Jika tahu kemana arah pergi Mareta setelah angkat kaki dari restoran, mungkin Anggun akan menyimpan amarah. Namun, kenyataannya Anggun tak mungkin bisa tahu kecuali ada yang memberitahunya.Saat ini Mareta tengah berdiri di depan sebuah gedung apartemen. Mareta mungkin ragu untuk datang ke tempat ini, tapi karena penasaran jadi mendorong raga untuk datang.Sudah lama Anggun tak datang berkunjung, bisa saja orang yang akan ditemuinya sudah tidak pernah datang atau mungkin sudah menjual salah satu apartemen di gedung ini.Tok! Tok! Tok!Mareta mengetuk pintu dengan perasaan gugup. Mareta hanya takut di balik pintu ini sudah berganti pemilik.“Mareta?” pekik seorang saat pintu terbuka.Senyum Mareta seketika mengembang saat sosok Ares yang membukakan pintu. Itu berarti Ares masih sering berada di sini.“Ada apa?” tanya Ares sinis.“Jangan begitu padaku,” sahut Mareta sendu. “Ijinkan aku masuk.”Ares bergeser untuk memberi jalan pada Mareta.Saat pintu sudah tertutup, Ares berjalan masuk
Sepertinya Anggun harus puas dan tetap bertahan walaupun setiap hari harus diganggu oleh Mareta. Wanita itu saat ini sepertinya menjadikan Anggun sebagai target bahan hinaan.“Istri anak orang kaya, tapi harus bekerja di restoran. Duh, memalukan!” cela Mareta saat Anggun memasuki ruang tamu.Anggun acuh dan memilih berlalu. Menurut Anggun, meladeni Mareta bukanlah kegiatan yang harus dilakukan. Namun, bukan Mareta namanya kalau membiarkan Anggun lepas begitu saja.“Sepertinya Ares malu mengakuimu sebagai istri. Kau harus sadar tentang hal itu,” seloroh Mareta.Mareta berdiri dengan melipat kedua tangan di hadapan Anggun. Niatnya memang untuk menghalangi langkah Anggun.“Aku tidak mau berdebat denganmu. Jadi menyingkirlah!” pinta Anggun dengan suara lemas.Pekerjaan di restoran hari ini lebih banyak dari pada hari kemarin. Dan Anggun tidak mau membuang waktu hanya untuk mengurusi ocehan wanita seperti Mareta.“Kami pulang!”Suara dari arah ruang tamu membuat Anggun dan Mareta menoleh b
Bangun dari tidurnya, Anggun merasakan ada sesuatu yang mendarat di pinggannya. Sementara di bagian belakang, ada tubuh yang menempel erat. Untuk memastikan ada apa sebenarnya, Anggun perlahan menunduk ke arah bagian perut.Seketika itu Anggun membelalak dan langsung menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan.“Kenapa aku bisa tidur disini?” tanya Anggun dalam hati.“Eh!” pekik Anggun tiba-tiba.Pelukan itu semakin erat dan Anggun bisa merasakan ada embusan napas dari arah belakang. Tepatnya di bagian tengkuk. Saat Anggun menoleh, bagian rambut Ares terlihat. Dan bisa dipastikan sapuan angin lirih itu berasal dari hidung Ares.Anggun yang merasakan napasnya sesak, bergeser sedikit sambil mencoba mengangkat lengan kekar yang masih mendarat di tubuhnya.Saat sudah terangkat dan Anggun ingin menyingkir, tangan itu kembali jatuh dan menarik lebih dalam tubuh Anggun hingga pelukan justru semakin erat.Anggun mengerjapkan mata dengan wajah berkerut. “Bagaimana ini? Kalau dia bangun, bisa g
“Padahal rencananya kita mau menyusul ke bali, tapi kalian sudah kembali,” kata Rangga saat di ruang makan.Di samping Rangga, Mareta mengimbuhi. “Iya, Ibu. Aku dan Rangga berencana bulan madu ke sana.”Ana mendesah. “Ibu juga sebenarnya masih ingin di sana, tapi karena pekerjaan ayah sudah selesai jadi terpaksa harus pulang. Nia juga sudah ribut untuk segera pulang ke jakarta.”Merasa disindir, Nia hanya mendengus dengan mulut penuh makanan. Mereka bertiga sontak tertawa.“Kenapa kalian sudah makan lebih dulu?” tanya Bian yang baru bergabung. “Di mana Ares dan Anggun?”“Belum bangun mungkin,” jawab Ana acuh.Bian duduk usai menoleh ke belakang lebih dulu.“Bibi!” panggil Bian setelah itu.Dari arah dapur, Bibi Rani lari tergopoh-gopoh. “Iya, Tuan. Ada apa?”“Panggilkan Ares dan Anggun,” kata Bian.Bibi Rani mengangguk kemudian bergegas menuju lantai dua.“Tuan!” panggil Bibi Rani sesampainya di depan pintu kamar Ares. Kelima jemarinya tertekuk ke dalam lalu mengetuk pintu beberapa
