Kaki Aruna terus saja melangkah mengikuti Mitha. Hingga mereka berdua telah tiba di tempat bersantai karyawan, tepatnya di lantai empat.Angin baru saja menerpa wajah Aruna, ketika pintu balkon dibuka. Pemandangan gedung-gedung menjulang tinggi terpampang jelas di sekitarnya. "Katakan."Aruna tidak ingin berbasa-basi. Namun, ia juga perlu menjaga tutur kata. Takut membicarakan hal yang akan merugikan baginya sendiri.Mitha menunjukkan raut serius. "Berhenti menipu Erland dan kembalilah pada Yuda, karena kamu sangat tidak pantas berada di sisi Erland.""Yuda bukan siapa-siapa untukku, jadi kenapa aku harus kembali padanya?"Mitha menyeringai. "Jika kalian tak ada hubungan apa pun, mana mungkin kamu mau bicara dengan aku di sini?"Mata Aruna menatap Mitha dengan tajam. Meski wanita ini mencoba menjebaknya, namun Aruna tak akan pernah mau jatuh ke dalam jurang yang Mitha ciptakan."Kamu hanya benalu yang memanfaatkan keterpurukan Erland."Kaki Mitha mendekatinya. Membuat mata Aruna mena
Yuda kembali mendekat wajah dan ingin mencium bibir Aruna. Namun, Aruna yang marah langsung meludah tepat di wajah suami pertamanya ini.Mata Yuda sempat terpejam dan bibir menyeringai. Begitu pandangan terbuka, Yuda menjadi marah dan baru saja menampar wajah Aruna."Sialan!"Aruna yang meringis kesakitan, membuat Yuda kaget dan segera menatap tangan. Lantas, penyesalan itu dilampiaskan dengan memukuli tangan sendiri."Sialan, berani sekali kamu menampar istriku!"Mata Aruna melirik ke arah Yuda yang semakin tidak waras. Pandangan Yuda pun mulai terarah padanya. Lantas, pria ini mengulas senyum dan kembali mendekati Aruna."Jika kamu berani menyentuhku secuil saja, aku tidak akan memaafkan kamu," ancamnya.Yuda tersenyum. "Aku suamimu, bukan orang lain. Ingat itu, Aruna."***Jemari Yuda membenarkan kancing baju Aruna dengan telaten. Pria itu menyadari bahwa Aruna sedang menatap penuh kebencian dengan air mata yang tertinggal. Sentuhan juga hanya sepenuhnya dinikmati oleh sebelah pih
Pintu yang baru saja terbuka dan dipastikan Yuda telah kembali. Aruna terburu mengganti saluran chanel televisi, hingga menunjukkan program kartun animasi. Aruna menolehkan kepala dengan mata menatap antusias. Apalagi tangan Yuda yang hendak meletakkan kartu akses di tempat biasa, namun menyadari tatapan dari Aruna. Yuda menyeringai dan mengantongi kartu tersebut."Kenapa Aruna? Masih berpikir untuk bisa kabur?"Aruna duduk dengan benar lagi, tubuh menghadap televisi. "Kartu akses hanya untuk membuka pintu, tidak dengan mengunci dari dalam."Yuda mengeluarkan kunci dan membuka pintu kaca yang menjadi penghalang Aruna selama ini untuk bisa kabur. Entah apartemen ini memang memiliki dua pintu, atau Yuda menambahkannya sendiri. Dengan tujuan mengurung orang di dalam pintu kaca, sementara pintu utama itu bisa dengan mudah dibuka dari dalam, tanpa menggunakan sandi atau kartu akses."Kamu tidak akan bisa kabur, Aruna," ujar Yuda lagi sembari mengunci pintu kaca lagi.Mata Aruna menatap l
Mulut Daffa terkunci dengan rapat. Sementara mata sedikit melemah. Haluan yang sama? Apakah mereka berada di tingkat keserakahan yang sama?Mitha tersenyum melihat sorot kebimbangan di mata Daffa. "Bagaimana?""Kamu mau membawa wanita itu pergi kan? Dan kalau bisa jangan kembali ke sisi Erland."Pandangan Daffa terangkat dan bibir menertawakan sang istri pelan. Namun, ekspresi yang bisa dilihat oleh Mitha itu jelas membuat emosi memuncak."Apa maksudmu tertawa seperti itu! Yang aku butuhkan adalah jawabanmu! Daffa kembali!"Saat mata Daffa melirik, seorang polisi muda langsung mendekat dan menendang jeruji besi. Sampai membuat Mitha tertegun dan mundur dengan perlahan. Meski pandangan mulai menatap tajam."Kamu tidak tahu siapa aku? Berani sekali bertindak kasar!""Berisik!"Mitha sepenuhnya tertegun, namun pandangan berusaha untuk tidak berhenti menatap tajam. Nyali wanita itu mulai menciut, saat polisi berniat membuka sel tahanan."Aku akan diam, puas?"Sementara di dalam mobil. Daf
