"Ngapain di sini?" Mbak Sinta menyadari keberadaanku."A-aku hanya lewat saja," balasku terbata."Nguping ya!" Tanganku dicengkeram kuat oleh Mbak Sinta."Nggak, Mbak. Jadi tolong lepasin!" Aku berusaha melepaskan tangan."Kamu dengar apa tadi? Ha!""Aku hanya dengar Mbak Sinta kangen. Pasti kangen sama Arga 'kan?" "Iya betul. Lain kali jangan nguping. Nanti kupingmu bintitan," ucap Mbak Sinta seraya melepaskan cengkraman tangannya.Kemudian Mbak Sinta masuk ke dalam kamar. Aku terus memperhatikan Mbak Sinta berjalan hingga masuk kamar. Dengan cepat Mbak Sinta menutup pintu kala tahu aku masih terus memandangnya.Ya Allah, apa tadi aku tidak salah dengar? Suara itu sama persis. Tetapi mana mungkin jika Mbak Sinta ....Pikiranku jadi kacau. Membayangkan yang tidak-tidak. Sejak kapan mereka berhubungan? Lalu benda di dalam tas Mbak Sinta itu ... apa dia hamil? Dan anaknya yang dia kandung ....Ah tidak, tidak. Pasti aku tadi salah dengar. Bisa saja itu bukan dia.Terus alasan Mbak Sin
Waktu berjalan begitu cepat, salat isya' telah aku lakukan bersama dengan Arga beberapa menit yang lalu. Kini debaran jantung mulai tak beraturan. "Arga, makan dulu, Nak," panggil mama seperti biasanya.Jika dia sehat, pasti siapa pun dipanggil untuk makan. Tak terkecuali aku dan Mbak Sinta. Setiap makan selalu dipanggil."Ayo turun," ajar Arga menarik tanganku."Grogi ya?" godanya sesaat setelah memegang tanganku yang basah karena keringat dingin."Ng-nggak, kok cuma rasanya agak dingin aja," jawabku."Ya udah sini aku peluk." Arga merengkuh tubuh ini ke dalam pelukannya. Deru napasnya membuat debaran jantung semakin tidak beraturan."Gimana? Sudah nggak dingin, 'kan?" Arga semakin mengeratkan pelukan.Dekat seperti ini bukannya tenang malah semakin gelisah. Seandainya saja aku masih haid, pasti aku akan aman malam ini. Namun, jika aku aman malam ini, malam berikutnya sama saja tidak aman."Makan yuk," ajak Arga seraya melepaskan pelukan.Tangannya menggandeng tanganku keluar kamar
Tubuh Arga sempoyongan. Aku pikir dia mabuk, tetapi saat aku memegang tubuhnya untuk membantu menidurkan. Aku tidak mencium bau alkohol sama sekali."Bantu aku, Sal," lirihnya seperti menahan sakit."Bantu, apa?" tanyaku khawatir dengan keadaannya.Bukannya menjawab, Arga malah menarik tubuhku."Apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku mulai panik saat tangan Arga membuka kancing bajunya sendiri."Panas, Sal. Tubuhku rasanya panas dan aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku. Aku merasa ada yang berbeda muncul begitu saja. Apalagi saat melihatmu seperti sekarang. Aku menginginkan lebih, Sal. Maukah kamu membantuku? Aku tidak kuat lagi," ucap Arga tak peduli jika pintu masih terbuka."Mas!" Mbak Sinta muncul di ambang pintu.Dengan cepat Arga mengusir Mbak Sinta, lalu menutup pintu dengan dibanting. Arga semakin kesal saat pintu gak bisa dikunci.Aku mendekat dan membantu menutup pintu. Memang tidak bisa dikunci karena sudah rusak setelah di dobrak tadi.Lagi. Arga menarik dan mendoro
Perlahan aku menuruni tangga. Mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga Mama mertua marah-marah seperti itu."Sejak kapan Papa selingkuh, ha? Mama benar-benar tidak habis pikir dengan Papa. Kenapa Papa tega mengkhianati Mama! Kenapa, Pa!"Papa mertua selingkuh? Ya Tuhan, padahal rumah tangga mereka selalu terlihat harmonis, tetapi tidak disangka, Papa mertua dengan tega mengkhianati Mama."Papa khilaf, Ma. Papa janji tidak akan mengulangi lagi.""Selingkuh itu penyakit, Pa! Penyakit! Dan Mama tidak yakin jika Papa bisa taubat. Sekarang apa mau Papa?" tanya Mama mertua jengah."Papa tidak mau apa-apa, Ma. Papa ingin kita terus bersama," balas Papa mertua masih terus mengiba."Tapi Mama tidak mau, Pa. Mama kecewa dan Mama tidak ingin hidup bersama dengan pengkhianat sepertimu!"Arga sendiri hanya diam tetapi menatap tajam sang Papa dengan penuh kekecewaan. Selama bertahun-tahun dia sangat bangga memiliki Papa yang baik dan tersegalanya, ternyata itu semua hanya dusta semata."Tida
