Oliver tampaknya mengerti bahwa kemegahan di sekelilingnya adalah acara yang diperuntukkan tahunnya.Beberapa hari sebelumnya Jingga memang sering membahas hari ulang tahunnya dan melibatkan Oliver dalam persiapannya. Alhasil, hari ini Oliver tampak ceria, mata bulat jernihnya tampak berbinar-binar melihat dekorasi ruangan yang disulap seperti memasuki luar angkasa yang meriah dan mewah.Oliver sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran banyak orang di sekitar. Ia tetap ceria di pangkuan sang ayah.Selain mengundang keluarga besar, Davin juga mengundang keluarga dan anak dari para kolega bisnisnya, karyawan New Pacific Group, dan teman-temannya yang tidak begitu banyak.Sementara itu dari pihak Jingga, tidak banyak yang ia undang. Hanya beberapa orang dari Madhava Studio, termasuk Kalil. Dan anak-anak beserta seluruh staf dari baby daycare tempat Oliver dititipkan, dulu.Jingga sempat memberikan undangan kepada ibunya dan Pelangi. Namun, entah mengapa, sepertinya mereka tidak akan had
Jingga keluar dari ballroom yang mulai sepi. Ia mengayunkan langkahnya menghampiri lift dan melihat punggung dua wanita yang cukup dikenalinya. Lucy dan... Rachel. Kedua wanita itu tengah mengobrol dan tertawa bersama sembari menunggu pintu lift terbuka. Jingga bukan orang yang akan merasa nyaman berdiri satu ruangan dengan seseorang yang tidak akrab dengannya—apalagi membencinya—seperti Lucy, meskipun wanita itu adalah mertuanya sendiri. Maka dari itu, Jingga memutuskan untuk berbalik arah, tapi ia terlambat karena Rachel tiba-tiba menengok ke belakang. “Oh, Jingga? Mau naik juga?” tanya Rachel seraya tersenyum ramah. Jingga balas tersenyum, mengangguk. “iya,” jawabnya pada akhirnya. Sudah terlambat untuk menghindar. Lucy menoleh. Jingga sedikit menganggukkan kepala sambil tersenyum untuk menyapa sang ibu mertua. Tak ada senyuman balasan sama sekali di wajah Lucy. Jingga berusaha menahan napas sejenak, merasakan atmosfer yang tiba-tiba menjadi tegang. Lucy hanya menatapnya ta
Mendengar pertanyaan Jingga, Davin seketika terdiam. Kemudian menghela napas panjang dan menangkup pipi istrinya itu. “Kita mandi dulu, ya. Aku gerah,” ucap Davin pada akhirnya. “Setelah mandi, aku janji akan menceritakan semuanya padamu, Sayang.” Kening Jingga berkerut dalam. Ia berpikir, pasti ada sesuatu yang serius dengan pembahasan mengenai Rachel. Karena jika tidak, Davin tidak akan menunggu nanti-nanti. Namun, Jingga tidak ingin berspekulasi sendiri. Ia akhirnya mengangguk mengiakan keinginan Davin. “Ya sudah. Mau mandi bareng?” tawar Jingga seraya melepaskan diri dari pelukan pria itu. Davin menelan saliva. Tawaran itu sangat menggiurkan. Lebih menggiurkan dari tawaran kerjasama antar perusahaan. Davin memandangi tubuh sang istri dari belakang, yang baru akan menghapus make up. Lalu Davin mendekat, memeluknya dari belakang. “Nggak, Sayang. Kita mandi gantian saja, ya,” ucap Davin dengan berat hati. Jingga menoleh ke arah Davin seraya mengulum senyum. “Tumben?”
