Ketika aku terus menatap ibu dengan penuh tanya. Tiba-tiba ibu majikan menepuk bahuku pelan.
"Astaghfirullah, yang sabar ya, Nak. Padahal ibu ke sini sebenarnya ... ah sudahlah, mungkin takdir Tuhan berkata lain," ucapnya. Kenapa mereka kalau berbicara setengah-setengah sih, aku kan jadi makin pusing. "Sebe-nar ...." Belum sempat aku melanjutkan pertanyaan, ibu majikan malah berpamitan. "Kalau begitu saya pamit ya, Sal. Ini ada sedikit dari ibu, semoga bermanfaat ya." Ibu majikanku memberikan amplop. Kemudian setelah mereka pergi, amplop itu langsung diminta oleh ibu. "Kamu nggak usah pegang uang. Biar ibu saja!" Akhirnya aku memberikan amplop itu pada ibu, tetapi dengan satu syarat. "Apa yang ibu maksud dengan perebut laki orang? Bukankah ibu yang pelakor!" Aku menyodorkan amplop tetapi juga digenggam erat. Tentu ibu tidak akan menarik paksa karena takut uangnya sobek. "Dulu ayah kamu adalah pacar ibu, tetapi gara-gara perjodohan. Kami harus berpisah dan ayah menikah dengan ibumu," jawabnya. "Sekarang lepaskan duitnya," pintanya dan aku pun melepaskan perlahan hingga ibu langsung menariknya cepat. Dan kini amplop itu sudah di tangan ibu. Jadi itu alasan ibu merebut ayah dari almarhumah ibu. Karena dulu mereka saling mencintai dan terpisah karena perjodohan. Kasihan sekali ibu, padahal dia tulus mencintai ayah. "Sudah mau berangkat, Sinta?" tanya ibu seraya menghitung uang di genggamannya. Dari arah kamar Mbak Sinta, terlihat dia sudah menenteng tas miliknya. "Iya, Bu," jawabnya lalu menutup pintu. Kemudian dia berjalan ke arah ibu untuk berpamitan. Tangannya langsung menggandeng tangan Argantara dengan cepat. Tak peduli meski yang digandeng terlihat tidak nyaman. "Pamit ya, Bu," ujarnya ketika tiba di depan ibu. "Iya, jaga kesehatan dan jangan kabur-kaburan lagi ya," pesan ibu pada Mbak Sinta. "Iya, Bu, tidak akan kabur lagi," jawabnya nyengir. Aku yang kesal dengan sikap Mbak Sinta pun langsung beringsut. Memilih untuk masuk ke kamar. Namun, seketika niat itu urung kala teringat dengan sikap ibu yang suka semena-mena terhadapku. Akhirnya aku memilih ikut mereka berdua. Kebetulan juga Argantara kembali masuk dan menarik tanganku paksa setelah Mbak Sinta masuk mobil. Sore itu kami berangkat ke rumah juragan Amran, mertuaku. Aku duduk di jok belakang, sedangkan Mbak Sinta duduk di samping Argantara. Selama perjalanan, tak ada perbincangan antara aku dan Argantara. Hanya sesekali Argantara menjawab ucapan Mbak Sinta. Sesampainya di rumah juragan Amran pun Argantara terus mendiamkan aku. Apakah dia marah karena tadi aku membentaknya di mobil dan memintanya diam? Sehingga sekarang dia benar-benar mendiamkan aku seperti sekarang. "M-Mas," lirihku tapi mampu terdengar oleh Mbak Sinta dan Argantara, tetapi pria itu lebih memilih diam dan acuh. "Malam ini jatah aku bersamanya," balas Mbak Sinta. "Iya, malam ini aku tidur bersama Sinta. Bukankah dia juga istriku," sambung Argantara pelan tapi menyakitkan, hatiku terasa nyeri seketika. Apalagi membayangkan malam ini mereka akan satu kamar sama seperti aku dan Argantara malam kemarin. Bayang-bayang malam pertama mereka menari-nari dalam otakku. "Aku harus adil pada kedua istriku," imbuhnya dengan nada menekan serta tatapan tajam menusuk. Aku sendiri yang memintanya mengajak Mbak Sinta ke rumah ini. Tetapi kenapa harus sesakit ini? Apa aku mulai mencintainya? "Ayo kita ke kamar," ajak Argantara pada Mbak Sinta, meninggalkan aku sendirian di ruang tamu. Setelah kepergian mereka. Aku berjalan lunglai menuju kamar di mana malam kemarin aku tidur bersama Argantara dan paginya aku mendapatkan morning kiss darinya. Di dalam kamar ini semua sudah tertata rapi, bahkan ada selimut yang dibentuk