~Happy Reading All~
***
"Gadis inilah yang menolong Mama, Ars.." lirih Mona menjelaskan pada sang putra yang tampak tak suka dengan keberadaan Tantri di sana. "Kemarilah, Nak.." panggilnya lembut pada Tantri yang sudah berdiri di dekat pintu. Telapak tangan lemahnya melambai pada gadis itu.
Panggilan itu menyurutkan niatnya untuk segera pergi dari sana. Jujur ia tak suka dengan tatapan Arsaka padanya. Gadis itu tampak berpikir apa karena pakaiannya yang terlihat lusuh dan bukan anak orang kaya membuat dirinya dipandang sebelah mata oleh pria tersebut.
Pikirannya mulai melanglang buana entah ke mana rimbanya. Siapa yang suka dilihat seseorang dengan cara seperti itu? Apakah dia sudah tak terlihat seperti manusia pada umumnya?
"Nak Tantri..." panggil Mona sekali lagi yang seketika menyadarkan lamunan Tantri.
Tantri terkesiap dan segera mengulas senyum tipis ke arah wanita paruh baya yang telah berhasil ia selamatkan.
"Iya, Nyonya," sahut Tantri cepat dan berjalan mendekat.
Arsaka beranjak dari tempat duduknya, ia memandang Tantri sekali lagi lalu memalingkan muka.
"Ma, biarkan dia pulang. Mungkin dia mau pulang, jangan hambat kepergiannya!" tegas Arsaka, terdengar dari ucapannya ia tak suka dengan Tantri dan berusaha mengusir secara halus gadis itu dari sini.
"Arsaka, dia ini yang menolong ibumu. Seandainya dia tidak ada, mungkin kamu sudah tidak bisa melihat Mama lagi.." lirih Mona.
Wanita ini tahu betul tabiat Arsaka yang tak menyukai keberadaan orang asing dalam lingkup hidupnya ditambah lagi sebuah kenangan lama mengenai orang miskin membuatnya sedikit trauma. Hanya karena sebuah penampilan di depan mata, Arsaka sudah mulai underestimate pada gadis cantik tak bersalah ini.
Tantri tersenyum getir. Ia tidak tahu apa salahnya. Di sini ia hanyalah penolong tidak bermaksud buruk. Tapi perlakuan dan cara bicara Arsaka tentangnya membuat ia tak nyaman jika berada di sekeliling pria tersebut.
"Nyonya, saya ijin pulang dulu. Semoga Nyonya lekas sembuh! Permisi, Nyonya.." pamit Tantri sambil membungkukkan badan. Senyumnya begitu manis dan tulus.
Belum sampai menyentuh gagang pintu, Mona terbatuk-batuk seolah kesulitan berbicara membuat Tantri spontan menoleh ke belakang. Detik berikutnya ia telah putar haluan dan kembali mendekati Mona.
"Nyonya, ada apa? Apa Nyonya mau minum? Bagian mana yang sakit?" tanya Tantri beruntun. Arsaka dan Yadi mulai panik, pria tampan itu menekan tombol darurat supaya dokter segera datang ke ruangan itu.
Mona tersenyum lembut.
"Mama tidak apa-apa, Ars. Tidak perlu memanggil dokter. Mama sudah merasa lebih baik karena ada Tantri di sini," jelas Mona yang membuat kening Arsaka berkerut dalam.
'Apa kelebihan gadis kecil ini di mata Mama? Tidak pernah ada gadis yang dipuji beliau selama aku hidup dua puluh enam tahun ini. Jangan-jangan dia memakai...' batin Arsaka yang mulai mengomentari Tantri dengan pikiran buruk.
Tok Tok Tok
"Permisi," sapa seorang dokter yang segera masuk dan menyapa beberapa orang di dalam ruangan itu.
"Tadi Mama saya batuk-batuk, Dok. Tolong periksa keadaan Mama saya!" jelas Arsaka.
Dokter dan perawat yang berada di sana dengan sigap memeriksa keadaan pasien pasca operasi beberapa jam lalu. Usai memeriksa, dokter itu tersenyum pada Arsaka dan Tantri.
"Nyonya Mona tidak apa-apa. Untuk beberapa hari ini dimohon sekali biarkan Nyonya Mona bed rest dan tidak banyak pikiran. Efek benturan itu menjadi penyebabnya, beliau menjadi mudah pening dan tidak nyaman. Baik begitu saja penjelasan dari saya, nanti sore kami akan memeriksa kembali keadaan Nyonya Mona. Permisi," pamit dokter dan diangguki para perawat di belakangnya.
Ceklek.
Pintu kembali tertutup menyisakan empat manusia di dalamnya.
