Share

Kabar Mengejutkan

Namun, tiba-tiba saja datang seorang gadis kecil tetangga rumah dengan tergesa-gesa.

"Bu Hesti!" teriaknya dengan napas tersengal.

"Kenapa?" tanya ibu acuh.

"Suami ibu," jawabnya masih berusaha mengatur napas.

"Iya suami saya kenapa?" Ibu terlihat kesal.

"Atur napas dulu baru bicara," ucap Argantara dan bocah itu patuh. Ia mengatur napas dan setelah teratur kembali berbicara.

"Bu, pak Handoko, Bu." Wajahnya terlihat panik.

"Ada apa dengan ayah?" tanyaku mendekat padanya.

"Pak Handoko kecelakaan, Mbak," jawabnya.

"Di mana?"

"Depan pasar, Mbak. Dia sekarang dibawa ke rumah sakit dekat pasar," jawabnya lagi.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung pergi menuju rumah sakit. Namun, Argantara malah mencekal tanganku.

"Ayah kecelakaan dan aku harus ke rumah sakit!" Aku membentaknya.

"Kita ke rumah sakit sama-sama," jawabnya kemudian menarik tanganku masuk mobil.

Seketika aku merasa bersalah. Padahal dia berniat baik, tetapi aku selalu menganggapnya buruk. Berkali-kali aku beristighfar dalam hati, menyadari kesalahan yang terus berulang.

"Kamu yang tenang. Semoga ayah tidak apa-apa," tuturnya masih lemah lembut meski aku sering kasar padanya.

Aku hanya bisa mengangguk. Tak berani berucap sama sekali. Namun, Argantara tetep berusaha mengajak aku berbicara. Sepertinya dia paham jika saat ini aku sedang khawatir.

"Kamu lapar nggak?" tanyanya basa-basi.

Aku menggeleng dan dia menoleh.

"Sakit gigi?"

Aku menarik napas dalam dan mengeluarkan perlahan.

"Nggak."

"Oh, kirain sakit gigi. Habisnya kamu diem sih," jelasnya seperti menahan senyum.

"Kalau sakit gigi memangnya kenapa?" Aku balik bertanya.

"Aku obati," jawabnya.

"Oh," jawabku.

"Oh doang?" tanyanya kembali menoleh.

"Lah terus?"

"Nggak penasaran gitu ngobatinnya pakai apa?"

"Emang pakai apa?"

"Lidah," jawabnya enteng tak merasa malu atau bahkan risih.

Aku saja yang mendengarnya merasa geli. Ini dia malah cengar-cengir nggak jelas.

"Hm."

"Mau?" Argantara kembali menoleh dan memperlambat laju mobil sejenak.

"Fokus nyetir aja, atau mau aku jalan kaki!" Aku mengancam dan akhirnya dia pun melakukan kembali mobilnya dengan kecepatan rata-rata.

Setelahnya aku hanya diam. Setiap kali Argantara berbicara aku hanya mendiamkan saja, bahkan aku sempat marah karena menurutku dia terlalu cerewet. Apalagi ini dalam keadaan sedang genting, Aku begitu khawatir dengan keadaan ayah dan Argantara malah cerewet selama perjalanan.

"Bisa diem nggak!" Aku membentaknya dan Argantara seketika diam.

Setibanya di rumah sakit. Argantara masih diam dan aku senang jika dia diam. Itu artinya kuping aku aman, tak perlu mendengarkan ocehannya.

"Sus atas nama pak Handoko yang kecelakaan di pasar depan di mana ya?"

Kemudian suster menjelaskan. Argantara berjalan terlebih dahulu. Sepertinya dia benar-benar mendiamkan aku.

Kami berdua berjalan beriringan menuju ruang UGD. Sesampainya di depan ruangan itu, kebetulan dokter keluar. Gegas aku mendekat dan menanyakan keadaan ayah.

"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan nyawa pasien," jawabnya.

Seketika tubuh ini terasa lemas. Dada terasa sesak dan pandangan mulai kabur. Aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Saat aku membuka mata sudah berada di kamar.

"Ayah!" teriakku dan Argantara lah yang muncul.

"Sudah bangun?" Pria itu mendekat.

Suara lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar di ruang tamu.

Aku memukul pipiku sendiri dan mencubitnya. Menyadarkan diri apakah sekarang aku sedang bermimpi?

Sakit. Aku merasakan sakit ketika dicubit. Itu artinya aku tidak bermimpi dan ini semua nyata. Ayah, dia ....

"Minum dulu," tawarnya.

Aku menggeleng. "Apa aku masih bermimpi?"

"Minum dulu biar lebih tenang," pintanya.

Aku meneguk air pemberian Argantara dan kembali bertanya, "apa aku hanya mimpi?"

Argantara menggeleng. Kemudian dia menuntunku keluar dari kamar. Semuanya bukan mimpi. Tubuh ayah sudah terbungkus kain kafan. Aku terperangah, ada sosok Mbak Sinta di samping ibu.