"Enak, soalnya kami melakukan dua ronde dan setelah aku capek Arga malah pindah ke kamar kamu. Padahal sebenarnya aku masih kuat," tuturnya.Arga sendiri tidak mengatakan jika dia melakukan dengan Mbak Sinta. Kini aku yakin jika Mbak Sinta hanya berbohong. Mana mungkin jika mereka melakukan, Arga malah pindah ke kamarku. Seharusnya ia menuntaskan di kamar Mbak Sinta, bukan malah pindah ke kamarku."Ohh," balasku."Pasti kamu nggak percaya ya?""Aku percaya kok, Mbak," sahutku segera."Ini kalau kamu nggak percaya." Mbak Sinta menyodorkan foto mereka berdua saat Mbak Sinta dalam pelukan Arga yang setengah sadar.Aku paham betul, mana yang dalam keadaan sadar dan tidak. Seperti semalam, Arga dikuasai oleh obat pemberian Mbak Sinta.Aku tidak tahu obat apa saja yang diberikan oleh Mbak Sinta pada Arga malam tadi. Tapi aku yakin, saat Arga masuk ke kamarku itu dia dalam pengaruh obat perangsang.Tapi saat Arga tidur pulas memeluk Mbak Sinta dengan dada bidang yang terbuka. Mungkinkah Mbak
Aku menjadi penasaran dengan foto yang dikirimkan oleh Aldo. Namun, belum sempat aku membuka. Mama mertua dan Arga sudah tiba di meja makan.Terpaksa aku meletakkan ponsel kembali dan bergabung dengan mereka untuk makan siang. "Mbak Sinta mana?" tanyaku."Masih di kamar. Nanti kalau dia lapar mau ambil sendiri," balas Arga bersiap mengambil nasi dan lauk."Ini kenapa masaknya bau menyengat semua?" tanya Mama mertua."Aku lagi pengen aja, Ma," balasku."Aku juga suka makan sambal terasi, Ma," lanjut Arga."Iya, Mama tahu kamu suka yang bau-bau," ledek Mama mertua.Alhamdulillah, sudah ada sedikit senyum di wajah Mama mertua. Ya, walaupun tidak seceria dulu lagi. Namun, setidaknya hatinya sudah mulai menerima semua yang menimpa dirinya."Hamil kali dia, Ma," ucap Mbak Sinta datang masih dengan masker berlipat."Jangan asal nuduh kamu, Mbak!" Aku tak terima dia asal bicara. Padahal dia sendiri yang hamil."Aku nggak nuduh kok, dulu saja setiap kali ibu masak sambal terasi kamu menolak m
Semalaman aku tak bisa tidurnya memikirkan siapa pemilik nomor yang mengirim pesan. Mungkinkah itu Aldo atau malah orang yang menjadi bukti atas rahasia Mbak Sinta? Tuhan, apa aku harus menemuinya hari ini?Dilema dan dihantui rasa takut. Itulah yang saat ini aku rasakan. Pagi setelah kepergian Arga, aku diliputi dengan rasa kebimbangan, antara pergi atau tidak.Hingga sebuah telepon masuk dan aku sendiri tidak tahu siapa sebenarnya pemilik nomor tersebut. Gegas aku menerima panggilan tersebut."Halo," jawabku tetapi tak ada jawaban.Entah apa yang sedang terjadi padanya. Suara bising membuat suaranya tidak jelas. Hanya saja samar-samar aku mendengar jika dia memintaku untuk segera datang."He, siapa kamu!" Aku berteriak karena dia sengaja mematikan telepon secara sepihak.Sebenarnya bukti apa yang dia dapatkan? Kenapa harus main sembunyi-sembunyi seperti ini. Menyebalkan sekali.Terpaksa aku pun pergi ke tempat yang sudah dia beritahu. Setibanya di sana, aku tidak menemukan siapa pun
Aku melongo melihat kejadian yang terjadi di depan mata. Seorang wanita yang hampir seumuran denganku di dalam hotel dengan selingkuhannya dan diketahui oleh istri sah."Wanita perebut lelaki orang. Tidak tahu malu!" Hina wanita di depanku yang saat ini berkacak pinggang.Wajahnya memerah penuh amarah. Awalnya aku pikir yang tersungkur itu adalah Mbak Sinta. Ternyata bukan, memang sih rambutnya ikal seperti Mbak Sinta, tetapi ketika wajahnya mendongak, sangatlah berbeda."Kamu pasti temannya?" Amarah ibu-ibu itu beralih padaku.Dengan cepat aku menggeleng. Kenapa aku ikut kena sasaran amukannya. Jelas-jelas aku sendiri tidak tahu siapa wanita itu."Terus ngapain di sini? Mau jadi reporter? Atau apa?" tanyanya menaikan rahang seraya melotot dan itu membuatku takut. Kemudian aku memilih menghindar segera, sebelum terkena semprotan amarahnya.Apa Aldo dan Winda mengerjaiku?Aku berjalan terus bergumam. Apa aku yang salah kamar? Tetapi itu benar jika yang aku datangi adalah kamar 102.Set