“Saya terima nikah dan kawinnya Bella Ariyanti binti alm. Muhammad Nuh dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Dalam satu tarikan nafas Burhan berhasil menghalalkan gadis muda disampingnya.
Gadis belia yang mengenakan gamis dan khimar putih, wajahnya ditutupi niqab menunjukkan betapa terhormatnya dia. Sedang Burhan mengenakan setelan kemeja senada menambah kesan serasi pada pasangan pengantin baru saja diresmikan. Semua didominasi warna putih, putih melambangkan kesucian. Putih seolah menunjukkan acara ini sangatlah sakral. Putih adalah lambang sebuah ketulusan dan kemurnian. “Bagaimana saksi, sah.” Penghulu bertanya pada seorang wanita yang duduk tepat belakang Burhan. Wanita itu mengangguk dan disambut tepuk tangan meriah dari para undangan. “Sah.” “Sah.” “Sah.” Kata itu menggema di seluruh penjuru ruangan. Semua yang hadir turut merasa bahagia atas momen paling berharga untuk kedua mempelai. Tapi tidak bagi wanita muda yang ditanya tadi, semburat kesedihan terpancar jelas di wajah tirusnya. Wajah cantiknya terlihat suram dan menyedihkan namun dia tetap memaksakan untuk tersenyum pada siapa saja yang menatap padanya. Menyembunyikan kesedihan yang membuncah karena ini semua terjadi atas kehendaknya. Berdiam diri mematung menatap punggung pengantin pria, yang tengah sibuk menandatangani berkas. Pertanda bahwa pernikahan itu sah dimata hukum dan agama. Dia terus meremas ujung kebaya jingga yang melekat pada tubuh langsingnya, dipadukan dengan rok batik khas Jambi. Rambut lurus sebahu miliknya dibiarkan tergerai hanya dijepit bagian samping membuat dia semakin mempesona. Wanita itu bernama Nayla Rahmawati, merupakan istri pertama laki-laki yang baru saja mengikrarkan janji suci pada wanita bercadar di samping sang suami. Dia semakin kuat meremas ujung kebayanya dan, mendadak berdiri hingga kursi plastik yang didudukinya terjatuh kebelakang. Setengah berlari meninggalkan tempat itu. Dia sudah tidak sanggup lagi menyaksikan rentetan acara yang akan merubah dunianya setelah ini. Entah berapa kali dia menabrak tamu undangan membuatnya tersungkur. Terdengar cacian dan makian untuknya. Dia kembali berlari dan terus berlari keluar dari tempat itu dan pergi menjauh. Keadaanya benar-benar kacau saat ini. Entah berapa kali dia jatuh bangun namun, dia tetap tidak menyerah untuk menjauh dari sana. Hatinya hancur tak beraturan, luluh lantak dan takkan pernah bisa pulih sekalipun dia yang menginginkannya. Apalagi saat dia menyaksikan suami yang teramat dicintainya mengecup dahi wanita yang beberapa menit lalu resmi menjadi madunya. Selama ini dialah yang selalu berada di posisi wanita itu. Mendapatkan ribuan kecupan dari si pria setiap harinya kala mereka bersama. Dan kini? Ah, membayangkannya saja tak sanggup. Sungguh dia tak mampu membayangkan harus berbagi kasih sayang dan juga ranjang dengan wanita lain. Berlari dan terus berlari tanpa tujuan. Air matanya tak henti mengalir deras. Jika itu sungai mungkin akan terjadi banjir bandang. Memang pernikahan ini dia yang menginginkannya, tapi tidak terbayang akan sesakit ini. Ternyata kenyataan jauh lebih menyakitkan dari yang dikhayalkan selama ini. Hidup berdampingan bersama adik madu tanpa cemburu. Bersama