Amarahku bergejolak melihat wanita itu menangis di depan jasad ayah. Semua gara-gara dia, aku yakin jika ayah dipaksa ibu untuk mencarinya hingga rasa lelah tak dirasakan sehingga dia mengalami kecelakaan.

Aku menjambak rambutnya dan menarik Mbak Sinta menjauh dari jasad ayah. Dadaku kembang kempis. Kemudian satu tamparan mendarat di pipi mulusnya.

"Apa-apaan kamu Salma!" Ibu menarik tanganku kemudian berbalik menamparku.

"Kita sedang berduka dan kamu malah bikin masalah!" sentaknya tetapi aku tidak peduli.

Melihat Mbak Sinta membuatku ingin menghajarnya. Apalagi teringat saat dia kabur setelah resepsi dan aku yang harus bertanggung jawab.

"Salma sudah." Argantara menarik tanganku menjauh dari ibu dan Sinta.

Namun, tiba-tiba Mbak Sinta memanggil Argantara.

"Mas aku minta maaf," lirihnya.

Akan tetapi, Argantara tak peduli. Dia terus menuntunku.

"Mas aku minta maaf," ucap Mbak Sinta lagi dan terus mengikuti langkah kami.

"Sinta kita sedang berduka dan aku tidak ingin membahas itu!" Argantara bersikap tegas.

Acara pemakaman berjalan dengan lancar. Malam itu aku menginap di rumah ayah, Argantara pulang sendiri, katanya ada kerjaan yang harus dia selesaikan. Dan keesokan harinya dia akan menjemputku.

Sore itu, Argantara benar datang untuk menjemput. Padahal sebenarnya aku tidak dijemput juga malah bersyukur. Aku bisa kembali bekerja lagi.

Di saat Argantara mengajakku pulang . Di situ pula Mbak Sinta memohon agar dia juga diajak pulang ke rumah Argantara.

"Aku juga istrimu, Mas. Kenapa kamu pilih kasih," tuturnya mulai meneteskan air mata memulai drama.

"Kau memang istriku, tapi setelah ini aku akan menceraikan kamu," tegas Argantara seperti apa yang dia ucapkan di malam pertama, akan menceraikan Mbak Sinta segera.

"Apa alasan kamu menceraikan aku, Mas?"

"Karena aku—"

Dengan cepat aku menghentikan ucapan Argantara. Jika sampai dia berucap karena aku, bisa malu aku dilihat warga yang ada di depan rumah. Pasti mereka akan mengira jika aku dengan tega merebut suami kakak tiriku sendiri.

"Dia istri sah kamu. Jadi ajak dia pulang juga."

Mata Argantara melotot seperti tidak suka. Aku yang dipelototin pun memilih mengalihkan pandangan. Kebetulan majikanku juga datang. Segera aku mendekati mereka dan menyambut kedatangannya.

Andara, si gadis mungil itu langsung memeluk erat tubuh ini. Sepertinya dia sangat merindukan aku.

"Kami turut berdukacita, Salma."

"Terima kasih, Bu," jawabku menerima uluran tangannya.

Kemudian aku mengajak mereka ke dalam rumah. Argantara langsung menyalami mereka. Begitu juga dengan ibu dan Mbak Sinta.

"Ayo, Mas kita pulang," ajak Mbak Sinta pada Argantara ketika aku sedang mengobrol dengan majikanku.

"Oh, jadi ini yang menikah kemarin, Sal?" tanya ibu majikanku.

"Iya, Bu," jawabku tersenyum sakit.

Entah kenapa ketika tangan Mbak Sinta menggandeng tangan Argantara aku tidak rela. Padahal mereka adalah suami istri yang sah, sedangkan aku hanya pengganti dan tidak sah di mata hukum negara.

"Benar Arga. Pulanglah, ini sudah sore, takut di jalan kenapa-napa," ucap ibu bersikap sok baik di depan ibu majikanku. Padahal aslinya kejam.

"Aku juga mau pamit pulang, Sal. Dua hari atau tiga hari lagi balik kerja ya, ibu kewalahan jagain Andara," pintanya tetapi langsung ditolak mentah-mentah oleh Argantara.

"Salma tidak akan pernah kembali bekerja lagi, Bu," tegasnya.

"Loh kenapa?"

"Karena dia sudah menikah."

"Menikah?"

"Iya, dia sudah menjadi istri kedua saya. Jadi dia tidak boleh bekerja lagi."

"Salma kamu sudah menikah? Jadi istri kedua? Ya Allah kenapa bisa terjadi, Nak?" tanyanya iba.

"Sudah menjadi takdir, Bu. Itulah akibatnya kalau ibunya saja suka merebut laki orang! Anaknya juga kena imbasnya!"

Seketika pandangan mataku beralih pada ibu. Apa maksudnya? Bukankah dia yang pelakor, kenapa malah menyalahkan ibuku?

"Apa maksud ibu?"

"Sudahlah lupakan, tidak baik mengumbar keburukan orang yang sudah mati," jawabnya mencoba menghindar dari tatapan tajam mataku.

Aku pun menjadi penasaran, apa yang dimaksud oleh ucapan ibu tadi. Sebenarnya apa yang terjadi dengan masa lalu mereka?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status