Hugo membawa putranya pergi ke rumah sakit. Setelah menggila pada orang tua dan anak-anak yang terlibat dalam kasus kenakalan pada putranya, Haga. Sungguh diluar dari perkiraannya. Awalnya Hugo berpikir bahwa putranya yang bersalah. Tapi anak-anak itu memang pantas menerima perlakuan yang Haga berikan pada mereka. “Kau sudah melakukan hal yang tepat, Ayah bangga padamu.” Hugo berkata seraya mengelus pucuk kepala kecil Haga yang saat ini terbaring di rumah sakit. Hei, hei, hei! Putramu itu hanya tertidur, tahu. Kenapa malah dilarikan ke rumah sakit? Memang dasar tuan muda yang berlebihan. Haga terdiam sambil memasang raut wajah polosnya. Kedua matanya tampak berbinar tipis. Menatap wajah ayahnya yang ada didekatnya sekarang. “Apa Ayah tidak marah padaku?” tanya Haga hati-hati. “Untuk apa Ayah marah padamu? Kau tidak bersalah di sini. Anak-anak itulah bersalah,” tutur Hugo dingin. “L-lalu bagaimana dengan Bunda?” sambung Haga ragu-ragu bertanya. Pertanyaannya merujuk pada ibu sambu
Danila beranjak bangun lalu berjalan gontai memasuki kamarnya. Ia merasa bersalah pada Bagas. Atas kematiannya yang disebabkan oleh dirinya sendiri. "Semua karena kesalahanku, seharusnya aku yang dihukum mati. Kenapa bukan aku saja yang menggantikan posisinya? Dia ingin bayi ini meninggal, kan? Kalah begitu bunuh saja aku sekaligus bersama dengan bayiku," tutur Danila sedu. Termenung akan kisah tragis yang dialami oleh Bagas. Merasa berputus asa dengan semua kejadian yang telah melibatkan Bagas ke dalam permasalahannya. Danila terduduk lesuh diatas sofa itu. Dengan raut wajah yang berantakan, dan air mata yang sudah mengering. Tak ada lagi yang terasa sama. Sudah terlambat untuk ragu. Kenapa aku tak bisa lari dan lepas dari diriku sendiri. Dan hidup lagi. (Bullet For My Valentine - NoWay Out) Seperti dalam kutipan kata-kata diatas. Danila merasa terlambat untuk menyadari semuanya. Sebab tidak bisa lepas dari jeratan Hugo. Tapi justru memilih untuk menyerah dan tak mampu berlari men
Danila berhasil keluar dari dalam kediaman rumah utama. Peluh berkeringat bercucuran sekujur tubuhnya. Wajah Danila tampak sudah berubah pucat sekarang. Namun langkah kakinya terus berjalan tanpa henti menyusuri jalan setapak demi setapak agar segera sampai ke tepi jalan raya besar. Hanya bermodal nekat dan pakaian yang ia bawa. Bahkan uang yang dia punya pun tidak banyak. Danila sudah begitu muak menghadapi semua penghuni rumah utama. Terutama pada Hugo, ia benar-benar membencinya. "Kalau Baga memang tidak mati, lalu siapa orang yang ada didalam video itu? Aku tidak bisa mempercayai mereka. Bagaimana kalau aku yang akan jadi korban selanjutnya? B-bagaimana kalau anak ini akan menjadi taruhannya? Hiks!" tutur Danila sedu seraya menyeka air matanya. Langkah kakinya semakin sakit karena sudah berjalan begitu jauh, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia menemukan setitik lampu penerangan yang biasanya terlihat ditepi jalan itu. Suasananya begitu gelap dan mencekam. Hanya ada pohon rimbun
Kericuhan terjadi didalam mansion milik dokter Yoshua. Hugo tampak brutal membalas para pasukan khusus itu dengan peluru emasnya. Hingga terjadilah pertumpahan darah antar kedua dari kelompok tersebut. Sampai tidak menyadari, bahwa Danila telah diculik dan dibawa pergi oleh para pasukan itu. Ingatan Hugo mulai sadar, Danila masih berada didalam ruang pembedahan yang terletak di lantai dua. Kedua kakinya berlarian menggila menaiki tangga di sana. Sampai tibalah dia didepan ruang operasi yang akan dilakukan oleh Danila.BRAK!Hugo mendobrak pintu ruangan itu dengan paksa. Kedua bola matanya membelalak lebar, disertai wajah geram penuh kemarahan. Dokter Yoshua sudah tergeletak tidur diatas ranjang sana. Dia menggantikan posisi Danila yang justru tiba-tiba menghilang."Jo!!!" teriak Hugo dengan suara menggelegar memanggil sekretarisnya.Sekretaris Jo dan beberapa orang bawahannya bergerak cepat dan datang dengan raut wajah panik mereka. Hugo tampak sudah terdiam mematung dengan ekspresi s
