Davin membuka matanya pagi itu. Dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Oliver yang tertidur nyenyak, berbaring miring menghadapnya. Davin tersenyum, ia mendekatkan hidungnya ke mulut Oliver yang setengah terbuka. Harum mulut bayi yang khas membuatnya candu.“Kita berhasil melewati hari itu, Nak,” bisik Davin, “mamamu selamat dan kamu akan tumbuh besar didampingi dia.”Sudut bibir Oliver tersungging dalam tidurnya, entah karena dia sedang bermimpi indah atau karena dia mendengar dan mengerti akan ucapan ayahnya barusan. Davin ikut tersenyum.Harum aroma kopi yang menguar, membuat Davin segera turun dari ranjang dan melangkah keluar kamar.Ia mendapati Jingga sedang menggiling biji kopi, membuat hati Davin terasa penuh dan bahagia memandanginya.Rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak menjalani pagi hari yang menyenangkan seperti hari ini.“Selamat pagi,” sapa Davin dengan suara serak seraya melingkarkan kedua tangan ke perut Jingga.“Oh? Hai, selamat pagi. Tidurmu nyenya
Davin menggendong Oliver dengan satu tangan, sementara tangan yang lainnya menempelkan ponsel di telinga kanannya. Langkahnya terayun menuju pantai.“Ya Tuhan, Mas... kamu itu kemana saja, sih? Kenapa tiba-tiba menghilang tanpa ngasih kabar ke Mami? Kamu tahu di sini Mami sampai khawatir dan sakit kepala mikirin kamu?”Davin mengembuskan napas kasar mendengar ucapan ibunya yang berlebihan di seberang telepon. Ia tersenyum sejenak pada Oliver, sebelum menjawab, “Aku lagi ada perlu yang sangat penting, Mi. Dan ini urusanku, Mami nggak perlu lagi ikut campur.”“Mas... lalu gimana dengan Chelsea? Apa kamu memikirkan perasaan dia setelah kamu campakkan malam itu?”“Menantu Mami itu Jingga, bukan Chelsea,” tegas Davin, “seharusnya Mami lebih memikirkan perasaan istriku dibanding wanita lain."“Mas! Kamu sendiri tahu kalau bagi Mami Chelsea itu—““Begini saja,” sela Davin sambil terus melangkah di atas pasir. “Besok aku akan pulang. Aku minta tolong Mami undang Chelsea dan keluarganya makan
“Kamu gugup?”“Aku nggak gugup,” sanggah Jingga.Davin tersenyum. Ia mengelus belakang kepala Jingga dengan lembut. Lalu ibu jari tangan yang satunya lagi menyentuh dagu Jingga dan sedikit menariknya ke bawah, membuat Jingga menghentikan kegiatannya yang tengah menggigit bibir.“Jelas-jelas kamu gugup,” ucap Davin lagi dengan tatapan lembut. “Tangan kamu dingin, dan kebiasaanmu selalu menggigit bibir seperti ini kalau sedang gugup.”Akhirnya Jingga mengangguk seraya mengembuskan napas pelan. Ia menatap pria yang duduk di sampingnya dengan setelan semi formalnya—kemeja hitam yang digulung hingga siku dan celana hitam.“Aku memang masih gugup ketemu... orang tua kamu,” aku Jingga, “apalagi setelah kecelakaan yang menimpa kamu. Sepertinya kepercayaan mereka sama aku semakin menipis, atau bahkan nggak ada sama sekali.”Davin menarik kepala Jingga mendekatinya, lantas dikecupnya kening wanita itu cukup lama. “Jangan gugup. Selama ada aku di sisi kamu, kamu akan baik-baik saja. Ayo, kita tu
“Kamu, Chelsea, adalah dalang di balik kecelakaan itu. Kamu sengaja menyuruh seseorang untuk mencelakai istriku!”Tak ada yang tidak terkejut di ruangan itu kala mendengar ucapan Davin yang tegas dan tajam.Chelsea terkesiap, matanya terbelalak penuh kepanikan dan kebingungan. Ia membuka mulut, hendak membela diri, tapi Davin tidak memberinya kesempatan.“Kamu benar-benar lebih buruk dibanding dugaanku,” desis Davin dengan rahang mengeras."Dia tidak tahu apa-apa!" protes Emran, berusaha untuk melindungi anaknya."Tetapi Om tahu, bukan? Om tahu apa yang Chelsea rencanakan dan Om diam membantu menyembunyikannya," Davin menatap tajam ke arah Emran dan Nita. "Om juga bertanggung jawab atas perbuatan ini."Emran tersentak karena tudingan yang dilontarkan oleh Davin. Wajah Emran memerah, menahan amarah. “Kamu tidak bisa bicara sembarangan, Davin! Kamu tidak memiliki bukti dan saya bisa melaporkanmu atas pencemaran nama baik!”Davin tersenyum samar. “Apa menurut Om... saya tipe orang yang a