Pagi itu Jingga terbangun sendirian. Ia tidak menemukan Davin maupun Oliver di sampingnya. Seprai yang kusut itupun terasa dingin, pertanda bahwa kedua lelaki itu sudah cukup lama meninggalkan kasur.Jingga memaksa dirinya untuk bangkit duduk. Overthinking yang menderanya membuat Jingga baru bisa memejamkan mata hampir pukul tiga dini hari. Penjelasan Davin tadi malam mengenai Rachel, benar-benar mengganggu pikirannya.Saat Jingga akan melangkah ke kamar mandi, matanya menemukan sebuah notebook berlogo hotel yang terbuka di atas nakas, ada bolpen di sebelahnya. Dan terlihat tulisan tangan Davin di notebook tersebut.Jingga mengernyitkan dahi. Merasa penasaran dengan tulisan tangan itu, ia lantas mengambil notebook tersebut dan membaca pesan yang ditinggalkan suaminya.*Sayang, maafkan aku kalau tadi malam penjelasanku membuatmu khawatir dan mungkin overthinking. Aku sudah bicara pada Mami pagi ini, menjelaskan bahwa aku nggak akan mengikuti keinginannya. Aku sudah punya keluarga yang
Jingga tidak bisa melupakan kata-kata yang diucapkan Lucy pagi itu. Ucapan tajam ibu mertuanya selalu terngiang-ngiang. Membuatnya tak berselera makan. Tak bisa tidur nyenyak. Semakin kuat Jingga berusaha melupakannya, semakin keras pula suara Lucy terngiang di telinga. Jingga tidak menceritakan pertemuannya dengan Lucy kepada Davin. Ia memendamnya seorang diri. Sebab, Jingga yakin, jika Davin tahu mengenai apa yang Lucy ucapkan padanya, Davin akan marah besar pada ibunya. Jingga tidak mau membuat Davin bersikap tak wajar pada ibunya sendiri. Ponsel Jingga berdering, membuyarkan lamunannya. Jingga mengalihkan pandangannya dari makanan di hadapannya yang belum ia sentuh sama sekali—karena selera makannya benar-benar buruk, ke arah ponsel yang tergeletak di samping gelas. Panggilan dari Davin. Jingga tidak bisa menahan senyumnya kala membaca nama pria itu terpampang di layar. Dengan cepat ia mengangkat panggilan tersebut. “Halo?” sapa Jingga sambil beranjak dari meja makan. “Sayan
Setelah dokter pribadi keluarga Davin—yang telah selesai memeriksa kondisi Jingga, menyarankan agar Jingga segera diperiksa oleh dokter spesialis kandungan, maka sore itu juga Davin membawa Jingga ke rumah sakit dengan perasaan cemas yang berusaha ia sembunyikan. Selain demam, Jingga juga mengeluh perutnya sakit dan badannya lemas. “Kandungan Bu Jingga terlihat baik, tapi saya melihat ada sedikit tanda-tanda stres pada janin. Apa belakangan ini Bu Jingga merasa cemas atau stres berlebihan?" tanya Dokter Kartika sesaat setelah ia selesai memeriksa kondisi kandungan Jingga. "Stres?" Jingga terkejut mendengar dokter kandungan itu dapat menebak bahwa akhir-akhir ini ia merasa cemas dan mungkin bisa dibilang stres berlebih. Tak bisa dipungkiri, kata-kata ibu mertuanya tempo hari membuat pikiran Jingga semrawut. Namun, Jingga tidak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya kenapa ia stres di depan Dokter Kartika dan Davin. Jingga lalu menoleh pada suaminya, yang tampak cemas dan khawatir.
Davin benar-benar membuktikan ucapannya. Selama Jingga bed rest, ia memperlakukan Jingga dengan penuh perhatian. Selain cuti dari pekerjaannya, Davin juga benar-benar membiarkan Jingga istirahat sepenuhnya, ia juga mengurus Oliver dari pagi hingga malam. Ketika waktu sarapan dan makan siang, Davin membawakan makanan Jingga ke kamar dan menyuapinya, memastikan Jingga makan dengan benar meski terkadang Jingga menolak karena selera makannya masih belum membaik.Lalu siang ini, Davin berhasil menidurkan Oliver. Ternyata tidak sulit membuatnya tertidur, pikir Davin. Sebab anak itu pasti mengantuk jika waktu tidur siangnya sudah tiba. Setelah merebahkan Oliver di atas kasur yang sama dengan Jingga, Davin lantas beralih ke sisi kasur yang lain, duduk bersandar di headboard seraya menarik Jingga ke dalam pelukannya. “Sayang, boleh aku tanya sesuatu?” tanya Davin seraya menyusupkan jari jemarinya di rambut Jingga dan mengusap-usapnya lembut. Jingga menyandarkan pipinya di dada Davin, menga
“Maaf, Pak. Saya bukan Satria. Saya Mas Yanto. Bapak nggak lihat tulisan di sana, ya? Ini ‘Pecel Mas Yanto’.”Davin menoleh ke arah spanduk yang menggantung di depan gerobak, yang ditunjuk oleh seorang pria tua keriput yang bernama Yanto itu.Davin menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Baik, kalau begitu. Apa Bapak, maksud saya Mas Yanto tahu di mana pecel yang dijual oleh Satria?” tanya Davin dengan ragu-ragu.Yanto mengerutkan keningnya, ia menelengkan kepala, menatap Davin dengan heran. “Mana saya tahu, Pak. Saya nggak pernah menghapal nama-nama tukang pecel. Coba Bapak cari di perempatan sana.” Yanto menunjuk ke sembarang arah, lalu ia sibuk menyajikan pecel pada pelanggannya.Setelah mengucapkan terima kasih, Davin lantas meninggalkan tempat tersebut dan masuk ke dalam mobilnya.Ia menyugar rambut yang sudah sedikit acak-acakan. Mas Yanto adalah penjual pecel ke tujuh yang Davin temui sore ini. Setelah sebelumnya yang Davin temui adalah Udin, Sultan, Sura, Harja, Ilham, dan D