Share

Aku Mau Melihatnya

Santi membusungkan tubuhnya merasakan sensasi lembut dan geli yang dirasakannya. Kedua tangannya secara refleks memeluk kepala Bima agar terus berada di sana.

“Pak …”

“Hemmm …” jawaban Bima yang hanya berdehem itu malah membuat sensasi lain di tubuh Santi. Rasanya sungguh tidak bisa dijelaskan dengan satu katapun.

Perlahan tangan Bima mulai turun mencari sesuatu dibawah sana. Ada semacam keinginan kuat dalam dirinya untuk menyentuh sesuatu yang belum pernah dia pegang.

“Jangan, Pak!” seru Santi karena Bima menekan miliknya.

Entah kenapa Bima tak mengindahkan teguran Santi yang memintanya untuk tidak melakukannya. Selama ini para wanita yang menemaninya selalu berharap dia menyentuh inti tubuh mereka, tapi tidak dilakukannya. Dia hanya bermain-main di bagian atas dan mengakhirinya dengan si wanita mengulum miliknya layaknya permen dengan gerakan yang memabukkan.

Tapi berbeda ketika dengan Santi, rasanya dia tidak bisa untuk melakukan seperti pada wanita lainnya. Bahkan dia ingin melihat secara langsung jalan sempit di bawahnya itu. Perlahan ciumannya mulai menuruni bukit kenyal yang sudah sangat tegang dan basah akibat permainannya.

Melewati cekungan kecil di tengah perut dan berhenti di sebuah kain segitiga tipis berwarna merah menyala. Santi segera menutupinya dengan tangan karena merasa malu ketika area pribadinya diperhatikan sedemikian rupa.

“Malu, Pak. Bapak mau ngapain?” tanya Santi sambil mencoba duduk.

Tapi Bima mendorong tubuh Santi pelan agar kembali terlentang. Dibukanya kaki Santi dengan lebar dan kedua tangannya kembali memilin ujung benda kenyal yang ada di atas.

Hidungnya mulai menghirup aroma kain kecil tersebut. Dan dengan perlahan Bima menggigit isi kain tersebut. Santi terkejut karena merasa seperti ada aliran listrik di tubuhnya. Hatinya sungguh ingin menolak, tapi tubuhnya berkata lain.

Apalagi saat lidah Bima mulai mencoba menerobos masuk ke balik kain tipis tersebut. Karena sulit untuk menerobos masuk, akhirnya Bima menurunkan satu tangannya untuk melepas kain terakhir itu.

Matanya tak berhenti berkedip melihat jalan kecil yang bersih itu. Terlihat ada sedikit pantulan cahaya lampu di sana yang mungkin dikarenakan jalan tersebut basah.

“Jangan kamu tutupi. Aku hanya mau melihatnya saja,” kata Bima karena lagi-lagi Santi berusaha menutupinya. Kakinya dirapatkan agar bisa menghalangi pandangan Bima.

“Tapi, Pak …”

“Percayalah padaku, aku tidak akan macam-macam,” ujar Bima sambil meraih lutut Santi.

Dikecupnya lutut Santi dengan lembut. Dielusnya bekas luka yang sempat dia obati pada pertemuan pertama mereka itu. Semakin lama semakin ke atas dan menuju ke pangkal jalan yang sudah tak bertepi. Kembali dibukanya jalan tersebut lebar-lebar.

“Ini benar-benar mengagumkan,” ucap Bima sambil membenamkan wajahnya di sana.

Dihirupnya aroma segar yang keluar dari jalan tersebut. Hidungnya di gesek-gesekkan di sana sebelum lidahnya mulai menyapu jalan tersebut.

“Pak!!” pekik Santi saat merasakan lidah Bima menyapu miliknya dengan lembut. Kakinya secara refleks menutup sehingga menjepit kepala Bima.

Namun, Bima tak bergeming dan masih melanjutkan aksinya sesuai nalurinya. Instingnya bergerak sendiri tanpa bisa dikendalikan. Lidahnya mulai menelusup masuk ke pintu kecil yang masih rapat itu.

Santi hanya melenguh pelan saat merasakan ada benda hangat yang menusuk-nusuk masuk di tubuhnya. Perlahan kakinya melebar kembali seolah memberikan akses yang mudah bagi Bima.

“Aku suka aroma dan rasanya,” gumam Bima tanpa berpindah dari sana.

