Share

Istriku Seutuhnya

Kedua mata Frisca malas terbuka saat cahaya hangat menyinari wajahnya. Gadis itu menarik selimutnya dan menyembunyikan wajahnya hingga aroma maskulin selimut putih itu membuat Frisca tersadar akan suatu hal.

Kali ini ia benar-benar membuka lebar kedua matanya menyadari dirinya berada di dalam sebuah kamar, milik Daniel.

"Harusnya aku menikah dengan Brandon," lirih Frisca mencengkeram erat selimutnya, "Brandon, tega sekali kau padaku. Kau menjanjikan banyak hal padaku, tapi saat menikah kenapa kau malah hilang?"

Frisca menangis saat bayangan bahagia bersama kekasihnya muncul dalam benaknya. Tanpa beranjak ia menangis di sana, malah dirinya kini menjadi istri dari laki-laki yang lima tahun lebih tua darinya, laki-laki yang tidak terlalu ia sukai karena Daniel yang sengak dan dingin.

"Brandon, kau ke mana?" lirih Frisca menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menangis kuat menyadari kesedihannya datang di akhir penantian kebahagiaan yang ia impikan.

Tangisan Frisca pelahan terhenti, ia merasakan seseorang menyentuh pucuk kepalanya dengan sangat lembut, Frisca membuka tangannya yang menutup wajah cantiknya.

Manik mata biru milik Daniel menatapnya dengan lekat dan penuh arti. Daniel yang kini sudah berbalut kemeja biru laut dan celana bahan hitam, ia sangat rapi dan laki-laki itu tersenyum tipis padanya, Daniel mendekati wajah Frisca dan mengecup keningnya dengan lembut.

"Kenapa menangis Frisca? Ini masih pagi, kau harusnya semangat di pagi hari," ujar Daniel.

Frisca mencekal lengan Daniel dan melanjutkan menangisnya.

"Tidak pernah sedikit pun terpikir kalau Brandon meninggalkan aku," lirih Frisca memejamkan kedua matanya.

"Laki-laki kurang ajar sepertinya apa masih kau berikan maaf, hem?" tanya Daniel menatap hangat wajah sedih istri kecilnya.

Frisca menggeleng kuat, "tidak akan. Tidak akan aku maafkan lagi," jawabnya.

Perlahan Daniel mencekal kedua pundak Frisca dengan pelan. Ia membantunya bangun hingga mereka saling tatap untuk beberapa detik. Telapak tangan Daniel yang hangat membingkai wajah Frisca dengan mesra.

"Semua orang tahu statusmu sebagai seorang istri saat ini. Meskipun pernikahanmu hanya dihadiri oleh orang-orang penting, tanpa tahu siapa sosok suamimu yang sebenarnya. Semua orang mengira kalau aku, suamimu yang sesungguhnya," ujar Daniel mengusap air mata Frisca.

"Kalau Brandon tidak kabur, aku juga tidak akan memintamu menjadi suamiku," seru Frisca memukul lengan Daniel.

"Tapi ini takdir. Bagaimanapun keadaannya, kau tetap istriku, dan aku tetap suamimu saat ini. Penawaran perpisahan setelah menikah hanya untuk menutupi statusmu, tidak aku terima. Aku tidak pernah menceraikanmu, paham!" Daniel tersenyum mengusap wajahnya lembut pipi Frisca.

Gelengan kepala diberikan oleh Frisca, tangisannya semakin nenjadi-jadi. Ia mencengkeram lengan Daniel dengan kuat.

"Tapi... Tapi aku tidak mencintaimu, aku tidak akan pernah bisa cinta padamu!" pekiknya menolak.

"Urusan cinta tidaknya kau padaku, itu urusan Tuhan. Yang penting aku memperlakukanmu sebagai istriku, dan...."

"Aku tidak mau ada orang yang tahu kalau kau suamiku!" pekik Frisca.

Daniel menaikkan kedua alisnya, "heem, baiklah kalau itu maumu. Aku juga tidak keberatan sama sekali."

Daniel bangkit perlahan dan bersedekap menatap istrinya. Kasihan juga ia menatap Frisca yang merasa sedih atas apa yang dirasakannya.

"Sudah, jangan menangis lagi. Percuma juga kau tangisi, air matamu tidak bisa membalikkan waktu," ujar Daniel beranjak ke arah pintu kamar dan keluar meninggalkannya.

Frisca terdiam menatap cermin di depan sana. Jelas nampak betapa kacaunya ia saat ini.

"Kak Daniel benar, menangis pun tidak akan bisa membalikkan waktu," lirih Frisca mengusap air matanya, "Frisca, ayolah... Jalani apa yang ada saat ini, jangan menyerah!"

Tidak ada yang bisa Frisca lakukan selain menyemangati dirinya sendiri dan mencoba untuk bertahan dengan status barunya.

**

"Sepi, ke mana Kak Daniel?"

Frisca turun ke lantai satu beberapa menit usai ia berendam di dalam kamar mandi selama beberapa jam yang lalu.

Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari. Langkah Frisca kini menuju ke ruang belakang di mana para pelayan yang tengah menyiapkan sarapan.

"Selamat pagi Nyonya," sapa mereka berempat kompak.

"Pa... Pagi," balas Frisca dengan nada kikuk.

