Share

Bab 3: Menolak Perjodohan

Darish dan Larissa duduk berhadapan di satu meja. Di atas meja sudah tersedia pesanan dua porsi dimsum, segelas lemon tea untuk Larissa dan sebotol air mineral untuk Darish. Namun, keduanya menunjukkan ekspresi wajah yang berbeda. Darish menatap Larissa datar. Sedangkan Larissa berusaha untuk tetap tenang di depan Darish.

“Jadi, pertemuan ini orang tua kita yang rencanakan?” tanya Rissa bersikap biasa-biasa saja.

“Iya. Tapi, saya ingin membatalkan perjodohan ini,” ucap Darish cuek tanpa basa-basi.

Kedua tangan Larissa saling menggenggam lembut dan kuat di balik kolong meja. Raut wajahnya terlihat kecewa saat Darish menolak perjodohan itu. Tidak ada yang bisa dilakukan Larissa kecuali diam. Namun, di dalam lubuk hatinya, Larissa berharap Darish setuju akan perjodohan ini.

***

Ulfa terlihat gelisah sambil mondar mandir di depan kasir dan terus menatap layar ponselnya. Karena kecemasan Ulfa yang berlebihan membuat Soraya gagal fokus saat menghitung uang dalam jumlah banyak dan berulang kali ia harus menghitung ulang.

Soraya menghentikan menghitung uang dengan raut wajah gemas sambil menghela napas. “Dari tadi mondar mandir, Kak Ulfa tunggu siapa?”

“Aku lagi tunggu, Larissa. Sudah jangan banyak tanya, hitung semua uang itu. Sebentar lagi kita akan tutup.” Ulfa berjalan ke arah pintu masuk dan keluar untuk memeriksa.

***

“Kenapa kamu diam saja? Jangan bilang kamu setuju dengan pernikahan ini?” tanya Darish mulai gelisah.

“Iya. Aku memang ingin menikah dengan Abang.” Rissa memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Darish, walaupun terdengar menggoda.

“Abang?”

“Eum. Abang,” jawab Rissa sekali lagi dengan suara yang sangat lembut.

Darish menyeringai heran ke arah Larissa. Ia terlihat gugup sambil menghela napas kesal. Ia berdiri dari tempat duduknya dengan penuh emosi. Lalu ia mendekatkan sedikit wajahnya ke arah Larissa dan menatapnya dalam.

“Jangan harap pernikahan ini akan terjadi,” ucap Darish terlihat menantang Larissa.

Kemudian, Darish pergi meninggalkan Larissa di Kafe seorang diri tanpa mengajaknya pulang bersama. Bahkan, Darish tidak menoleh kembali ke arah Larissa yang tengah diperhatikan pengunjung kafe lainnya.

“Eh, kasian dia ditolak oleh pria tadi. Makanya, jangan sok cantik,” sindir seorang wanita di samping mejanya sambil menatap Larissa merendah.

“Kasian sekali,” tambah temannya tertawa sinis.

Larissa tetap duduk di kursinya tanpa bergerak sedikit pun. Ia bahkan melanjutkan makan dan minumnya sampai habis. Tidak peduli orang berkata apa, Larissa berusaha percaya diri agar tidak terlalu memalukan di depan semua orang.

***

Malam pun tiba. Darish kembali berjumpa dengan Jeremi di rumahnya. Mereka duduk sambil menikmati kopi di halaman belakang rumah dengan suasana angin malam yang begitu sejuk. Darish dan Jeremi berbarengan meneguk seteguk kopi dan menaruhnya kembali di atas meja.

“Kau tahu, apa yang membuatku heran? Bisa-bisanya dia menggodaku dengan nada bicaranya yang lembut itu. Begini, nih. ‘Abang’,” ucap Darish mempraktekkan kembali penyebutan Larissa kepadanya. Ia menghela napas kesal. “Kau kira?”

“Kau tak terpikat sama sekali? Kalau aku sih, pasti.” Jeremi memancing emosi Darish.

Darish tertawa kesal. “Tak akan.”

***

“Sombong banget! Kenapa kamu nggak siram dia pakai air saja. Biar sombongnya itu hilang,” kata Ulfa yang kesal mendengar cerita Larissa dengan Darish tadi sore.

Larissa sedang memakai serum pada wajahnya sambil berdiri di depan cermin.

“Tidak, Fa. Aku harus terlihat dewasa dan bersikap tenang di depannya,” kata Rissa membalikkan badannya ke arah Ulfa yang sedang duduk di atas kasur.