mengarungi lautan dengan satu kapal dan nahkoda yang sama. Dari jauh hari dia telah menyiapkan mental untuk hari ini namun, tetap tergores perih dan berdarah. Teringat seminggu yang lalu Burhan memohon untuk membatalkan pernikahan yang sama sekali tidak harus terjadi. “Tidak bisakah dibatalkan saja, dik. Abang tidak bisa, abang tidak bisa melihatmu sakit hati,” ujar Burhan memelas. Berharap Nana merubah keinginan gilanya. Mereka duduk di balkon menunggu waktu magrib. Ditemani secangkir teh hangat dan nastar buatan nana sebagai cemilan. “Jangan Bang, Abang harus menikahi Bella,” balas Nana penuh penekanan diikuti tatapan tajam yang kerap membuat Burhan tak mampu membantah lagi. “Lupakan Abang yang tidak menyukai Bella. Abang takut kau terluka, Dik,” bujuk Burhan mengusap pucuk kepala wanita yang telah mendampinginya hampir sewindu. Jantungnya berdegup sangat kencang. “Tidak,” bentak Nana menepis tangan Burhan yang terus mengusap rambut hitam tebalnya. “Kau berani meninggikan suaramu pada suamimu ini, Dik. Atas ambisi gilamu itu.” Burhan sedikit menaikan nada suaranya. “Aku ingin anak, Bang." Nana menundukan wajahnya netranya menatap lantai. Matanya mulai berembun, tidak pernah mendengar nada suara Burhan meninggi membuat hatinya iba. “Tapi tidak seperti ini caranya, Dik," ujar Burhan pelan tahu istrinya tengah ketakutan karna bentakannya. “Tidak ada jalan lain. Aku tidak bisa hamil, Bang. Aku tak memiliki rahim dan sampai kapan pun tak akan pernah ada janin yang tumbuh dalam diri ini.” Nana mulai terisak. “Tapi Abang tidak butuh anak. Kita bisa terus bersama itu sudah cukup, Dik." kedua tangannya mengusap bahu sang istri. “Aku selalu memimpikan tangis bayi di rumah ini, Bang. Rumah ini terlalu sunyi" Nana berhambur dalam dekapan Burhan tangisnya semakin terdengar. “Kita adopsi anak saja." Burhan mengusap punggung nana. Dia juga bersedih tapi tidak bisa untuk meneteskan air mata. “Aku mau anak itu dari benihmu. Dia akan jadi anak yang paling beruntung karna memiliki dua orang ibu." Nana mendongakan wajahnya menatap tajam mata elang milik sang suami. “Kamu wanita, ini sangat tidak mudah. Abang takut menjadi bumerang untuk rumah tangga kita." Burhan mengalihkan pandangan sungguh dia tidak sanggup terlalu lama beradu pandang dengan wanita yang rela menerimanya yang miskin. Wanita yang mengangkatnya dari kubangan lumpur lalu menjadikannya permata yang dihargai. Burhan tidak lupa siapa dia dulu, walau kini bergelimangan harga.Dia tetaplah Burhan yang hanya buruh panen di kebun milik mendiang orang tua Nana.“Kita sudah membahas hal ini jauh hari. Dan, Abang setuju. Lalu sekarang mengapa berubah pikiran. Lakukan demi cintamu padaku, Bang,” tukas Nana berlalu masuk ke kamar melemparkan tubuh langsingnya keranjang.“Aku laki-laki, Dik. Cepat atau lambat meski tanpa cinta pasti akan terbiasa dengan hadirnya wanita lain diantara kita. Tapi Aku tidak yakin dengan hatimu. Selama ini saja kau selalu cemburu melihat aku dekat dengan wanita lain. Padahal hanya sebatas teman,” batin Burhan menggelengkan kepala.Bagi Burhan permintaan Nana sangat konyol. Saat wanita diluar sana membenci poligami namun, Nana justru menginginkan.Setahun terakhir Nana terus menodongnya untuk menikah lagi. Tetapi selalu ditolaknya dengan berbagai alasan, mengulur waktu dan secara halus menghindar.Rasa cinta yang begitu besar pada sang istri. Sama sekali tidak mempermasalahkan kondisi Nana yang tak memiliki rahim.Sengaja dia mendirikan
