Share

Alasan Kabur

Lagi dan lagi dia hampir membuatku mati mendadak karena jantung yang terpompa sangat cepat.

"Morning kiss," ucapnya setelah menciumku tanpa ijin dan pergi begitu saja tanpa kata maaf.

Dalam hati aku menggerutu. Tidak bisakah dia bangunkan aku hanya sekedar meminta ijin saja. Astaga, tingkahnya membuatku jengkel saja. Apa dia pikir aku ini adalah miliknya yang bisa diapakan semaunya?

Aku menatap punggung tegap tanpa atasan itu. Gegas aku kembali menutup mata saat ia menoleh padaku. 

"Maafkan aku," lirihnya lalu berbalik lagi dan segera berganti pakaian.

Setelahnya ganti baju, ia baru membangunkan aku dan mengajak untuk melaksanakan shalat subuh. Aku pun berpura-pura mengucek mata. Agar terlihat seperti orang baru bangun tidur.

"Nggak usah mandi, kan semalam kita nggak ngapa-ngapain," ujarnya kala aku menyambar handuk bekas miliknya. Tentu aku tidak tahu di mana handuk yang lain, karena aku juga baru pertama kali ada di sini.

"Siapa tahu kamu cari kesempatan saat aku tidur," tandasku dan berlalu ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri.

Sekitar sepuluh menit aku berkutat di kamar mandi. Saat keluar, suamiku sudah bersiap. Tinggal menunggu aku saja.

"Kamu nggak ganti baju? atau kamu nggak bawa baju?" tanyanya memperhatikan baju yang aku kenakan kemarin masih juga aku pakai hari ini.

"Sebenarnya aku mau ganti, tapi ada kamu di sini. jadi, aku memilih untuk tetap memakainya lagi," sahutku masih sedikit ketus.

"Kamu ini istriku, jadi kenapa harus malu. Bukankah semua yang adalah dalam tubuhmu itu adalah hakku?" Kini ia mulai mengungkit jika aku ini adalah miliknya.

Hah, menyebalkan sekali. Akhirnya aku hanya diam tanpa menjawab. Memilih beringsut untuk mengambil baju dan kembali ke kamar mandi untuk berganti pakaian.

Namun, tanganku langsung disentuhnya. Aku mendengus, menarik napas berat. Terpaksa setelah ini aku harus kembali berwudhu, begitu juga dengan Argantara.

"Bergantilah di sini," pintanya dengan wajah mengiba.

Aku yang pada dasarnya memang masih marah. Walaupun wajahnya mengiba, aku tetap saja tak peduli. Menolak secara halus, mungkin bisa menjadi solusi agar ia mau melepaskan tangan dan membiarkan aku kembali masuk untuk berganti pakaian.

"Aku harus kembali berwudhu. Jadi, jika aku ganti di sini, sama saja aku akan kembali ke kamar mandi," sahutku dan dia pun menyadarinya.

Argantara terdiam dan membiarkan aku pergi untuk berganti baju. 

***

"Salma!" Suara teriakan muncul dari halaman rumah. 

Argantara yang tadinya sedang sibuk dengan layar laptopnya. Harus bangkit dan melihat siapa yang pagi-pagi sudah membuat keributan.

"Kamu di sini saja, biar aku yang turun." Tangannya mencekal agar aku tetap berada di kamar.

"Tapi ...."

"Apa susahnya menurut dengan suami. Meskipun kamu masih marah, setidaknya hormati aku saat ini saja," pintanya yang berhasil membuat hatiku tersentuh. Ternyata lelaki yang menjadikan aku madu itu sangatlah baik. Tetapi kenapa aku masih belum bisa menerimanya? Apakah keputusanku terlihat bodoh?

Dalam hitungan menit, Argantara sudah berada di teras. Aku hanya memperhatikan mereka dari balkon. Ternyata yang datang adalah ibu tiriku. Mau apa dia ke sini? Sepertinya dia sendiri. Jiwa kepoku meronta-ronta saat ini juga.

Aku terus memperhatikan gerak-gerik ibu tiriku dan Argantara. Namun, yang membuatku bingung adalah, ketika Argantara mengajak ibu bicara, dia malah seperti orang kebingungan dan terus mencari anak dari juragan Amran.

