“Lho, kau dari mana?” tanya Anggun saat Ares sudah kembali ke kamar. “Aku mencarimu.”Ares tersenyum kemudian menghampiri Anggun. “Maaf, tadi aku ada di balkon dekat perpustakaan.”Anggun ikut tersenyum. “Sarapanmu keburu dingin,” ucap Anggun saat senyumnya berubah merengut.“Tidak apa-apa,” sahut Ares. “Kemari, temani aku makan.” Ares menarik lengan Anggun ke arah sofa. Setelahnya Ares beralih mengambil sarapannya di atas nakas.“Kau belum sarapan kan?” tanya Ares.Anggun menggeleng. “Nanti saja kalau sudah mandi.”Ares mulai menikmati sarapannya dengan lahap.“Kenapa tak kau habiskan?” tanya Anggun ketika mendapati beberapa suap sisa sarapan Ares di piring.Di atas piring tersebut masih ada nasi dan ayam kecap.“Aku sudah kenyang. Kalau kuhabiskan yang ada perutku mual,” saur Ares kemudian meneguk air putih.Anggun tersenyum lantas meraih piring tersebut kemudian mengangkatnya di atas pangkuan.“Heh! Kau mau apa?” pekik Ares saat daging ayam tersebut hendak masuk ke mulut Anggun.An
Drt! Drt! Drt!Ketika ciuman dan cumbuan masih berlanjut, keduanya terpaksa berhenti karena mendengar getaran ponsel di atas nakas. Pagutan itu terlepas dan keduanya menoleh bersamaan mencari letak ponsel berada.“Ada yang menelponmu,” kata Anggun. Anggun kembali menatap wajah Ares dengan bibir yang masih basah.“Biarkan saja. Kita lanjutkan kegiatan kita dulu.” Ares sudah maju dan hendak mencium Anggun lagi. Namun, belum sampai menyentuh, Anggun sudah lebih dulu mendaratkan dua jarinya di bibir Ares.“Apa, sih!” sungut Ares sambil menyingkirkan jari itu. “Paling Nando yang menelpon.”“Kau lihat dulu. Siapa tahu penting, kan?”Ares berdecak kemudian menurunkan Anggun dari atas pangkuan. “Tunggu di situ dan jangan kemana-mana.”Memang tak berniat melawan, Anggun lantas menganggukkan kepala sebelum kalimat perintah itu berubah menjadi sebuah ancaman.“Apa?” kata Ares saat ponsel sudah menempel pada daun telinga. Nada bicara Ares yang meninggi, sempat membuat Anggun nyengir dan garuk-gar
Selama Ares berada di pabrik, Anggun sama sekali tidak beranjak keluar dari kamar. Ia memilih sibuk menikmati aktifitas tak penting di dalam sana. Sesuai perintah Ares, Anggun memang tidak diijinkan untuk keluar rumah. Ya, Anggun menganggap tidak boleh keluar kamar termasuk di dalamnya. Selain karena memang tidak ada keperluan di luar kamar, Anggun juga enggan bertemu dengan Mareta.“Bibi, apa sedari tadi Anggun tidak keluar dari kamar?” tanya Mareta pada Bibi Rani yang sedang menyiapkan makan malam.“Sepertinya tidak, Nona.” Bibi Rani menjawab malas.“Halo, sayang.” Seseorang tiba-tiba menyapa dan merangkulkan dua tangan di pinggang Mareta.Mareta lantas menoleh. “Sayang, kau sudah pulang?” Ia langsung berbalik dan merangkul leher Rangga.Di belakang mereka, Bibi Rani mencebik lirih sambil geleng-geleng kepala. Sepatutnya kemesraan tidak usah diumbar di depan orang lain.“Yang lain belum pulang?” tanya Rangga.Mareta menggeleng. “Kau mandi saja dulu. Setelah itu kita makan. Ayah dan
Sekitar pukul sembilan malam, Ares baru pulang dari bepergian. Entah itu dari restoran atau dari tempat lain, tidak ada yang tahu. Penghuni rumah semuanya sudah masuk ke dalam kamar masing-masing kecuali Bian. Beliau sedang duduk sendirian menonton TV, ditemani teh hangat.“Ayah belum tidur?” tanya Ares.“Eh, Ares. Kau sudah pulang?” sahut Ayah. “Kemari, temani ayah dulu.”Ares meletakkan dompet, ponsel dan kunci mobil di atas meja persegi—yang berada di tengah-tengah sofa—lalu duduk. “Ini sudah malam, kenapa ayah belum tidur?”Bian meraih cangkir berisi teh, lantas menyesapnya. Satu tegukan masuk, ayah meletakkan kembali cangkirnya di atas meja. “Ayah sedang menunggumu,” kata ayah kemudian.Kedua alis Ares saling bertautan. “Menungguku? Untuk apa?”“Tidak ada apa-apa. Ayah hanya ingin ngobrol denganmu,” jawab Ayah.Ares mengatupkan kedua bibir sesaat membentuk garis lurus. “Apa ada masalah?” tanya Ares.Seperti tahu rasa penasaran pada diri Ares, Bian terlihat mengulum senyum. Membia