"Nyonya silakan sarapan, Tuan Daniel meminta kami menyiapkan bubur ayam untuk Nyonya," ujar Bi Ressi menarik kursi.

"Sekarang di mana dia, Bi?" tanya Frisca duduk meraih sendok yang sudah disiapkan.

"Tuan sudah berangkat ke kampus," jawab wanita itu ramah.

"Kampus?!" pekik Frisca.

Bi Ressi menganggukkan kepalanya polos. Frisca terdiam, ia menatap sarapan yang tertata di atas meja. Sangat banyak dengan beberapa menu makanan di sana.

Sepertinya laki-laki itu tidak sarapan, Frisca meletakkan kembali sendoknya dan bangkit.

"Aku mau ke kampus juga Bi," ujar Frisca mundur perlahan.

"Loh tadi kata Tuan, Nyonya diminta untuk istirahat. Tuan akan pulang jam sepuluh nanti. Lebih baik Nyonya sarapan saja dulu, kalau Nyonya telat makan dan sakit, bisa-bisa Tuan akan marah pada kita," ujar Bi Sophi baru saja muncul, ia meminta Frisca duduk kembali.

"Tapi... Tapi dia belum sarapan kan Bi?"

"Tuan bisa makan di luar Nyonya, jangan khawatir."

Mau tidak mau, Frisca sarapan seorang diri. Ia menikmati sarapannya untuk kali pertama di rumah Daniel, suaminya.

Betapa perhatiannya seorang Daniel padanya. Sarapan untuknya, menenangkannya, mau menjadi suami pengganti untuknya dan enggan untuk berpisah.

Beberapa jam berlalu, Frisca asik mengelilingi rumah megah Daniel sejak pagi hingga kini langkahnya terhenti di sebuah ruangan di lantai dua.

Ruangan besar di mana hanya ada sepasang sofa besar dan beberapa foto besar di dinding. Foto keluarga Daniel, benar-benar ruangan yang sangat megah dengan hiasan mahal di beberapa tempat.

"Wah, apa ini orang tua Kak Daniel?" lirih Frisca menunjuk foto laki-laki dan perempuan, mereka dengan pakaian formal dan berwibawa tanpa ekspresi.

"Kalau ini Daniel Sombong Emmanuelle," kekeh Frisca terhenti di depan foto besar milik Daniel.

Senyumannya perlahan redup saat manik matanya beralih menatap foto seorang gadis cantik berambut cokelat terang yang sangat indah. Entah siapa gadis itu, hanya ada satu fotonya di samping tepat foto Daniel.

Frisca memiringkan kepalanya dan terdiam. Menimbang-nimbang mencoba menebak siapakan wanita itu.

"Cantik sekali, siapa wanita ini? Apa pacarnya Kak Daniel yang ke selusin?" cicit Frisca begidikkan bahunya.

"Dia Sarasita!"

Suara tegas maskulin membuat Frisca menoleh ke belakang, seorang Daniel entah sejak kapan ia di sana. Laki-laki itu mendekatinya dan berdiri di samping Frisca menatap foto wanita yang membuat Frisca bertanya-tanya.

"Kok sudah pulang?" tanya Frisca.

"Harusnya kan aku libur, hari pertama menikah aku meninggalkan istriku di rumah sendirian. Tidak adil, bukan?" jawab Daniel membungkam Frisca.

Sebisa mungkin Frisca mengelaknya, ia berdehem pelan dan menggeleng pelan kembali menatap foto gadis di hadapannya.

"Siapa ini? Sarasita itu siapa? Pacarmu ya?" tanya Frisca dengan nada sedikit tidak mengenakkan. Dari banyak baju perempuan di lemari kamarnya hingga foto wanita, Frisca menebak kalau laki-laki ini pasti buaya darat.

"Adikku. Dia meninggal kecelakaan saat berusia tujuh belas tahun, di Manhattan."

Terkejut Frisca mendengarnya, spontan ia membalikkan badannya menatap Daniel. Baru tahu ia kalau Daniel ternyata memiliki seorang Adik meskipun sudah tiada.

"Dia... Dia sudah tia...."

Ucapan Frisca terhenti saat Daniel membalikkan badan Frisca dan mendekapnya dari belakang, meletakkan dagunya di pucuk kepala Frisca, menatap foto gadis cantik yang berada di dinding tepat di hadapan mereka berdua.

"Aku sangat menyayangi Sarasita, kehilangan dia membuatku gila, Sayang. Sampai akhirnya aku kenal dengan Kakakmu, melihatmu dan Dante membuat aku rindu dengan Sarasita." Daniel menunduk dan menatap wajah Frisca dari sisi wajah gadis itu, "itulah alasan mengapa aku sangat menginginkanmu, Frisca. Lebih dari rasa sayang dan cinta biasa, aku ingin kau menggantikan sesuatu berharga milikku yang sudah tiada. Hanya kau yang bisa, Sayang."

Deg...

Jantung Frisca berdetak lebih cepat. Ia merasakan debaran dada Daniel yang kini mendekapnya hangat.

"A... Aku?"

Daniel mengangguk antusias.

"Heem, hanya kau dan tidak ada yang lain. Jadi kau, jangan pernah berharap pergi selagi kau berada dalam naunganku, Sayang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status