“Jika ternyata Aku juga tidak bisa hamil, apa Kakak akan kembali memaksa Bang Burhan menikah untuk ketiga kalinya.” senyum Bella mengembang kala melihat Nana kebingungan menjawab pertanyaannya.“Entahlah, semoga saja kau cepat hamil.” Nana berdiri dari tempat duduknya.Meraih minuman dan camilan yang telah disiapkan.Nana menggelengkan kepalanya mengingat pertanyaan bella. Terbayang olehnya Burhan memiliki banyak istri.“Apa yang Aku pikirkan, satu ini saja susah payah aku wujudkan,” batin Nana.Bella terbahak melihatnya sikap Nana yang ngedumel sendiri.“Lupakan ucapanku barusan, Kak.” Bella menghampiri Nana.Nana sedikit terlonjak saat Bella menepuk pundaknya. Lamunan yang terlalu dalam membuat Nana lupa saat ini berada dimana.“Ayo kita kedepan acara akan dimulai,” ajak Nana.“Kakak jangan terlalu jauh dariku. Aku takut kak,” rengek Bella. Dia merasa jika Nana akan meninggalkannya.“Aku akan duduk dibelakang pria yang sebentar lagi akan menjadi suami kita.” Mendengar itu Bella sedi
Mobil baru saja memasuki halaman parkir tampak para tamu undangan sudah membubarkan diri.Satu persatu meninggalkan tempat itu. Tergesa Burhan masuk kedalam mencari keberadaan istrinya di setiap sudut ruangan.Sosok wanita yang teramat dicintainya itu sudah tidak ada. Burhan menendang apa saja yang ada di hadapannya.Dia sangat frustasi, teringat Bella yang masih bungkam dalam mobil membuat emosinya semakin membuncah.Pintu mobil dibuka kasar, menarik Bella keluar dari mobil.“Katakan padaku apa yang kau lakukan,” pekik Burhan.“Ti- tidakk tahu,” isak Bella.“Jujur,” suara Burhan semakin menggelegar.“A- aku tidak, ta-tahu,” jawab Bella ketakutan.“Ck, tidak tahu tapi kau menangis." Burhan semakin geram pada tingkah Bella.Bella hanya menggeleng tubuh tersungkur tepat dihadapan Burhan.“Hei, kau tak perlu drama. Aku tidak akan peduli padamu.” Burhan berbalik memunggungi Bella.“Maaf, ada apa Pak. Sebaiknya jika ada masalah selesaikan di rumah saja. Kasian istri Bapak,” tegur satpam ya
“Ini semua sudah menjadi ketentuan Tuhan nak. Jangan salahkan dirimu. Bibi sangat tahu kau gadis yang baik,” Bi Siti mengusap punggung Bella penuh kasih.“Terima kasih Bi, sudah percaya padaku. Aku tahu diri, tidak mungkin Aku menyakiti Kak Nana. Walau hanya seujung kuku. Dia telah memberikan Aku semuanya, Bi. Tidak ada yang Aku inginkan selain, selalu bersamanya. Kak Nana pulang lah. Aku takut kak,” racau Bella.“Bersihkan dirimu, jangan berpikir untuk pergi jika kamu menyayangi Nana. Bibi yakin Nana akan kembali." Bi Siti menuntun Bella kekamarnya. Kamar yang terletak di lantai satu. Bersebelahan dengan kamarnya.Rumah besar itu tidak memiliki kamar pembantu. Semua kamar berukuran sama seperti kamar utama dengan fasilitas yang sama.Nana tidak ingin membedakan antara pembantu dan dirinya. Baginya siapapun yang bekerja di rumahnya layak dihargai dan dihormati.Bukankah Dimata Tuhan semua orang sama yang membedakan hanya amal ibadah masing-masing.***Burhan mengitari bagian kamarnya.