seperti angsa. Apakah Argantara menyiapkan ini untukku? Ya Tuhan, kenapa aku jadi merasa bersalah seperti ini. Tiba-tiba saja aku kepikiran dengan Mbak Sinta yang saat ini tidur satu kamar dengan suamiku. Apakah mereka melakukan malam pertama? Tidak. Aku tidak rela. Hatiku benar-benar gelisah, bahkan mataku tak bisa terpejam hingga larut malam. Aku memilih bangun, lalu keluar kamar menghirup udara malam dari balkon. Sesekali aku menghembuskan napas kasar untuk menyalurkan rasa kecewa terhadap diriku sendiri. "Ngapain malam-malam di luar?" Aku langsung menunduk ke bawah. Ada Aldo di sana. Pria itu melambaikan tangan dan tersenyum. "Kamu sendiri ngapain?" tanyaku sedikit berteriak. "Jaga malam," jawabnya. Aku yang merasa suntuk pun akhirnya memilih untuk menemui Aldo. Mungkin ketika aku bersamanya, aku bisa melupakan tentang malam pertama Mbak Sinta dan Argantara. Akan tetapi, ketika aku bersiap membuka pintu. Ada mama mertua yang muncul tiba-tiba dari arah dapur membawa secangkir kopi. Mungkin dia membuatkan kopi untuk suaminya. "Mau kemana, Sal?" tanya mama mertuaku. Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Bingung mau menjawab apa. Takut pula jika wanita itu marah. "Em ... ini mau keluar sebentar, Ma. Boleh kan?" tanyaku ragu. "Boleh, tapi jangan lama-lama ya. Angin malam nggak baik buat tubuh," timpalnya mengulas senyum dan berlalu. "Iya, Ma," jawabku lalu memegang handle pintu dan membukanya. Ketika aku baru saja membuka pintu. Aldo sudah ada di hadapanku. Seketika aku berjingkat kaget mendapatinya nyengir, menampakkan giginya, semacam hantu. "Heh. Ngapain ke sini?" tanyanya heran. "Nggak bisa tidur," sahutku lalu duduk di kursi teras. "Nggak bisa tidur kok malah kelayapan. Nanti dicari sama mas Arga loh," tandasnya ikut duduk. "Dia lagi enak-enak sama Mbak Sinta," balasku dengan nada yang amat kesal. Setiap membayangkan hal itu, hatiku rasanya dongkol. "Apa kamu bilang?" tanyanya diiringi dengan tawa mengejek. "Argantara sedang enak-enak dengan istri pertamanya," ketusku. Dan tiba-tiba bayangan itu kembali hadir. 'Ah pasti mereka sedang berpelukan sekarang,' batinku dan otak mulai membayangkan Arga memeluk Mbak Sinta. "Tidak!" Aku menjerit dalam hati. Segera aku menyadarkan diri. Menghirup napas dalam dan mengeluarkan perlahan dan Aldo malah menertawakan aku. Namun, tiba-tiba dia malah bertingkah aneh seperti melihat sesuatu. "Loh, loh, itu ...." "Loh, loh, apa? Bicara yang jelas," ketusku tapi juga sedikit merinding, sedangkan yang ditanya tak peduli. Niat hati ingin merefresh otak malah dibikin tambah penat. Benar-benar menyebalkan. Mending tadi aku di rumah ayah saja. Nggak masalah walaupun ibu jahat, setidaknya aku tidak kepikiran dengan malam pertama suamiku dengan wanita lain. "Itu mas Arga bukan?" Aldo menunjuk pada pria yang sedang duduk di gazebo dekat kolam. Aku langsung memperhatikan dengan seksama. Benarkah itu Argantara? Jika benar itu dia, ngapain malah di situ? Terus bagaimana dengan Mbak Sinta? Mata ini terus memperhatikan dengan seksama sosok itu. Dari gaya rambutnya yang cepak, sepertinya benar jika itu Argantara. Lalu buat apa dia ada di sana? Aneh.Apa jangan-jangan dia hanya menghilangkan keringat setelah bermain dengan Mbak Sinta?"Mas!" teriak Aldo memanggil Argantara dan pria itu menoleh."Ayo ke sana," ajak Aldo tetapi aku menolak.Untuk apa aku ke sana. Yang ada aku akan semakin sakit hati. Bisa saja dia kelelahan terus memilih tiduran di sana untuk menghilangkan penat dan keringat."Nggak ah, aku masuk aja," tolakku ketus, lalu bangkit dan bersiap masuk rumah.Namun, ketika kaki mulai melangkah."Mau kemana?" Argantara sudah berjalan ke arah teras. "Masuk," jawabku sinis."Tunggu!""Apa lagi?" tanyaku ketus."Jangan lupa pakai selimut kalau tidur," ujarnya dan aku mengangguk. Dalam hati bertanya, kenapa dia bisa paham kalau aku tidur jarang pakai selimut.Kemudian dia berbalik badan lagi dan akan kembali ke gazebo. Ada rasa ingin tahu mengapa dia tidak masuk ke kamar. Tetapi aku tak berani berucap.Ketika aku membuka pintu. Mbak Sinta sudah ada di depan pintu dengan rambut acak-acakan dan baju tak beraturan. Apalagi kanc