Arsaka memandang Tantri dengan penuh keheranan.
"Ma, sekarang beristirahatlah!" pinta Arsaka pada ibunya usai diperiksa dokter.
Mona menggelengkan kepalanya pelan. Ia menatap dalam ke arah Tantri. Tantri bingung dibuatnya. Sekali lagi atmosfer di dalam ruangan itu terasa pengap dan menyesakkan baginya.
Bukan karena Mona, melainkan tatapan aneh dan sarat akan kebencian ditampakkan Arsaka padanya. Ia memegangi dadanya dan bertanya dalam hati apa salahnya pada pria itu. Sepertinya ia tidak pernah melakukan kesalahan pada Arsaka.
"Nak Tantri, terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku. Kalau tidak ada kamu, mungkin saja aku sudah..." ucap Mona terhenti.
"Mama! Jangan bilang begitu lagi! Aku tidak mau kehilangan Mama," sela Arsaka yang tahu kelanjutan dari ucapan sang ibu. Rasa takut mulai menyelinap di relung hatinya jika sampai sang ibu benar-benar meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Tantri mengulurkan tangannya hendak menyalami Mona. Ia memilih pergi dari sini daripada terus menerus diteror tatapan Arsaka yang menakutkan baginya.
Mona memandang heran pada Tantri. Ia merasakan gadis itu menyalami dan menyentuh punggung tangannya dengan keningnya yang sedikit tertutup poni.
"Saya pamit dulu, Nyonya. Nyonya harus banyak istirahat. Permisi," pamit Tantri yang ingin secepatnya keluar dari zona tak nyaman di ruangan dingin namun panas baginya.
Mona mengeratkan genggaman jemarinya di telapak tangan Tantri yang baru saja menyalaminya.
"Jangan pergi dulu, Nak Tantri. Ada sesuatu yang ingin kuminta darimu. Bisakah kamu mengabulkan permintaan wanita tua ini?" tanya Mona dengan raut wajah serius.
"Nyonya.."
"Mama mau bicara apa dengannya? Biarkan saja dia pulang, bukankah dia bilang ingin pulang?" sela Arsaka bernada angkuh dan dengan kekesalan yang memuncak.
Pria muda itu merasa tak dianggap keberadaannya oleh sang ibu yang justru memilih dekat dengan Tantri. Padahal, ia sudah berlari-lari dan berada di sini, meninggalkan sang kekasih, menunda jam meeting demi sang ibu malah ia diabaikan begitu saja. Wajar saja ia merasa kesal seperti ini.
"Ars, diamlah! Mama ingin mengatakan sesuatu pada gadis cantik ini," pinta Mona pada putra sulungnya.
"Gadis cantik? Apa mata Mama juga terkena imbas dari kecelakaan itu? Gadis seperti ini dibilang cantik, astaga!" pekik Arsaka penuh ledekan dan meremehkan Tantri. Ia tersenyum sinis.
Tantri yang sabar hanya bisa mengelus dada dan tak mau ambil pusing. Sebenarnya ia memang cantik, hanya saja penampilannya kali ini tampak berantakan membuat ia dipandang sebelah mata oleh Arsaka. Sedikit polesan dan pakaian mahal pasti akan segera menambah daya tarik tersendiri bagi gadis cantik seperti dirinya.
"Tantri, jangan dimasukkan ke dalam hati ucapan anak itu, ya! Mulutnya memang tidak pernah disekolahkan, sia-sia aku menyekolahkannya sampai ke Harvard kalau ia menjadi pria seperti ini," sesal Mona.
"Ma!" pekik Arsaka tak terima. Tanpa sadar ia mengepalkan kedua tangannya. Menahan kesal atas ucapan sang ibu yang begitu membela Tantri.
"Ars!" seru Mona. Tak lama ia kembali terbatuk-batuk.
"Mama!" teriak Arsaka.
"Nyonya!" pekik Tantri yang khawatir.
"A-Aku tidak apa-apa, Nak Tantri," jelasnya pada Tantri. Ia melihat ke arah sang putra yang tampak menahan kesal. "Ars, apa kau menyayangi Mama?" tanya Mona dengan mata berkaca-kaca.
Arsaka meredam emosinya sendiri. Ia bersimpuh di lantai dan meraih jemari sang ibu dan kemudian mengecup punggung tangan wanita yang telah melahirkannya bertubi-tubi.
"Aku sangat menyayangi Mama. Mama adalah segalanya bagiku," ucap Arsaka penuh keyakinan. Cintanya pada ibunya begitu besar. Netra hitamnya seolah menembus ke dalam relung hati sang ibu yang masih lemah.