Buru-buru Nana meninggalkan tempat itu menuju terminal. Kemarin dia hanya beruntung Burhan tidak menemukan dia.Halte itu terletak tidak begitu jauh dari tempat acara, namun letaknya berlawanan dengan arah rumah.Jika Burhan berpikir melewati jalan yang berlawanan itu sudah dipastikan dia akan menemukan Nana.Dengan menempuh perjalanan selama empat jam sampailah Nana di depan rumah mewah warna abu-abu. Nuansa Arab jelas terasa saat dia memasuki pekarangannya.Beruntung supir travel bersedia mengantar langsung ke alamat yang disebutkan Nana. Suami Zoya mempunyai pengaruh dalam dunia travel. Hampir semua supir mengenal suami Zoya.Pintu terbuka lebar saat setelah Nana menekan bel. Dari dalam rumah muncul wanita muda mengenakan kaftan dan Khimar berwarna navy.“Nana ...”Wanita itu memeluk Nana lalu membawakannya masuk kedalam. Makanan dan minuman sudah tersedia diatas meja. Seperti permintaan Nana dalam pesan semalam, untuk melakukan penyambutan untuknya.Zoya tidak banyak bicara, tampi
Jangankan mencari keluar kompleks dalam kompleks saja harapan dia tersesat sangat besar.Bella menarik nafas dalam-dalam mempersiapkan mental apa yang akan terjadi. Dia menghampiri pria yang duduk di bibir kolam renang dengan jantung yang berdetak tak karuan.“Ba-bang, aku boleh duduk disini,” tanya Bella ragu.“Hmmm ...” respon Burhan tidak menoleh sama sekali.“Aku ingin menjelaskan,” Bella duduk sedikit menjauh menjaga jarak aman takut Burhan marah dan mengamuk seperti kemarin.Bisa saja Burhan akan menceburkannya ke dalam kolam. Jadi dengan jarak seperti ini dia punya kesempatan untuk melarikan diri.“Langsung saja,” hardik Burhan membuatnya Bella terkejut dan bergeser semakin jauh.“Waktu itu sebelum akad nikah aku sudah memiliki firasat jika kak Nana akan pergi. Maka dari itu aku memintanya duduk tidak jauh dari kita. Sebelum akad aku masih sempat menoleh padanya. Dia mengacungkan jempol bahwa dia tidak apa-apa. Jika saja waktu itu kak Nana bicara bahwa tidak sanggup aku rela pe
Kejadian ini begitu cepat, pernikahan dan menghilangnya Nana. “Kamu dimana, Dik,” gumam Burhan menatap pigura pernikahannya delapan tahun lalu.Pigura yang berukuran dua meter itu sengaja Nana pajang di ruang tengah. Katanya agar selalu ingat momen detik-detik menjadi nyonya Burhan wijaya.Dengan susah payah dia mencuri perhatian dan hati Nana. Hal yang sangat mustahil seorang pegawai rendahan sepertinya bisa mempersunting pewaris tunggal perkebunan tempatnya mengais rezeki.Untuk membiayai hidup sang ibu dan adiknya. Ibunya seorang janda, sang ayah meninggal saat dia duduk dibangku SMA. Memaksanya untuk kerja serabutan demi membantu sang ibu.Setelah lulus SMA dia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan dan memilih jadi kuli panen perkebunan. Karna kegigihannya dalam enam bulan dia diangkat menjadi mandor lapangan.Itu awal dia melihat Nana, jatuh hati pada pandangan pertama. Ketika dia harus memberi laporan tiap minggunya ke kantor, yang terletak tidak jauh dari kediaman Nana.
“Jangan gitu Daffa, nanti tantenya jatuh,” tegur Zoya yang melihat putra ketiga menarik paksa tangan Nana.“Biarin Mi, supaya gabung sama kita. Cari keringat dari pada nangis-nangis teriak seperti tadi. Buat ribut aja,” bela Azzam tidak terima sang adik ditegur sang mami.Anak-anak Zoya yang bisa dikatakan nakal tetapi mereka sangat kompak jika ada yang membuat salah satu dari mereka tidak nyaman. Tentunya itu semua tidak lepas dari didikan Zoya dan sang suami yang luar biasa.Nana menyetir kuda, ingin sekali rasanya menghilang dari tempat itu sekarang juga. Tamparan keras baginya mendapat protes dari anak kecil atas tindakan konyol yang tidak bisa dikendalikan.“Yuk, sebentar saja. Dari pada diam saja. Mereka akan terus mengejek mu. Jangan ambil hati ya, Aku katakan padamu. Anak-anakku sangat aktif. Jangan sampai kamu tiba-tiba kabur karena ulah mereka,” ajak Zoya membawa Nana ketengah anak-anak.Nana sangat menikmati permainan hingga tak terasa matahari kian merangkak ke barat men