“Kamu yakin, Ris? Aku khawatir kamu nggak akan bisa bahagia dengan laki-laki itu.” Naluri Ulfa berkata seperti itu.

Larissa terdiam saat Ulfa menanyakan keyakinannya yang memutuskan untuk menikahi sosok pria berhati dingin itu. Tak butuh waktu lama dalam menjawab, Larissa menatap Ulfa sambil tersenyum tipis dengan tatapan yang berbinar seakan-akan ia sudah jatuh cinta.

Ulfa menyeringai heran. “Aku hanya bisa mendoakanmu. Semangat!”

***

Pada hari minggu, seperti biasanya Bu Fatimah bergegas siap-siap untuk pergi berbelanja ke pasar tradisional bersama Darish dan Azka. Setelah selesai bersiap-siap Darish dan Azka keluar kamar sambil bergandengan tangan. Terlihat jelas dari raut wajah mereka yang kurang bersemangat dan berjalan lambat untuk mengulur waktu.

“Darish! Ibu sudah terlambat. Ayo, cepat.” Bu Fatimah menunggu Darish dan Azka di depan pintu rumah.

“Aduh, bu. Kenapa pasar tradisional lagi? Darish nggak bisa,” keluh Darish keluar dari rumah. Ia terlihat kurang suka jika Bu Fatimah mengajaknya pergi ke pasar tradisional.

“Cepat, nggak ada bantah!” perintah Bu Fatimah menatapnya tajam. Lalu, Bu Fatimah menggedong Azka dan membuka pintu mobil di jok baris kedua. “Ayo, Azka. Kita duduk di belakang.”

Darish membengong menatap ibunya karena tidak duduk di kursi depan. “Di belakang? Emang Darish sopir, apa?”

“Kalau nggak mau jadi sopir, segera menikah dengan Larissa,” sindir Bu Fatimah setiap ada kesempatan.

Darish menghela napas kesal. “Larissa lagi, Larissa lagi.”

Darish segera menaiki mobil setelah mendengar perkataan ibunya yang membuatnya kesal. Ia segera menaiki mobil dan pergi menuju pasar tradisional.

***

Beramai-ramai orang berbelanja di pasar tradisional kota Banda Aceh, karena kualitas sayur mayurnya masih segar dan bagus. Sebagai ibu rumah tangga, pastinya Bu Anita selalu mengunjungi pasar ini. Dan, hari ini Bu Anita mengajak Larissa untuk menemaninya.

“Sayur! Sayur, bu!” tawar penjual sayur itu.

Bu Anita mendekati tong penjual sayur dan mengambil sayur bayam yang masih berakar. “Sayur yang seperti ini masih baru dan segar, ya ‘kan, bu?”

“Iya, bu. Ini masih segar karena baru dipetik tadi pagi,” jawab penjual itu dengan ramah.

Bu Anita memperlihatkan bayam itu pada Larissa. “Kalau mau beli yang seperti ini nanti, oke?”

“Iya, ma,” jawab Larissa singkat sambil tersenyum tipis. Lalu, ia memilih sayur yang lainnya.

Larissa seorang anak yang penurut. Walaupun ia jarang menemani ibunya untuk berbelanja karena sibuk di toko, tapi ia tetap berusaha mensisakan waktu untuk keluarga. Begitu juga dengan Darish yang selalu setia menemani ibunya yang sudah single mother.

“Anita?” panggil Bu Fatimah menepuk bahu Bu Anita yang tidak sengaja bertemu di pasar.

Bu Anita menoleh dan membalikkan badannya. “Eh, kak Fat.”

Darish hanya tersenyum tipis ke arah Bu Anita sebagai sapaan biasa. Ia berdiri di samping kiri Bu Fatimah sambil menggendong Azka. Pada saat itu, raut wajahnya biasa saja karena ia belum mengenal Bu Anita. Dan, Larissa sedang memberikan bayaran kepada penjual sayur dan menunggu kembalian.

“Rissa, cepat. Ini ada Mak mertua. Eh, maksudnya ada Wak Fatimah dan Darish," ucap Bu Anita sengaja sambil mengedipkan mata ke arah Bu Fatimah.

Sontak Darish mengerutkan alisnya dan menyadari perkataan dari ibu itu. “Rissa? Mak mertua?”

Sedangkan, Larissa tidak mendengar perkataan ibunya karena terdengar terlalu berisik.

“Iya, ma. Mama bilang apa tadi?” tanya Larissa mendekati ibunya tanpa melihat karena sedang memeriksa sayur di dalam plastik.