"Kamu si manis?" Argantara mengangguk dan kembali mengeratkan pelukan."Jadi kamu menikahiku karena ....""Karena janjiku pada si imut. Aku tidak butuh pacaran, tetapi langsung menikah. Tak perlu mawar, tetapi mahar. Tak perlu menembak asal terucap akad."Astaga, kata-kata itu adalah pesan yang dia kirim sekitar dua bulan lalu. Aku ingat betul malam itu. Ketika aku baru saja memposting cerita tentang wanita yang dinikahi tanpa pacaran dan hanya kenal di sosial media. Dia lah yang komen paling pertama, di situ komunikasi kami berlanjut hingga ke aplikasi ungu hingga sekarang.Ya Tuhan, ternyata doaku kau ijabah. Pria yang aku agungkan dalam doa akhirnya benar-benar menjadi suamiku. Walaupun pernikahan kami hanya siri, tetapi tetap saja doaku dikabulkan oleh-Mu. Mungkin juga Tuhan ingin menguji kesabaranku. "Bukankah sudah aku katakan jika aku mencintaimu dan bukan Sinta. Tapi kau malah memintaku mengajaknya ke sini dan setelahnya kau malah marah dengan membuat cerita seperti itu. Men
Suara pintu diketuk membuat Argantara berdecak kesal. Ia segera bangkit dan membuka pintu."Siapa sih?" gerutunya sambil berjalan mendekati pintu."Ada apa?" tanyanya ketus setelah membuka pintu.Aku langsung berpura-pura tidur saat Mbak Sinta menengok ke arahku. Pasti dia mencari Argantara karena nggak ada di kamarnya. Atau mungkin dia sudah tahu kalau Argantara tidur di kamar ini."Kamu jahat, huhuhu," ujarnya diiringi tangis tersedu-sedu.Mulai lagi melakoni drama di pagi hari. Padahal juga baru bangun, eh sudah nangis bombai. Menyebalkan!"Hei, ngapain masuk? Keluar!" teriak Argantara saat Mbak Sinta berjalan ke arahku."Gara-gara kamu malam pertamaku gagal. Awas saja kamu Salma, jangan pura-pura tidur kamu!" Mbak Sinta menyeret selimut yang aku gunakan untuk menutupi tubuh."Lepasin!" Tangannya berusaha berontak ketika Argantara menyeretnya keluar dari kamar ini."Ada apa sih ribut-ribut?" tanya mama mertua.Aku langsung menyambar kerudung dan segera ikut keluar kamar."Ini dia,
Pagi setelah selesai sarapan. Aku diajak Argantara pergi entah kemana."Kita mau kemana?""Yang penting keluar dari rumah. Aku sedang malas berada di rumah," jawabnya lalu menuntunku masuk mobil."Malas karena ada Mbak Sinta?" tanyaku setelah kami berada di dalam mobil."Itu kamu tahu," jawabnya segera melajukan mobil meninggalkan halaman rumah.Selama beberapa menit di dalam mobil. Kami hanya terdiam. Kami sibuk dengan pemikiran masing-masing.Sampai pada akhirnya Arga menepikan mobilnya di sebuah mall. Aku tak tahu mengapa Arga mengajakku ke tempat belanjaan seperti ini."Mau ngapain?" tanyaku saat Arga membukakan pintu untukku."Kamu mau belanja nggak?" tawarnya dan aku menggeleng."Yakin nggak mau?" tanyanya lagi.Aku mengangguk. Tetapi Arga malah menarik paksa agar mau diajak masuk ke mall."Aku ingin kasih kamu hadiah," bisiknya setelah beberapa saat meninggalkan aku sendiri menikmati es krim."Hadiah apa?""Surprise dong," jawabnya lalu mengajakku keliling mall setelah es krim
