Hingga sore hari, Arga masih mendiamkan aku. Sengaja aku menyapanya saat lewat di depan kamar."Mas," panggilku tetapi dia hanya menoleh saja.Menyebalkan sekali. Panggilanku hanya dianggap angin lalu olehnya. "Emang enak dianggurin."Astaga si lambe turah ikut nimbrung. Mana dia sudah dandan cantik lagi. Apa jangan-jangan dia mau pergi bareng Arga. Ya Tuhan, kenapa aku jadi merasa iri begini."Diem kamu, Mbak, berisik!" sentakku padanya.Melihatku membentak Mbak Sinta, Arga tersenyum. Aku jadi meleyot melihat senyumannya itu."Habis ini aku akan diem, soalnya mau jalan bareng suami," balas Mbak Sinta menggandeng tangan Arga."Apa?" Aku kaget mendengarnya."Aku mau anterin Arga pergi ke luar kota selama satu minggu," sahut Mbak Sinta."Kok nggak ajak aku," jawabku melas."Kan hari ini sampai seminggu ke depan jatahnya Sinta. Jadi aku nggak ajak kamu, kalau minggu ini jatah kamu ya aku akan ajak kamu," balas Arga."Tuh dengerin kata Arga. Minggu ini jatahnya sama aku, baru minggu depa
Ada dua orang sudah menunggu Mbak Sinta di lobi. Gegas aku melangkah mendekat agar lebih jelas. Namun, tetap saja aku tidak bisa mengejar karena mereka langsung naik taksi."Sal, ibu Sofia nyariin," ucap Aldo menepuk punggungku pelan."Eh apa?" Aku seketika kaget karena Aldo yang datang secara tiba-tiba."Ibu Sofia nyariin, emangnya liatin apa sih sampai kaget gitu?" tanyanya dan tentu aku tidak menjawab. Cukup aku saja yang tahu, baru setelah aku mendapat jawaban. Di situ aku akan memberitahu semua orang."Nggak liatin apa-apa. Itu tadi cuma lihat ada orang kecelakaan lukanya parah," jawabku lalu berbalik badan untuk menemui mama mertua."Masih hidup apa udah mati?" tanya Aldi ngawur."Jaga mulutmu, Do. Jangan asal bicara," balasku kesal.Seharusnya yang dia tanya itu bagaimana keadaannya, bukan malah tanya hidup atau mati. Dasar nggak berakhlak."Aku kan tanya, orangnya hidup apa mati," sahut Aldo merasa tidak bersalah sama sekali."Hidup, Do. Oh ya, kamu tungguin antri di apotek ya
Segera aku pergi saat Mbak Sinta menyadari keberadaanku. Kemudian aku berlalu ke dapur untuk membuatkan bubur untuk mama mertua. Hati ini terus saja gelisah selama memasak di dapur, bahkan pelayan yang biasa masak saja sampai menawarkan untuk membantu, tetapi aku menolak."Nggak usah Mbak, aku saja," balasku yang tak tahu kenapa air mata tak mau berhenti menetes setelah mendengar ucapan Mbak Sinta tadi.Kenapa aku selalu cemburu terhadap hubungan mereka. Seharusnya aku bisa mengontrol diri. Bukan malah mellow begini.Gegas aku mengusap air mata. Kemudian pergi ke kamar mama mertua untuk memberinya makan setelah bubur siap disajikan.Setibanya di dalam kamar mama mertua. Ternyata dia sedang melakukan video call. Mama tersenyum melihat kehadiranku, bahkan dia memintaku untuk segera duduk di sampingnya. Entah ada apa?"Sini, duduk di samping mama," pintanya dan aku pun patuh."Sayang." Suara dari sambungan telepon membuat hatiku semakin bergemuruh.Apa maksudnya coba? Setelah dia menelpo
Hati ini berkecamuk saat melihat Mbak Sinta terkapar di bawah tangga. Apa sebenarnya dia sakit dan tidak mau memberitahu kami semua?Kini Aldo sedang membantu mengangkat tubuh Mbak Sinta. Kemudian menidurkan di atas sofa depan televisi. Wajah Mbak Sinta terlihat pucat sekali.Kamu sakit apa, Mbak? Kenapa tidak bilang sama aku dan ibu. Kenapa harus disimpan sendiri?"Tolong ambilkan minyak kayu putih, Win!" perintah Aldo pada pelayan rumah yang usianya seusiaku.Wanita itu tidak menjawab dan langsung pergi untuk mengambil minyak. Dia kembali dengan cepat. Aldo langsung memberi pertolongan pertama pada Mbak Sinta."Tadi dia kenapa, Do?" tanyaku setelah Aldo mengoleskan minyak di bawah hidung Mbak Sinta."Nggak tahu, Sal. Saat aku masuk Mbak Sinta sudah pingsan," jelasnya."Kita bawa dia ke rumah sakit aja, Do," perintahku dan Aldo mengangguk.Namun, saat Aldo akan mengangkat kembali tubuh Mbah Sinta. Di situ Mbak Sinta mulai mengerjapkan mata. Dia mulai sadar."Eh mau ngapain kamu?" tan