"Apa kamu bisa menuruti keinginan Mama? Tak pernah sekali pun Mama meminta sesuatu hal padamu. Apakah kamu mau melakukan itu?" tanya Mona dengan senyum tipis di wajahnya.
"Apa itu, Ma? Katakan padaku!" desak Arsaka sambil menggenggam erat jemari sang ibu.
***
~Happy Reading All~***Mona tampak menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya yang sempat terhenti. "Mama mohon padamu, menikahlah dengan Nak Tantri!" pintanya penuh keyakinan, tak ada keraguan saat meminta hal yang mustahil itu pada putranya.Arsaka tampak garang. Ia refleks melepaskan pertautan jemarinya dengan jemari lemah sang ibu. Kini dengan angkuhnya ia menatap benci pada Tantri, gadis yang tidak tahu apa-apa tersebut.Tantri benar-benar berada di tempat yang tidak seharusnya. Ia salah tempat dan situasi. Bagaimana bisa ia dilibatkan dalam masalah ibu dan anak tersebut lebih jauh. Ditambah lagi permintaan nyonya besar itu terdengar konyol baginya.Ia baru menginjak usia delapan belas tahun dan menyelesaikan sekolah menengah atas tiga bulan lalu. Ia sangat belum siap menerima keputusan itu sama halnya dengan Arsaka."Mama! Mama sadar atau tidak mengatakan hal itu? Mama tahu dengan jelas kan, aku sudah memiliki kekasih dan aku
~Happy Reading All~***"Mbak Tantri!" pekik Yadi yang berhasil menemukan gadis cantik penolong majikannya tersebut dengan susah payah.Langkah kaki Tantri sudah sampai di trotoar jalan hendak menunggu bus lewat. Untung saja teriakan Yadi berhasil mengurungkan niat Tantri memasuki kendaraan umum di mana belasan manusia berjejal di dalamnya.Tantri menoleh ke belakang tanpa membalikkan badan. Senyum manis terbit di kedua sudut bibir ranumnya. Amat manis dan teduh."Mbak Tantri, biar saya antar pulang, ya!" tawar Yadi bersungguh-sungguh. "Nyonya minta saya mengantar Mbak Tantri pulang ke rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun. Mau, ya?"Tantri belum menerima tawaran dari pria yang berprofesi sebagai sopir pribadi nyonya Mona tersebut. Gadis cantik berlesung pipi itu merogoh saku celana pendeknya, di mana saat ini ia menemukan selembar uang berwarna hijau. Sisa dua puluh ribu.Gawat!Tantri menepuk
~Happy Reading All~***"Bibi dan Pak Yadi saling kenal?" tanya Tantri penasaran melihat interaksi kedua manusia paruh baya di sekelilingnya.Baik pak Yadi atau sang bibi tak ada yang mau buka mulut. Kini, bibinya malah pergi meninggalkan Tantri bersama Yadi dan masuk ke rumah untuk melanjutkan kegiatannya meracik jejamuan tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Bibi!" panggil Tantri yang diacuhkan sang bibi. Ia merasa tak enak hati pada pak Yadi. "Maaf ya, Pak. Nggak tahu juga ada apa sama bibi, mungkin beliau mau langsung nerusin bikin jamu," jelas Tantri sekenanya.Yadi mengerti. Ia tak mau banyak bertanya. Ia mengangguk sembari mengulas senyum tipis."Jangan cuma dilihatin aja, Pak! Mari silakan diminum! Keburu dingin loh, Pak. Takutnya nanti nggak manis loh, Pak," paksa Tantri dengan jurus rayuannya."Oh iya, terima kasih. Maaf loh, merepotkan Mbak Tantri!""Ah, Pak Yadi pakai ngomong gitu
~Happy Reading All~***Wanita paruh baya yang tersenyum di ambang pintu itu membuat Mona seketika merasa malas dan risih berurusan dengannya."Kenapa kamu diam saja dan tak menyambut kedatanganku, Mona? Kita sudah lama tak berjumpa, loh!" sapanya basa-basi. Senyumnya mengembang sempurna saat mendekati Mona di atas bed rumah sakit yang didominasi warna putih tersebut."Aku ingin tidur, tolong jangan menggangguku!" sahut Mona dengan ketus."Mana mungkin aku ingin mengganggumu? Aku datang karena ingin berkunjung karena kita sudah lama sekali tak berbincang santai," kilahnya memberi alasan yang sekiranya masuk akal. Ia berusaha mengajak berdamai dengan Mona.Mona tersenyum sinis dan berkata, "Wah, artis besar sepertimu masih punya waktu untuk menemuiku, baik sekali, ya! Ck! Ck!" sindir Mona."Mona! Bisakah kita kembali seperti dulu? Bukankah kita bersahabat baik? Kenapa kamu tega sekali mendiamkanku setelah