Jingga menghapus sisa make up nya di depan cermin lebar. Bahkan dari dalam kamar mandi inipun Jingga masih bisa mendengar suara Davin yang tengah menelepon seseorang di kamar mereka. Entah siapa yang Davin hubungi, tapi Jingga yakin suaminya sedang memiliki urusan penting terkait kasus Chelsea dan ayahnya.Jingga mencuci muka dengan air yang mengalir dari keran. Ia menutup keran itu, lalu berdiri terpaku menatap wajahnya yang basah di depan cermin.Sebegitu bencinya kah Chelsea terhadapnya? Jingga bertanya-tanya dalam hati.Sampai-sampai Chelsea rela melakukan hal keji untuk melenyapkannya?Jingga lantas keluar dari kamar mandi dan melihat Davin masih menelepon. Tak ingin mengganggu pria itu, Jingga mengganti pakaiannya terlebih dulu di walk in closet dan kembali ke kamar dengan pakaian tidur. Setelah mengaplikasika skin care rutinnya, barulah Jingga naik ke tempat tidur.Dan pada saat yang sama, Davin menoleh ke arah Jingga. “Cukup sampai di sini dulu pembahasannya. Saya lanjutkan be
“Ng-nggak! Bukan begitu maksudku!” Cepat-cepat Jingga menyanggah seraya mengibaskan tangannya di udara berkali-kali, sebelum Davin berubah menjadi pria pencemburu yang mengerikan. “Sungguh. Aku cuma penasaran gimana nasib Vincent sekarang.”Mata Davin masih memicing curiga. Ekspresinya baru mencair setelah Jingga menghadiahi bibirnya dengan sentuhan mesra.Davin mengerjap berkali-kali, berdehem, lalu ia mengeratkan pelukannya yang membuat Jingga merasa sesak.“Vincent baik-baik saja,” ucap Davin pada akhirnya. “Aku sudah mengirimkan beberapa orang untuk melindungi dia. Dan ternyata orang-orang yang mengawasinya akhir-akhir ini adalah orang suruhan Om Emran. Om Emran sudah tahu kalau Vincent memiliki bukti-bukti itu, dia mengancam Vincent dengan membawa-bawa keluarganya, tapi Om Emran terlalu bodoh sepertinya karena dia menganggap remeh Vincent.”Davin mendengus kasar, rahangnya berkedut dengan mata berkilat penuh emosi begitu ia menyebut nama Emran.Jingga yang menyadari perubahan rau
‘Anak kedua kita?’Davin membeku. Menatap foto janin seukuran biji apel itu dengan tatapan tak percaya. Debaran jantungnya terasa semakin hebat.Seketika itu juga Davin menyingkap selimut dan hendak turun dari ranjang. Namun, tiba-tiba ia mengumpat lirih saat menyadari tubuhnya hanya mengenakan brief. Bisa saja ia keluar dalam kondisi seperti ini, tapi Davin masih sadar bahwa ada orang lain di rumah ini selain Jingga dan Oliver.Ia lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan menemukan celana selututnya terlipat rapi di nakas. Davin yakin Jingga yang menyediakannya di sana.Setelah mengenakan celana itu, ia bergegas keluar kamar dengan langkah tidak sabaran. Jantungnya berpacu semakin keras dan matanya berusaha mencari-cari sosok sang istri, yang ternyata tidak ada di dalam rumah.Davin menyeret langkahnya ke luar. Ia menghela napas lega kala menemukan sosok yang ia cari-cari sedang berjemur bersama Oliver di sunbed yang ada di taman.“Ternyata kamu di sini,” ucap Davin dengan napa
Jingga melongokan kepala di pintu perpustakaan. “Dave, kita mulai meeting-nya sekarang?”Davin melirik arloji. Menoleh pada Jingga sesaat ketika menjawab, “Tunggu sepuluh menit lagi, hm?”“Ya sudah.” Jingga menghela napas pelan. Ia masuk ke ruangan perpustakaan pribadi itu dan mengambil buku dari rak terdekatnya secara asal.Jingga duduk di single sofa, membuka-buka buku di tangannya sejenak, lalu memperhatikan Davin yang fokus pada beberapa buku yang terbuka di hadapannya, di atas meja. Sesekali pria itu beralih ke laptop, lalu mencatat di sebuah buku. Gelagatnya persis seperti seorang profesor muda yang sedang menyusun materi kuliah.Jingga tidak tahu apa yang sedang Davin tekuni. Namun yang pasti itu bukan pekerjaan. Sebab Davin akan berada di ruangan kerjanya jika yang sedang ia tekuni adalah hal yang menyangkut pekerjaan.Penasaran, Jingga lantas menaruh bukunya di atas meja. Lalu mendekati Davin dan melihat buku-buku yang berserakan di hadapan pria itu. Mata Jingga seketika terb