"Ngapain di sini?" Mbak Sinta menyadari keberadaanku."A-aku hanya lewat saja," balasku terbata."Nguping ya!" Tanganku dicengkeram kuat oleh Mbak Sinta."Nggak, Mbak. Jadi tolong lepasin!" Aku berusaha melepaskan tangan."Kamu dengar apa tadi? Ha!""Aku hanya dengar Mbak Sinta kangen. Pasti kangen sama Arga 'kan?" "Iya betul. Lain kali jangan nguping. Nanti kupingmu bintitan," ucap Mbak Sinta seraya melepaskan cengkraman tangannya.Kemudian Mbak Sinta masuk ke dalam kamar. Aku terus memperhatikan Mbak Sinta berjalan hingga masuk kamar. Dengan cepat Mbak Sinta menutup pintu kala tahu aku masih terus memandangnya.Ya Allah, apa tadi aku tidak salah dengar? Suara itu sama persis. Tetapi mana mungkin jika Mbak Sinta ....Pikiranku jadi kacau. Membayangkan yang tidak-tidak. Sejak kapan mereka berhubungan? Lalu benda di dalam tas Mbak Sinta itu ... apa dia hamil? Dan anaknya yang dia kandung ....Ah tidak, tidak. Pasti aku tadi salah dengar. Bisa saja itu bukan dia.Terus alasan Mbak Sin
Waktu berjalan begitu cepat, salat isya' telah aku lakukan bersama dengan Arga beberapa menit yang lalu. Kini debaran jantung mulai tak beraturan. "Arga, makan dulu, Nak," panggil mama seperti biasanya.Jika dia sehat, pasti siapa pun dipanggil untuk makan. Tak terkecuali aku dan Mbak Sinta. Setiap makan selalu dipanggil."Ayo turun," ajar Arga menarik tanganku."Grogi ya?" godanya sesaat setelah memegang tanganku yang basah karena keringat dingin."Ng-nggak, kok cuma rasanya agak dingin aja," jawabku."Ya udah sini aku peluk." Arga merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. Deru napasnya membuat debaran jantung semakin tidak beraturan."Gimana? Sudah nggak dingin, 'kan?" Arga semakin mengeratkan pelukan.Dekat seperti ini bukannya tenang malah semakin gelisah. Seandainya saja aku masih haid, pasti aku akan aman malam ini. Namun, jika aku aman malam ini, malam berikutnya sama saja tidak aman."Makan yuk," ajak Arga seraya melepaskan pelukan.Tangannya menggandeng tanganku keluar kamar
Tubuh Arga sempoyongan. Aku pikir dia mabuk, tetapi saat aku memegang tubuhnya untuk membantu menidurkan. Aku tidak mencium bau alkohol sama sekali."Bantu aku, Sal," lirihnya seperti menahan sakit."Bantu, apa?" tanyaku khawatir dengan keadaannya.Bukannya menjawab, Arga malah menarik tubuhku."Apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku mulai panik saat tangan Arga membuka kancing bajunya sendiri."Panas, Sal. Tubuhku rasanya panas dan aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Aku merasa ada yang berbeda muncul begitu saja. Apalagi saat melihatmu seperti sekarang. Aku menginginkan lebih, Sal. Maukah kamu membantuku? Aku tidak kuat lagi," ucap Arga tak peduli jika pintu masih terbuka."Mas!" Mbak Sinta muncul di ambang pintu.Dengan cepat Arga mengusir Mbak Sinta, lalu menutup pintu dengan dibanting. Arga semakin kesal saat pintu gak bisa dikunci.Aku mendekat dan membantu menutup pintu. Memang tidak bisa dikunci karena sudah rusak setelah di dobrak tadi.Lagi. Arga menarik dan mendoro
Perlahan aku menuruni tangga. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga Mama mertua marah-marah seperti itu."Sejak kapan Papa selingkuh, ha? Mama benar-benar tidak habis pikir dengan Papa. Kenapa Papa tega mengkhianati Mama! Kenapa, Pa!"Papa mertua selingkuh? Ya Tuhan, padahal rumah tangga mereka selalu terlihat harmonis, tetapi tidak disangka, Papa mertua dengan tega mengkhianati Mama."Papa khilaf, Ma. Papa janji tidak akan mengulangi lagi.""Selingkuh itu penyakit, Pa! Penyakit! Dan Mama tidak yakin jika Papa bisa taubat. Sekarang apa mau Papa?" tanya Mama mertua jengah."Papa tidak mau apa-apa, Ma. Papa ingin kita terus bersama," balas Papa mertua masih terus mengiba."Tapi Mama tidak mau, Pa. Mama kecewa dan Mama tidak ingin hidup bersama dengan pengkhianat sepertimu!"Arga sendiri hanya diam tetapi menatap tajam sang Papa dengan penuh kekecewaan. Selama bertahun-tahun dia sangat bangga memiliki Papa yang baik dan tersegalanya, ternyata itu semua hanya dusta semata."Tida