Raut ekspresi wajah Bagas langsung berubah dalam sekejap. Lelaki itu tentu saja lebih terperanjat dari kabar kehamilan yang Danila katakan padanya tadi. Bahwa Hugo, ayah dari bayi itu tidak mengakuinya. Sesuatu hal diluar dari perkiraan Bagas."A-apa? Hugo tidak mau mengakui bayinya? Benar-benar sinting! Dia sungguh gila." Bagas memakinya dengan emosional. Amarahnya tak dapat terbendung lagi. "Bukan hanya itu ... tapi dia juga mengira bahwa aku hamil anak darimu," tutur Danila sedu. Bagas kembali memekik, dan menekan keningnya sesaat."Memangnya dia punya bukti apa kalau jika aku benar-benar menghamilimu? Hanya karena telah memergoki kita berdua saat tidur semalaman di rumah Nenekku waktu lalu?" cetus Bagas sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Danila kembali memagutkan kepalanya pelan."Karena itu ... d-dia mencoba ingin melenyapkan bayi ini," gumam Danila seraya mengelus lembut perutnya yang masih tampak rata. "Jadi itu alasannya kau berada di ruang operasi. Aku mengira kau akan d
Danila masuk ke dalam rumahnya. Setelah Bagas dan para orang-orangnya pergi dari area sana. Danila bingung untuk menjelaskannya pada kedua orang tuanya. Bagaimana jika mereka juga akan salah paham terhadapnya. Sama seperti hal yang dilakukan Hugo. Tidak mempercayai perkataannya. Langkah kaki Danila berjalan gontai melewati ruang tamu. Namun pandangan matanya langsung membelalak lebar, terperanjat tak percaya. Seseorang yang dia hindari justru ada didepan matanya kini. Degupan jantung Danila berdegup kencang gemetar tak karuan. Tangannya berkeringat dingin dan mendadak menjadi kram. Kedatangan Danila pulang ke rumahnya, rupanya sudah disambut oleh Hugo dan kedua orang tuanya. Kini mereka semua menatap Danila dengan tatapan tajam ke arahnya. Danila sontak tertunduk sedu sambil melanjutkan kembali langkah kakinya berjalan. Berusaha untuk menenangkan dirinya, dan menganggap tak ada apapun yang terjadi antara dirinya dengan pria kejam itu. “M-maaf Ayah, Ibu ... aku sangat lelah. Aku izin
“Kenapa? Kau memanglah pelacur kecil, kan. Seorang wanita yang telah menikah lalu tidur dengan pria lain. Kau tak ada bedanya dengan pelacur, Danila.” Hugo mengatakan kata-kata sarkasnya yang mengandung penghinaan terhadap Danila. Wanita itu terdiam, namun tatapannya menatap tajam pada pria bengis yang ada didepannya kini. Danila benar-benar muak dengannya. Yang tidak pernah absen untuk terus menghina dan merendahkan martabatnya sebagai seorang wanita. Namun apalah daya, Danila tidak berdaya. Bahkan kedua orang tuanya pun tak mempercayainya. “Harus berapa banyak jumlah kata yang aku katakan padamu? Aku dan Bagas ti...” ucap Danila terpotong sebab Hugo langsung membungkamnya dengan ciumannya yang kasar. Pria itu bahkan menggigit bawah bibirnya hingga menimbulkan bercak merah di area sana. “Hah ... hah!” deru napas Danila memburu setelah Hugo melepaskan ciumannya. “Itu hukuman untukmu, karena kau sudah berani menyebut nama pria lain dihadapanku!” cercanya. “Aku memberikanmu kesempata
Tanpa basa-basi, Hugo langsung keluar dari dalam ruang rapat itu. Kejadian yang sama seperti pada waktu lalu. Sekretaris Jo kembali meminta maaf pada semua anggota yang turut hadir di sana. “Mohon maaf, dengan berat hati saya katakan, rapat hari ini ditunda dan dilanjutkan besok. Sampai bertemu besok di jam sepuluh pagi! Terima kasih!” ujar sekretaris Jo seraya membungkukkan sedikit bahunya. Memberi salam hormat pada mereka di sana. “Apa ada sesuatu yang terjadi? Kau lihat, tidak? Wajah Tuan Hugo sangat menyeramkan tadi.” “Hei, kau jangan bergosip tentangnya. Apa kau ingin menghilang dari dunia ini, hah?!” Bisik-bisik terdengar dari mulut mereka. Tak ada yang berani mengatakan sesuatu hal tentang Hugo. Mereka semua tahu rupanya. Se-mengerikan apa Hugo dimata mereka. Bahkan peluh keringat bercucuran pada keningnya. Padahal sekretaris Jo mengatakannya dengan sangat sopan. Tapi kata-kata sopannya tidak lain dari gertakan untuk mereka. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Hugo ketika