Share

Bab 02

Dia tetaplah Burhan yang hanya buruh panen di kebun milik mendiang orang tua Nana.

 

“Kita sudah membahas hal ini jauh hari. Dan, Abang setuju. Lalu sekarang mengapa berubah pikiran. Lakukan demi cintamu padaku, Bang,” tukas Nana berlalu masuk ke kamar melemparkan tubuh langsingnya keranjang.

 

“Aku laki-laki, Dik. Cepat atau lambat meski tanpa cinta pasti akan terbiasa dengan hadirnya wanita lain diantara kita. Tapi Aku tidak yakin dengan hatimu. Selama ini saja kau selalu cemburu melihat aku dekat dengan wanita lain. Padahal hanya sebatas teman,” batin Burhan menggelengkan kepala.

 

Bagi Burhan permintaan Nana sangat konyol. Saat wanita diluar sana membenci poligami namun, Nana justru menginginkan.

 

Setahun terakhir Nana terus menodongnya untuk menikah lagi. Tetapi selalu ditolaknya dengan berbagai alasan, mengulur waktu dan secara halus menghindar.

 

Rasa cinta yang begitu besar pada sang istri. Sama sekali tidak mempermasalahkan kondisi Nana yang tak memiliki rahim.

 

Sengaja dia mendirikan panti asuhan sebagai pelarian saat Nana kesepian. Berharap dengan berada diantara anak panti akan melupakan keinginan memiliki anak.

 

Tapi Nana tetaplah Nana, yang keras kepala, setiap kehendaknya harus terwujud.

 

Berbagai upaya Burhan menggagalkan ambisi Nana sia-sia belaka. Dan hari ini puncaknya keinginan Nana menjadi kenyataan.

 

Ck, Nana berdecak lalu menggusar kasar wajahnya. Sekarang dia tengah duduk di halte Bis.

 

Dia sudah tidak dapat lagi menangis meski masih ingin menangis untuk mengurangi beban yang menghimpit dadanya.

 

Dia meraih gawai dalam tas selempang kesayangannya. Dibeli seharga seratus lima puluh ribu.

 

Meski kaya raya dia bukanlah pecinta barang-barang branded.

 

Baginya itu tidak bermanfaat lebih baik uangnya disedekahkan kepada orang yang membutuhkan dan itu akan jauh  sangat bermanfaat untuk orang lain.

 

Dia mengusap layar lima koma lima inci itu dibelakangnya terpampang tulisan yang seperti orang Jawa bertanya.

 

Jam menunjukan pukul setengah dua. Berarti sudah dua jam dia meninggalkan tempat itu.

 

Hatinya bertanya-tanya apakah suaminya menyadari keberadaannya atau justru sibuk dengan Bella sang istri muda.

 

Dia memukul kepalanya, betapa bodohnya dia. Sudah pasti suaminya sangat mengkhawatir terbukti ada puluhan chat dan panggilan dari nomor sang suami.

 

Dia menekan tombol off, sementara gawainya dipensiunkan. Dia masih belum siap untuk berbicara dengan siapapun.

 

“Aku hanya butuh waktu untuk mengobati luka hati ini dan saat luka ini sembuh dan mengering maka aku akan kembali ketengah-tengah kalian.” Nana bermonolog.

 

Dia ingin sendiri dan tidak ingin berhubungan dengan orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan suaminya.

 

Bingung harus kemana semua tempat yang dia tahu Burhan pun tahu. Sangat mudah bagi Burhan untuk menemukannya.

 

Nana terus berpikir dimana harus sembunyi agar Burhan tak dapat menemukannya.

 

Sedang di tempat acara Bella mencari keberadaan Nana tiba-tiba menghilang. Matanya mengawasi setiap penjuru ruangan, diantara tamu undangan namun, tak ditemukan sosok yang dicarinya.

 

Terakhir kali dia melihat Nana sebelum akad nikah yang duduk tepat di belakang Burhan. Melemparkan senyum sembari mengacungkan jempol kepadanya sebagai tanda dia baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

 

Nana juga yang menggandeng dirinya berjalan menuju tempat duduknya saat ini. Menutup kepalanya dan Burhan dengan selendang sutra milik ibu Burhan.

 

Selendang yang juga digunakan di acara akad nikah Nana dan Burhan  delapan tahun silam.

 

“Ini selendang kesayangan ibu Bang Burhan, Bel. Dulu beliau sendiri yang mengenakannya padaku. Tapi hari ini dia lagi datang bulan bawaannya ingin mengomeli ku saja.” Nana mengeluarkan  selendang dari dalam tasnya dengan senyum manis yang membuat buat Burhan bertekuk lutut tak lepas menghiasi wajahnya cantiknya.

 

Diperkirakan usia selendang sudah belasan tahun tapi warnanya terlihat baru karena ibu Burhan dan sampai Nana rajin merawatnya.

 

Nana tidak berkedip melihat polesan wajah ayu Bella begitu teduh dan menyejukan.

 

Ini kali pertama Nana melihat wajah gadis itu secara langsung. Bella tidak pernah melepaskan cadarnya meski mereka tinggal serumah. Kecuali didalam kamar saat dia sendirian. Bella yang taat agama sangat menjaga auratnya.

 

“Kamu cantik sekali, Bel. Sayangnya kamu tutupi dengan itu.” tunjuk Nana pada kain cadar yang di genggaman Bella.

 

“Ah, sudahlah kamu memang lebih baik dariku,” lanjut Nana mengibaskan tangannya di udara tanpa memberikan kesempatan untuk Bella berkata.

 

“Apa kakak bahagia?” Nana mendelik mendengar ucapan Bella.

 

Bella pun tak menyangka pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir tipisnya.

 

“Aku bahagia, aku sudah tidak sabar menjadikanmu saudaraku.” Nana mengalihkan pandangan keluar jendela.

 

“Kakak boleh batalkan pernikahan ini kalau memang berubah pikiran, toh selama ini aku juga sudah menjadi bagian dari kalian.”  Bella meraih tangan Nana.

 

“Aku ini tidak sempurna, Bel. Aku ingin seperti wanita lain. Memiliki banyak anak.” Nana menatap mata gadis yang berbalut pakaian pengantin yang beberapa menit lagi gadis itu akan resmi menjadi adik madunya.

 

“Apa kakak sudah pernah periksa, benarkah kakak tidak memiliki rahim," tanya Bella.

 

Nana menggeleng, selama ini dia hanya tahu tidak memiliki rahim dari ibu tirinya.

 

Nana begitu menyayangi ibu tirinya. Sangat percaya dan yakin apa yang dikatakannya.

 

“Aku percaya pada Mama, bahwa saat usia lima tahun Aku terjatuh dari sepeda. Karna benturan keras rahimku rusak, harus segera diangkat demi menyelamatkan nyawaku.” cerita Nana bersemangat.

 

Bella merasa cerita Nana sedikit tidak masuk akal. Tetapi itu bukan ranahnya mencampuri terlalu jauh. Cepat atau lambat kebenaran akan terungkap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status