~Happy Reading All~***Belum sampai bibir gelas itu menyentuh bibir Arsaka, sebuah panggilan yang berasal dari ponsel di saku celana pria tersebut menghentikan niatnya untuk meminum teh buatan sang kekasih.Arsaka meletakkan kembali cangkir itu ke atas nampan. Aleta tetap mengulas senyum manis di hadapan Arsaka. Mencoba sabar, kini perempuan itu beralih pada ponselnya sendiri dan menggulir beberapa pesan masuk. Sesekali Aleta melirik dan berniat mencuri dengar apa yang akan dibicarakan Arsaka pada lawan bicaranya."Halo, Pak Yadi! Ada apa?" tanya Arsaka serius. Tampak guratan kencang di keningnya.'Den Saka sedang di mana kalau boleh tahu?' tanya balik Yadi."Aku lagi di apartemen Aleta. Kenapa, Pak? Kok kayaknya serius banget?"'Begini, Den. Anu, begini, aduh gimana, ya ngomongnya?'"Kenapa sih, Pak? Jangan buat aku penasaran kayak gini!" seru Arsaka.'Begini, Den, Nyonya Mona
~Happy Reading All~***Tantri merasakan detak jantungnya berdegup hebat. Perasaan itulah yang harus ia tahan sekian lama, karena ia tak mau melanggar kata hati dan berujung menghambat masa depannya nanti.Ia mencoba menetralkan detak jantungnya yang sedemikian kencang dengan memalingkan muka. Memilih menghadap ke sembarang arah demi menutupi rasa yang berkecamuk di hati.Ia menggerakkan bungkusan plastik tersebut maju mundur sembari memilin anak rambutnya yang terurai dengan satu tangan yang lain."Buruan naik, yuk! Langitnya udah gelap, takutnya bentar lagi ujan gede," ajak Banyu pada Tantri. Tantri mengangguk mengiyakan.Pemuda itu menunggu Tantri naik melewati pijakan footstep dan berpegangan pada pundaknya. Maklum, motor yang pemuda itu gunakan adalah sebangsa motor gede.Motor pun melaju. Hati Tantri dan Banyu tampak berdesir hebat. Entah apa yang mereka saat ini rasakan?Tantri menghel
~Happy Reading All~******Arsaka terdiam selama beberapa saat, membiarkan segenap pikirannya terfokus pada satu hal.Kebahagiaan ibunya yang lebih penting atau egonya untuk tetap bersama Aleta?Sebuah keputusan harus ia pilih saat ini juga.Arsaka menggeleng samar sembari tersenyum getir. Kenapa harus ada pihak yang tersakiti? Kenapa tidak dirinya saja yang harus menderita?Semua ini pasti akan menyakiti salah satu di antara dua wanita yang begitu berharga di dalam hidupnya. Aleta dan juga sang ibu.Pria itu menyandarkan kepalanya di atas bed pembaringan tubuh sang ibu yang terlelap, entah kenapa ia merasakan kantuk luar biasa dan tanpa sadar memejamkan mata.Sebelum benar-benar terbuai dalam arus mimpi, Arsaka sempat berucap, "Mama.. Aku sayang Mama, jangan tinggalkan aku sendiri…."******Sementara itu di sebuah apartemen mewah, seorang wanita cantik berhasil mem
~Happy Reading All~******"Sudah berapa kali Bapak dan Mama bertemu dengan gadis kumuh tadi?" tanya Arsaka tanpa meralat sebutan yang ia sematkan pada gadis tak bersalah tersebut.Yadi mengernyit. Beberapa garis horizontal tampak berjajar di kening menambah kesan tua pada dirinya.Diliputi tanda tanya besar di kepala, Yadi memilih bertanya langsung pada anak majikannya itu daripada salah menerka."Maksud den Saka bagaimana, ya? Jujur, Bapak kurang begitu menangkap pertanyaan dari den Saka. Bisa tolong dijelaskan secara detail? Maklum den, Bapak 'kan sudah tua, jadi harap sabar!" ungkap Yadi dengan raut wajah serius tak ada selintas pun ia sengaja melakukan hal itu.Bukan bermaksud menguji kesabaran sang majikan muda, melainkan pertanyaan Arsaka begitu membingungkan dan wajar saja jika ia bertanya. Seperti sebuah pepatah yang mengatakan malu bertanya sesat di jalan menjadi pedoman Yadi mengatakan hal tersebut.