Satu minggu sudah berlalu sejak kepergian Ayah. Anggun pun sudah nampak tidak terlalu terpuruk seperti sebelumnya. Hanya saja, Anggun masih menyesali karena didetik terakhir Anggun tidak bisa menatap wajah ayahnya lebih lama.“Ayah sudah tiada, sebaiknya kau jangan pernah lagi kembali ke rumah ini!” satu kalimat yang secara terang-terangan telah mengusir Anggun.Anggun masih tidak percaya dengan kalimat ibu tirinya itu. Masih dalam suasana berkabung, tapi ibu tirinya justru tega mengusir Anggun.Duduk di atas ranjangnya yang sempit, Anggun sudah tak mau memikirkan kalimat-kalimat yang ia dengar beberapa hari yang lalu. Anggun anggap saja itu hanyalah sebuah angin yang sempat menusuk tubuhnya.“Aku hanya akan membawa seperlunya saja,” kata Anggun sambil memasukkan beberapa miliknya ke dalam kardus.Ada buku catatan, agenda harian dan beberapa foto kenangan bersama ayah dan ibu. Untuk baju-baju, Anggun biarkan saja di dalam lemari. Toh Anggun sudah memiliki banyak baju di lemarinya yang
“Kenapa kau lama sekali?” tanya Ares dengan nada tinggi.Anggun yang baru saja meletakkan kardus di pojokan langsung berdiri dan menghadap Ares. “Aku masih merindukan ayah. Kan aku sudah bilang tadi,” jawab Anggun.Ares berdecak keras. “Kemarilah!” pinta Ares sambil menepuk ruang kosong di sampingnya. Tepatnya di tepian ranjang.Melangkah dengan malas, Anggun pun mendekat. Namun, saat Anggun belum sempat duduk, pintu kamar diketuk dari luar.Ares dan Anggun menoleh bersamaan.“Ada apa, sih!” sungut Ares lalu berdiri.“Apa!” hardik Ares saat pintu sudah terbuka.“Kau?” pekik Ares kemudian.Saat ini sedang ada wanita cantik yang berdiri di depan pintu kamar Ares.“Kenapa kau ada di sini? Di mana Nando?” Ares celingukan sambil memandangi ruang luar.Karena penasaran, Anggun kemudian berdiri. Dan betapa terkejutnya saat melihat sosok Mareta sedang berdiri di depan suaminya. Dan Anggun semakin tersentak tatkala mendapat satu kedipan mata dari Mareta.“Keluar!” desis Ares sambil mendorong
“Apa Anggun sedang marah padaku?” batin Ares sambil terus menyusuri tubuh Anggun mulai bawah hingga ke aras.Anggun berdiri dengan kedua kaki mengatup rapat, sementara kesepuluh jemarinya saling meremas dan gemetaran.“Kemari,” pinta Ares. Suaranya sama sekali tak terdengar menyalak.Anggun menggeleng.“Aku bilang, kemari.” Suara Ares terdengar pelan, tapi rahangnya terlihat mengeras.Menggigit bibir bawah, Anggun berkata, “Apa ... apa kalau aku mendekat, ka-kau mau memukulku?”Ares menghela napas sambil melengos. Berdecak satu kali, kemudian menatap Anggun lagi. “Untuk apa aku memukulmu?”Anggun diam. Sekali lagi Anggun menggigit bibir bawahnya sambil menatap kedua kakinya yang terasa dingin.Sudah tak tahan lagi, Ares akhirnya beranjak dari posisi duduknya. Menyisir rambut ke belakang, kemudian Ares berjalan maju mendekati Anggun. Anggun hanya dia dan sedikit meneleng kepala dengan wajah berkerut ngeri.Saat susah benar-benar berada di hadapan Anggun, Ares menundukkan kepala—mendeka
Anggun bangun dari tubuh lemasnya sekitar pukul sembilan pagi. Sosok pria kekar yang tadi sempat memeluk erat sudah tiada. Raib dari tempat tidur. Ares pasti bangun lebih dulu tanpa membangunkan Anggun.“Apa dia pergi ke restoran?” gumam Anggun sambil menguap.Sambil mengucek-ngucek matanya, Anggun kemudian berdiri di balut selimut yang menutupi tubuh polosnya. Sebelum beranjak ke kamar mandi, Anggun mengurutkan pandangan pada lembaran baju yang berserakan di atas lantai. Mengamati satu persatu hingga tubuh memutar dan pandangan berhenti tepat di atas ranjang.“Merah?” pekik Anggun dengan kepala meneleng ke samping kiri. “Apa itu?” Anggun nampak berpikir.“Oh astaga!!” Anggun benar-benar terperanjat. “Itukah yang disebut darah virgin?”Anggun meringis sambil menggigit salah saru jari-jarinya.“Haish!” desis Anggun tiba-tiba. Saat satu kaki hendak melangkah bergantian, terasa ada sesuatu yang terasa perih di bawah sana.“Apakah rasanya memang seperti ini?” Anggun ingin menangis karena