Setelah beberapa saat disana, Bima mulai merasa gelisah karena belum mencapai apa yang diinginkannya. Namun, otaknya masih bisa bekerja kali ini. Berbeda ketika dengan Clara tadi yang terus memancingnya.

Kepolosan Santi membuatnya bisa menahan diri agar tidak gegabah. Akhirnya dia meminta Santi untuk melakukan tugasnya seperti biasa.

“Kepalaku pusing. Kamu lakukan seperti kemarin,” ujar Bima sambil merebahkan tubuhnya yang terasa lelah.

Dengan polosnya, Santi langsung duduk dan meraih tombak Bima. Dielusnya baru kemudian dinikmati layaknya es krim. Dan hanya hitungan menit saja, Santi sudah berhasil mengeluarkan penyebab sakit kepala Bima itu.

“Haahh … kamu benar-benar!!”

“Benar-benar apa, Pak?? Aku udah bikin kecewa, ya?”

Bima langsung menoleh ke arah Santi dengan cepat. Bagaimana bisa ada makhluk sepolos ini di dunia?

“Aku nggak ada yang ngomong begitu.”

“Aku pikir Pak Bima kecewa sama aku.”

“Udah, jangan banyak omong. Sekarang aku mau tidur. Kalau kamu mau tidur juga, sini di sebelahku,” kata Bima.

“Tapi, apa boleh aku seranjang sama bos sendiri??”

“Astaga, Santiiiiiiiiii!! Aku kan yang nyuruh kamu buat begitu, berarti boleh, dong? Nggak masalah juga, ribet banget kamu itu! Aku sampai nggak tahu bagaimana pola pikir kamu itu,” keluh Bima.

“Maaf, Pak!”

“Ya sudah, aku mau tidur. Kalau butuh apa-apa, kamu telepon room service aja,” kata Bima sambil memejamkan kedua matanya.

“Pak …,” terdengar suara lirih Santi dari arah samping Bima.

“Apa lagi, San??”

“Bajuku nggak ada kancingnya gini, terus aku pakai apa??” tanya Santi polos.

Bima menyisir rambutnya dengan kasar. Sepertinya sekretaris barunya itu memang harus diajari semua hal dengan lebih detail agar bisa menyelesaikan semuanya sendiri.

“Kamu minta tolong Aldo aja buat siapin semuanya. Aku capek, mau tidur!”

Tak lama kemudian terdengar dengkuran halus dari Bima yang artinya dia sudah tertidur pulas. Santi duduk di sampingnya sambil memandangi wajah tampan bosnya tersebut.

Dia masih tidak menyangka bisa menjadi sekretaris di perusahaan besar dan memiliki bos yang super tampan dengan tubuh yang atletis. Perutnya terbentuk sangat bagus dan bisa dipastikan dia sering melakukan olahraga untuk menjaga kebugaran tubuhnya.

Tanpa sadar, Santi malah ikut tertidur di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Hanya hitungan menit, Santi sudah menyusul Bima ke alam mimpi.

***

“Kamu tolong siapin baju ganti untuk Santi. Hari ini aku akan pergi ke rumahnya untuk melihat seberapa sulitnya dia selama ini,” kata Bima sambil memperhatikan Santi yang masih tertidur pulas di lengannya.

“Baiklah, aku akan mencarikan yang terbaik agar nilaimu sempurna di sana nanti. Mobil juga akan segera ku siapkan yang terbaru. Kamu tenang aja.”

Setelah mendengar jawaban Aldo, dia pun mematikan teleponnya. Tangannya sudah terasa sangat kebas karena semalaman dijadikan bantal oleh Santi. Tapi, dia tak tega untuk membangunkan sekretarisnya itu. Ada rasa lain yang muncul dalam lubuk hatinya.

“Dasar kucing nakal. Bisa-bisanya membuatku merasa tidak tega seperti ini. Kamu memang istimewa,” kata Bima seraya merapikan rambut Santi yang menutupi wajahnya.

Mendapat sentuhan lembut itu, Santi pun terbangun dan langsung salah tingkah sendiri karena menyadari posisinya.

“Astaga, Pak Bima. Aku benar-benar minta maaf,” katanya seraya duduk dengan segera sampai lupa bahwa dia tidak mengenakan apa-apa.

Setengah bagian tubuhnya langsung terekspos di depan mata Bima yang sontak saja langsung membangkitkan hasrat dalam dirinya lagi.

“Gadis sialan!!” umpat Bima.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status