“Kamu!?” tunjuk Darish menggunakan tatapan tajamnya. Ia memundurkan kakinya selangkah karena terkejut.

Larissa menaikkan kepalanya dan menatap sang calon suami. Ia juga terkejut sambil tersenyum ke arah Darish yang sedang menggendong anak kecil, tapi ia tidak terlalu memperhatikannya. Lalu, ia melihat ke arah bu Fatimah.

"Assalamu'alaikum, Wak," ucap Larissa memanggil dengan sebutan pengganti tante orang Aceh. Dan, ia bersalaman mencium tangan.

“Kakak cantik!” panggil Azka.

Larissa menoleh ke arah anak kecil yang hanya sekilas diperhatikannya tadi karena begitu fokus pada Darish. Larissa mengerutkan alisnya berusaha mengingat wajah anak kecil itu.

“Azka? Hai, Azka," sapa Larissa sangat senang.

Azka meminta untuk diturunkan dari gendong sambil menepuk bahu papanya. Darish menurunkan Azka dann bergegas lari ke arah Larissa juga memeluknya.

“Hah? Kamu kenal anak saya?” tanya Darish pada Rissa yang tercegang kaget hingga mulutnya terbuka.

“Iya," jawab Larissa singkat dan mencubit pipi tembem Azka.

Karena tidak menyukai perlakuan Larissa terhadap anaknya, Darish menarik Azka kembali dengan memegang lengan tangannya, "Jangan sentuh anak saja!"

***

Beberapa saat kemudian. Bu Fatimah sedang berada di pantri dapur rumahnya sambil mengeluarkan barang-barang belanjaan dari plastik. Wajahnya cemberut dan terlihat kesal dengan sesuatu hal yang membuatnya sakit hati.

“Memang anak tak punya abad. Dari kecil aku sudah ajarkan dia sopan santun, tapi apa yang dia lakukan. Dia malah sakitkan hati aku. Ibunya sendiri.” Bu Fatimah berbicara seorang diri di dapur sambil mencurahkan kekesalannya.

Darish yang hendak menuju ke dapur menemui ibunya dengan raut wajah yang gugup, ia malah tidak berani menemui ibunya untuk minta maaf. Ia berdiri di samping pintu dapur yang sesekali melihat apa yang sedang di lakukan ibunya. Darish sangat khawatir karena ibunya memotong daging ayam dengan sembarangan karena kesal.

“Aku pun nggak bisa kontrol emosi aku. Sekarang, ibu sangat marah padaku.” Darish menghela napas berat untuk menenangkan dirinya dan memberanikan diri mendekati ibunya sambil tersenyum. “Ibu.”

“Kamu sengaja bikin malu Larissa di tempat umum seperti itu?” tanya Bu Fatimah sedikit menunjuknya dengan pisau karena memang ia sangat kesal.

Darish mengangkat kedua tangannya. “Bu-bukan seperti itu, bu. Di-a masih muda sekali. Nggak cocok sama Darish, ‘kan?”

“Cuma itu alasannya?”

Darish tertawa bodoh. “Letakkan pisau dulu, bu. Bahaya,” ucap Darish perlahan-lahan mengambil pisau di tangan ibunya dan menaruhnya di pantri.

“Ibu mohon, Darish. Mungkin ini permintaan ibu untuk terakhir kalinya. Manalah tahu mungkin ibu akan susul bapakmu,” ucap Bu Fatimah begitu kekeh.

“Bu!”

“Kenapa? Ingat ya, Darish. Sampai kapan pun, ibu nggak akan terima Claudia di keluarga ini lagi. Apa kamu masih berharap dia akan kembali?”

Bu Fatimah mencurigai Darish yang mungkin saja masih mencintai mantan istrinya itu. Ia menatap Darish tajam.

“Nggak, bu. Darish benci dia. Sebab itu Darish nggak mau menikah lagi. Darish nggak mau mengulang hal yang sama.”

“Nggak. Larissa gadis yang baik. Ibu yakin, kamu akan bahagia dengan dia. Keputusan sudah muktamat dan kamu akan menikat dengan Larissa bulan depan,” pungkas Bu Fatimah kembali mengambil pisau untuk memotong ayam dengan keras.

Darish ingin membantahnya lagi, tapi tidak memiliki kesempatan untuk menolak. Ia hanya bisa berdiri seraya menghela napas lemas di samping ibunya tanpa berkata apa-apa. Jika, Bu fatimah sudah memutuskan, maka tidak ada yang bisa membantahnya.

BERSAMABUNG🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status