"Aku ini anaknya, Bu," jawab Argantara tegas.

"Jangan ngaku-ngaku kamu, anaknya itu jelek sama persis dengan papanya," jawab ibu menolak jika yang di depannya adalah anak dari papa mertuaku.

Dan apa? Ibu bilang juragan Amran itu jelek. Apakah dia buta? Bahkan wajahnya saja hampir mirip dengan Argantara, bak pinang dibelah dua.

Semakin ke sini pemahamanku malah semakin kacau saja. Dari ibu yang tak tahu siapa sebenarnya keluarga Amran.

Mobil yang kemarin aku naiki memasuki halaman rumah. Orang yang ada di dalamnya segera turun setelah mobil berhenti. Di sana menampakkan wajah mama dan papa mertua. Mungkin mereka baru saja pulang dari pasar.

"Nah itu dia sudah pulang, hei kamu!" Ibu menunjuk ke arah pria yang kini turun dari mobil pickup bersama dengan Aldo.

Seketika wajah pria itu berubah ketakutan. Ia kini berlindung di belakang Aldo saat ibu mendekat.

"Stop, stop!" Papa mertua berteriak.

Namun, ibu tidak mengindahkan ucapan itu. Ia terus saja mendekat dan kini sudah berhasil menangkap pria itu. 

Sebenarnya ada hubungan apa ibu dengan pria itu? Apa jangan-jangan dia itu yang namanya Arka? Dan dia adalah pria yang ada di pelaminan bersama Mbak Sinta.

"Berhenti!" teriak suamiku berusaha menarik tangan ibu yang sudah berhasil mencengkram tangan pria itu.

"Dia Arka dan aku adalah Argantara. Jadi stop jangan kamu menyakiti dia!" Suamiku menghardik ibu mertuanya.

Wajah kaget ibu terlihat begitu jelas. Dia melongo saking tidak percayanya dengan apa baru saja dia dengar. Begitu juga denganku. Pantas saja Mbak Sinta kabur. Lah wong suaminya saja hitam dekil begitu. Bukannya mengejek, tetapi pasti itu alasan Mbak sinta kabur.

Namun, seketika ibu meradang. Wajahnya menunjukkan amarah. Mungkin dia kecewa karena telah dibohongi oleh keluarga Amran.

"Apa maksudnya menggantikan pengantin dengan pria lain! Ini tidak adil!"

"Karena yang ingin dinikahi Argantara bukan Sinta, tetapi Salma," jawab papa mertua tegas dan sesekali melirik padaku. Mungkin dia ingin membuktikan jika ucapannya dan Argantara memang demikian.

"Apa!" Ibu terperangah. Dirinya tak percaya dengan penuturan juragan Amran.

"Kalau begitu kenapa kalian meminta Sinta untuk menerima tawaran kalian? Ha! Kalian semua kejam!" Ibu menunjuk keluarga Amran satu persatu.

"Saya yang salah, Bu Hesti. Saya yang salah tangkap," jawab juragan Amran.

"Terus kalau jadi begini bagaimana? Anak saya kabur. Pokoknya saya tidak mau tahu, kalian harus temukan Sinta segera!"

"Baik, Bu Hesti, saya akan bertanggung jawab. Kami akan mencari Sinta sampai ketemu," jawab juragan Amran.

"Saya sendiri yang akan mencari Sinta," sambung Argantara.

"Bantu aku cari Sinta, ya?" pintanya padaku.

"Tapi ...."

Mata ibu melotot padaku. Selalu saja aku yang jadi korban. Sudah dijadikan madu, sekarang harus mencari Mbak Sinta yang kabur. Kapan aku bahagianya? kayaknya menderita Mulu deh hidup bersama dengan ibu tiri kejam ini.

"Iya," jawabku pasrah.

Namun, tiba-tiba datang seseorang dengan tergesa-gesa. Wajahnya terlihat panik dan napasnya tersengal-sengal karena berlari.

Sesekali ia mengusap keringat yang menetes di wajah. Kini semua mata tertuju padanya. Kedatangannya mengundang tanya kami semua. Ada apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status