan kursi rodanya menjauhi tubuh pelayannya.“Berapa banyak mereka membayarmu hingga kamu berani berkhianat padaku?” sinis Jason dengan tatapan penuh kebencian.Lagi, bibir bi Nani hanya bisa bergetar dan kesulitan untuk menjawab. Jason pun tersenyum sinis. Sungguh ia tak menyangka orang yang selama ini bekerja dengannya selama lima tahun lebih b
Jason membuka kedua bola matanya setelah mendengar pintu kamarnya tertutup. Ia langsung bergegas bangun dari pembaringannya setelah yakin tak ada Yuna di sana. Kedua tangannya mengepal kuat.“Papa, kamu benar-benar mau menyingkirkanku demi anak tirimu,” geram Jason dengan tatapan nanar. “Maaf, pa. Aku tak akan membiarkanmu! Akan kupertahankan hakku.”Dengan tertatih, ia bergeser menjangkau kursi rodanya dan perlahan berpindah lalu bergegas ke kamar mandi. Kamar mandinya sudah didekorasi agar ia tak kesulitan membilas tubuhnya sendiri. Jason meredamkan emosi dan pikirannya dengan air pancuran yang hangat.Tak perlu lama, setelah busa sabun dalam tubuhnya bersih, ia langsung menutup tubuhnya dengan handuk dan berpindah ke kursi roda. Jason tetap bertekad untuk menghadiri undangan Brian dan menanyakan langsung tentang tujuannya. Ia tak perlu berbasa basi dengan papanya yang sudah terlalu jauh, menurutnya.Akan tetapi, Jason yang hendak bersiap cepat harus terhenti saat baru saja keluar d
Yuna mendorong kursi rodanya Jason hingga memasuki ruang tengah mansionnya Brian. Luas bangunan tersebut tak berbeda jauh dengan mansion Jason. Hanya halaman depannya lebih luas milih CEO lumpuh tersebut. “Selamat datang anakku!” sambut Brian ramah diikuti senyuman lebarnya dan langsung menghentikan langkah Yuna.. Tak ada rasa garis penyesalan ataupun rasa bersalah pada wajah Brian. Lelaki itu tampak bersikap seolah tak terjadi apa pun di antara dirinya dan anak kandungnya. Jason membalas senyuman papanya dengan senyuman lebar. Kemudian ia menoleh ke belakang pada Yuna tanpa bersuara. Akan tetapi dokter cantik itu mengerti maksudnya. Yuna melangkah maju dan menyerahkan paper bag pada Brian. “Aku membawakan kue muffin vanilla keju, kesukaanmu,” jelas Jason saat Brian menerima pemberian Yuna. “Ah, rasanya mungkin sedikit hambar karena aku memesan yang less sugar. Terlalu banyak gula tak bagus untuk kesehatanmu ... Papa harus mulai menjaga kesehatanmu agar bisa berumur panjang!” lanju
“Tuan, Anda baik-baik saja?”Yuna meraih pundak Jason yang tampak gelisah. Lelaki itu tak merespons, tetapi memilih menarik dasinya untuk dilonggarkan. Perjalanan mereka masih sedikit jauh.“Pak Rama, tolong sedikit lebih cepat!” titah Yuna pada sopirnya Jason.“Baik, Dok,” sahutnya cepat.Dokter cantik itu langsung mendekat pada Jason dan membantunya melepaskan dasi serta kancing kerahnya. Kemudian Yuna melepaskan jas tuksedo lelaki itu dengan cepat dan hati-hati. Napas Jason semakin tersengal dan terus kesulitan bernapas.“Atur napasmu dan ikuti instruksi dariku!” pinta Yuna lalu memandu pasiennya.Sayangnya, wajah Jason bertambah pucat dan gelisah. Ia kesulitan untuk mengikuti instruksi Yuna. Tubuhnya mulai melemas dan jatuh dalam pelukan Yuna.“Tuan!” panggil Yuna membawa tubuh Jason pada sandaran kursi.Tubuh lelaki itu terasa dingin. Detak jantung Jason terlalu lemah. Suara napasnya terdengar tercekik.“Tuan, respons aku, jika mendengar suaraku!” Yuna memastikan Jason masih ters