"Eh, Salma, sudah selesai ambil barangnya?" tanyanya mengulas senyum untuk menyembunyikan kegugupannya."Sudah, Mbak," jawabku."Oh, kalau gitu Mbak pulang dulu," pamitnya kemudian pergi meninggalkan minimarket."Eh Mbak, Mbak, belanjaannya tertinggal," ucap kasir karena Mbak Sinta meninggalkan belanjaannya.Mungkin karena terlalu gugup jadi lupa. Sebenarnya apa yang dia masukkan ke dalam tas tadi?Aku terus menatap kepergiannya. Bahkan saat melewati mobil Arga pun Mbak Sinta sama sekali tidak menoleh dan langkahnya semakin dipercepat hingga kini ia sudah naik ke sebuah mobil taksi. Namun, Mbak Sinta duduk di jok depan, bukan di belakang. Menurutku ini terasa aneh. "Bukankah itu tadi Sinta?" tanya Arga yang kini sudah berdiri di hadapanku yang masih menatap kepergian mobil yang dinaiki oleh Mbak Sinta."Iya, itu Mbak Sinta," jawabku dengan pandangan masih belum beralih dari arah jalan."Beli apa dia? Kok tadi balik lagi?" tanyanya yang mungkin merasa penasaran dengan apa yang dilakuk
Kaki ini melangkah ke dalam kamar Mbak Sinta. Segera aku membuka tas dan melihat isi di dalam kantong kresek hitam. Seketika aku terkejut setelah membuka dan melihat isinya."Iya, Bu, nanti bakalan aku transfer." Suara Mbak Sinta terdengar. Derap langkah kakinya menaiki tangga terdengar hingga ke kamar karena keadaan rumah yang sepi. Gegas aku mengembalikan kantong itu ke dalam tas dan segera keluar kamar sebelum Mbak Sinta marah."Untuk apa dia beli barang itu?" gumamku seraya menutup pintu kamarku sendiri.Langkah kaki Mbak Sinta kian dekat, begitu pun dengan suaranya. Dan dalam hitungan detik pintu kamarku juga terbuka."Sal, ibu butuh uang. Kamu punya atau tidak?" tanyanya ramah. Jika soal uang pasti dia sangat lemah lembut dan baik. Dasar muka dua."Tidak, Mbak. Kan aku sudah nggak kerja. Jadi aku nggak ada uang," sahutku cepat.Bukankah dia punya uang, kenapa malah meminta padaku. Padahal yang minta juga ibunya sendiri, kenapa malah minta sama aku coba. Toh Arga juga memberikan
"Jika Salma di sini tidak bahagia! Biar saya yang bahagiakan dia!" ucapnya lantang terdengar hingga menggema di ruangan ini.Seiring dengan suara menggelegar dan mengagetkan hampir semua orang. Arga pun bangkit. Tangannya mengepal dan satu pukulan melayang tepat di pipi kanan Najas, adik dari majikanku.Merasa tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh Arga. Najas pun membalas pukulan Arga dan pukulan itu tepat mengenai sudut bibirnya.Arga menjilat sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Ada rasa tak tega, tetapi Arga juga kembali melayangkan pukulan pada Najas. Membalas pukulan Najas berkali-kali.Melihat saling pukul memukul yang tiada henti. Aku berusaha untuk melerai mereka, tetapi gagal, karena mama melarangku. Dia takut jika malah aku yang menjadi terluka."Sudah cukup!" bentakku karena tak tahan dengan kelakuan dua pria di hadapanku saat ini. Akan tetapi, ucapanku hanya bagai angin lalu untuk mereka. Sama sekali mereka tidak menggubris bentakanku barusan dan terus saj
Hingga sore hari, Arga masih mendiamkan aku. Sengaja aku menyapanya saat lewat di depan kamar."Mas," panggilku tetapi dia hanya menoleh saja.Menyebalkan sekali. Panggilanku hanya dianggap angin lalu olehnya. "Emang enak dianggurin."Astaga si lambe turah ikut nimbrung. Mana dia sudah dandan cantik lagi. Apa jangan-jangan dia mau pergi bareng Arga. Ya Tuhan, kenapa aku jadi merasa iri begini."Diem kamu, Mbak, berisik!" sentakku padanya.Melihatku membentak Mbak Sinta, Arga tersenyum. Aku jadi meleyot melihat senyumannya itu."Habis ini aku akan diem, soalnya mau jalan bareng suami," balas Mbak Sinta menggandeng tangan Arga."Apa?" Aku kaget mendengarnya."Aku mau anterin Arga pergi ke luar kota selama satu minggu," sahut Mbak Sinta."Kok nggak ajak aku," jawabku melas."Kan hari ini sampai seminggu ke depan jatahnya Sinta. Jadi aku nggak ajak kamu, kalau minggu ini jatah kamu ya aku akan ajak kamu," balas Arga."Tuh dengerin kata Arga. Minggu ini jatahnya sama aku, baru minggu depa