Napas Aruna menjadi sesak. Saat sorot lampu mobil itu masih menyala, namun pengemudi berhasil menginjak rem. Sehingga truk itu berhenti sebelum menyenggol tubuh.Sayangnya, keterkejutan serta rasa lelah. Menjadikan Aruna tersungkur ke aspal dan nampak tak sadarkan diri. "Kenapa kamu tidak mengemudi dengan benar?""Aku sudah benar. Tapi, wanita itu yang menyebrang dengan asal!"Kedua pria itu mulai berhenti berdebat, kemudian keluar dari mobil. Menghampiri Aruna yang baru saja dikerubungi banyak orang. Pengemudi truk itu membawa Aruna ke sebuah mobil yang bersedia mengantar ke rumah sakit.Selama perjalanan, terlihat sosok Erland berlari ke jalanan. Semula berniat menyebrang, namun terhalang oleh pengendara yang ramai setelah hampir terjadi kecelakaan. Erland kembali terlambat, takdir belum bersedia mempertemukan mereka berdua.***"Ini di mana?"Mata Aruna mulai terbuka perlahan. Dengan tangan menyentuh kepala, terasa pening namun tak begitu menyakitkan. Suara Aruna yang terdengar b
Erland memasuki mobil dengan mata yang muram. Dia sengaja membuka kaca dan tangan menyender di sana. Mata menatap langit yang begitu cerah ditemani matahari.Lantas, mulut merasa telah kehilangan minat untuk merokok. Namun, dia tetap paksa mengisi paru-paru. Hal menyesakkan akan teringat, jika dia melepasnya."Langit yang kita tatap mungkin sama, tapi keberadaan kamu ...."Erland melempar puntung rokok keluar dengan emosi. Lantas, menyenderkan punggung pada kursi dan memejamkan mata. Dia semakin kesal, mengingat jejak terakhir dari Aruna yang terekam CCTV.Aruna yang berlari melewati sebuah toko dengan bertelanjang kaki. Dan keberadaan Aruna terputus di sana, karena tak ada tempat lain yang memiliki CCTV."Aku bahkan bisa menjelajahi samudera untuk menemukanmu, sungguh bulshit! Bahkan di mana kamu berada pun aku tidak tahu!"***Aruna menatap matahari yang sedikit jinak. Lantas, helaan napas terdengar darinya. Hanya ingin kembali pada suami sendiri saja, susahnya seperti minta bintang
Pandangan Erland seolah terperangkap pada botol alkohol. Dia kembali menggoyangkannya, lantas berniat menyesap alkohol yang masih tersisa. Namun, semua keinginan itu tak berhasil terwujud. Setelah tangan Daffa memberanikan diri menahan kelakuan Erland."Lepas," pinta Erland pelan."Tidak," tegas Daffa."Tuan harus mencari nyonya."Daffa jelas tak rela melihat Erland menyerah seperti ini. Padahal pria itu sudah membuat keputusan paling sulit, melepas Aruna untuk sang tuan."Apa Tuan ingin nyonya lebih dulu ditemukan oleh Yuda?"Erland menyeringai. "Dia ada dalam genggaman aku, mampukah dia menemukannya?""Lalu bagaimana kalau orang yang ditemui nyonya justru menarik perhatiannya? Kemudian mereka hidup bahagia bersama."Erland menatap Daffa dengan kesal. Padahal dia hanya rehat sejenak, karena sedikit frustrasi kehilangan Aruna dan tak mampu menemukan. Rupanya mencari orang yang hidup lebih sulit ketimbang melupakan orang mati."Cari Aruna," meski kesal tapi Erland bangkit dari duduk d
Mentari merangkak malu-malu, mengintip Erland yang tengah memejamkan mata dengan tubuh menyender pada kursi. Sementara tangan dia menggenggam foto Aruna yang tersenyum."Tuan."Ketukan pada pintu, membuat mata Erland terbuka sejenak. Namun, kepanikan melanda. Terburu dia berlari dan membuka pintu."Apakah Aruna kembali?"Mata Erland menatap Sonya dengan pandangan penuh harapan. Namun, kepala pengurus ini membisu dengan tatapan sendu."Saya ingin mengingatkan Anda untuk makan, ini sudah saatnya sarapan."Mendengar hal yang sangat tidak menarik baginya. Erland mendengkus dan menutup pintu kembali dengan kasar."Jangan ganggu aku, kembalilah bekerja.""Tuan. Tolong isi perut Anda, sejak semalam Anda tidak memakan apa pun," Sonya berusaha membujuk."Nanti saja," sahut Erland lemas."Bunga! Bunga milik nyonya layu."Tapi, begitu mendengar bunga kesukaan Aruna yang dikatakan layu. Dia berbalik dan membuka pintu, bukan hanya itu. Erland juga langsung beranjak keluar dan menuruni anak tangga.