Sebagian kata orang memang benar, cinta itu terkadang datang setelahnya. Em, maksudnya datang setelah pernikahan. Kita tidak akan tahu seperti apa jodoh yang Tuhan berikan, tapi untuk Ares, Anggun adalah istri idaman yang pastinya dicari banyak pria. Ares akan bersyukur akan hal itu.“Kau mau kemana?” tanya Ares saat melihat Anggun buru-buru memakai jubah piamanya.Usai mengikat tali piama di pinggang dengan kuat, Anggun menjawab. “Aku mau mengambilkan air putih untukmu.”Anggun kemudian menggamit kuncir rambut dan kemudian menggulung rambutnya. Hal itu menjadikan leher jenjang Anggun terlihat menggoda.“Nanti saja, sekalian sarapan.” Ares menjawab sambil menguap. “Masih terlalu pagi untuk turun ke bawah.”Anggun meringis. “Tidak apa-apa. Kata ibuku, saat kita bangun tidur, kita diharuskan minum air mineral terlebih dulu.”Ares meraih lengan Anggun hingga jatuh dalam pangkuan. “Apa kau akan setiap hari seperti ini?” tanya Ares.Anggun yang bersemu merah, terlihat mengulum senyum sambi
Selama di perjalanan menuju restoran, Anggun terlihat begitu sumringah. Ares yang sedang menyetir, sampai dibuat penasaran.“Kau kenapa?” tanya Ares akhirnya.“Em, aku?” Anggun menunjuk ke arah wajahnya sendiri.Ares berdecak. “Memang siapa?”Anggun meringis sambil garuk-garuk kepala. “Aku hanya senang, karena sudah lama tidak keluar rumah.”Tanpa sadar—masih dalam fokus menyetir—Ares mengulum senyum. “Kalau kau memang ingin jalan keluar, bagaimana kalau kita bulan madu.”“Ha?” Anggun refleks memutar pandangan. “Bulan madu?” mendadak kedua pipinya memerah.Mobil akhirnya sampai di area restoran dan sudah memasuki tempat parkir khusus pemilik dan karyawan. Mereka berdua tidak langsung keluar melainkan melanjutkan obrolan terlebih dahulu.“Kau tidak mau bulan madu?” tanya Ares dengan kepala sedikit meneleng.Anggun meringis dan terlihat gugup. “Bukan begitu. Tentu saja aku mau, tapi apa tidak membuang-buang uang?”Saat Anggun menatap Ares sambil mengetuk-ketuk dagu, Ares tiba-tiba terta
Sampai menjelang sore dan pada akhirnya pulang ke rumah, Anggun masih tetap merengut kesal. Selama perjalanan pulang, Anggun benar-benar mengacuhkan Ares. Anehnya, Ares yang biasanya gampang marah—melihat Anggun merengut tidak jelas—justru membuatnya tidak tega untuk memarahi.Anggun lebih dulu keluar dari mobil, lalu disusul Ares. Masih tetap sama, Anggun acuh dan memilih beranjak lebih dulu masuk ke dalam mobil.“Hei!” teriak Ares. Ares tidak marah, hanya saja merasa sedikit kesal. “Tunggu atau kau mati!” kalimat ancaman itu muncul lagi dan justru membuat langkah Anggun kian cepat.“Selalu saja mengancam!” dengus Anggun. Sampai di anak tangga, Anggun berlari kecil menaikinya.“Kau!” Ares mengeram, menutup pintu dengan kuat. Berhasil menyusul Anggun, Ares sontak melempar barang yang semula berada dalam genggaman ke sembarang tempat. Anggun yang awalnya acuh, kini mulai ketakutan.“Sampai kapan kau mau marah, ha?” Ares meraih lalu menarik tangan Anggun. Mengangkat tinggi-tinggi, Ares
“JANGAAAN!”PLAK!Satu tamparan mendarat dengan sempurna di pipi Anggun. Sebuah tamparan yang Rangga layangkan teruntuk Ares, ternyata salah sasaran. Bukannya mengenai Ares, melainkan mengenai Anggun.Rangga yang tak menyangga tangannya akan menampar Anggun—dengan tatapan kosong—secara perlahan berjalan mundur menghampiri Mareta yang juga nampak terbengong. Sementara Anggun yang sempoyongan di depan tubuh Ares, segera Ares tangkap dan segera memeluknya.Sambil menangkup wajah Anggun dengan lengan—menyembunyikan didadanya—Ares kemudian menatap lurus ke arah Rangga dan Mareta. “Atas dasar apa kau menampar istriku? Salah apa istriku padamu?”Rangga gugup dan bingung harus menjawab yang bagaimana. “A-aku ... Aku ... aku berniat menamparmu. Bukan dia!” mendadak suara Rangga meninggi.“Kau menampar istriku hanya demi membela istrimu yang bahkan tidak mencintaimu sama sekali,” Ares masih melotot sambil sedikit melonggarkan pelukannya pada Anggun. “Kau mundur dulu,” perintah Ares pelan pada A