Haloo halooo .... Alice dan Sky akhirnya ikut Edmund nih. Bagaimana perasaan kalian?
Sambil menaruh tangan di atas pagar, Edmund menatap ke langit. "Kuharap kau tidak lupa bahwa aku adalah suamimu," gumamnya samar. Sengaja, agar Alice lebih menyerap maknanya. "Aku tidak lupa," balas sang istri, terdengar seperti menggerutu. "Kalau begitu, katakan saja apa yang mengganggu pikiranmu." Edmund menoleh dengan senyum manis. Tidak ada lagi kesan mengintimidasi dari mata hijaunya yang jernih itu. "Apakah kau memikirkan aku?" Edmund bermaksud untuk mencairkan suasana. Namun, tanpa terduga, Alice mengangguk. "Aku merasa semua ini tidak adil untukmu." Dalam sekejap, raut Edmund membeku. Hatinya tergelitik oleh sesuatu. "Kau sungguh memikirkan aku?" Alice menggigit bibir sejenak. Ia sadar suaminya terharu. "Kau tahu semua tentang diriku, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu," ujarnya lirih. Edmund menggeleng sigap. "Kau bukannya tidak tahu, Alice. Kau hanya lupa. Kau adalah orang yang paling mengenalku di dunia ini, bahkan melebihi diriku sendiri." "Benarkah?" Alice
Begitu terbangun, Edmund langsung disapa oleh wajah bulat putri kecilnya. "Selamat pagi, Paman Ed. Apakah tidurmu nyenyak?" Edmund tersenyum dan mengelus kepala Sky. "Sangat nyenyak. Apakah kau bermimpi bayi trenggiling lagi?" Sky mengangkat wajahnya dari bantal, menggeleng kecil sebelum menurunkannya lagi. "Aku bermimpi bermain bersama Gigi dan Gusi. Ada Canis juga. Felis hanya menonton dari beranda. Dia masih pemalas." Edmund terkekeh gemas. "Lalu di mana ibumu?" Telunjuk Sky meruncing ke sebuah pintu. "Mama sedang mandi." Alis Edmund sontak terangkat. "Dia mandi lagi? Bukankah sebelum tidur dia sudah mandi?" Sky mengangkat pundaknya ringan. "Mungkin Mama berkeringat saat tidur semalam. Mama takut badannya bau saat di pesawat." Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Saat Alice melangkah keluar, Edmund terkejut melihatnya. "Alice, ada apa dengan matamu? Apakah semalam kau tidak tidur?" Sementara itu, Sky terkikik geli. "Mama terlihat seperti panda." Alice meringis dan mengga
Edmund berkedip-kedip sesaat. Setelah mengantongi sobekan kertas, ia membuka sebuah folder di tabletnya. "Apakah kau mengenal wanita ini?" Alice mengerutkan alis saat memperhatikan foto wanita paruh baya di hadapannya. "Apakah dia ibumu? Tapi kurasa ... kalian tidak mirip." Edmund terkekeh mendengar tebakan itu. "Bukan, ini Nyonya Klein, kepala pelayan di rumah kita. Dia sudah bekerja denganku sejak aku memulai bisnis. Aku butuh seseorang untuk mengurus rumahku." "Oh, dia sepertinya orang baik. Dan ramah," celetuk Sky yang sedang menjulurkan leher, meninggikan kepala. Edmund dan Alice sontak menoleh ke arahnya. "Menurutmu begitu?" Edmund memberikan tablet ke tangan Alice agar Sky dapat melihat lebih jelas. "Ya. Dia seperti ibu peri penjaga hutan." Edmund tersenyum kecil melihat tingkah lucu Sky. Gadis mungil itu sedang mengepak-ngepakkan tangan seolah itu sayapnya. "Ya, dia memang baik dan juga loyal." Setelah menjelaskan lebih lanjut tentang Nyonya Klein dan para pelayan di
"Astaga, ini terjadi lagi." Edmund menaikkan alis mendengar gumaman itu. Namun, usai menutup pintu dan berbalik, ia langsung mengerti. "Apakah ...,” Edmund ragu sejenak, “kau mau berbagi kasur denganku? Kali ini, aku janji aku akan mengendalikan pikiranku dengan baik. Aku bisa tidur membelakangimu." Alice melirik tanpa menoleh. Kedipan matanya menyiratkan kegugupan. Ia tidak yakin keputusan dalam kepalanya tepat atau tidak. "Oke. Kau mau di sisi kiri atau kanan?" "Kanan." "Kalau begitu, aku di sisi dinding." "Kau mau lampu dimatikan atau dibiarkan menyala?" Alice kembali melirik. "Kurasa, lebih baik kita biarkan menyala." Edmund mengangguk sepakat. Tanpa berlama-lama lagi, mereka naik ke ranjang, berbaring miring dengan punggung saling menghadap. Lima menit pertama, tidak ada seorang pun yang bergerak. Edmund dan Alice sama-sama sibuk mengendalikan pikiran. Lima menit berikutnya, kegelisahan mulai meradang. Mereka beberapa kali bergerak, entah untuk mengatur posisi kepala ata
"Alice? Itu sungguh dirimu?" Pria itu berjalan seperti orang tua yang tertatih-tatih. Tatapannya terkunci pada wajah Alice. "Y-ya. Ini aku," jawab Alice kaku. Tiba-tiba, sang pria menjepit pipinya dengan kedua tangan. Ia memeriksa wajah Alice dari berbagai sudut, mencari sesuatu di sana. "Kau bukan perempuan lain yang menyamar, kan? Wajahmu ini bukan hasil operasi plastik, kan?" Setelah menghela napas, Edmund mengibas-ngibaskan tangannya. "Scott, cukup. Kau membuat istriku tak nyaman. Mundurlah." Bukannya menjauh, Scott malah mendekap Alice dan mengajaknya melompat-lompat. Tawanya meluap bersamaan dengan air mata. "Alice, kau akhirnya kembali. Oh, terima kasih, Tuhan. Ini adalah keajaiban terbesar dalam hidupku!" Sementara Alice meringis memalsukan senyum, Edmund berjuang menarik Scott mundur. Akan tetapi, Scott masih betah memeluk Alice, mengajaknya bergoyang seperti penguin. "Papa, siapa pria ini? Apakah dia sopir yang menjemput kita?" Mendengar suara manis itu, Scott akhirn
"Wah, Paman Ed, ini betul-betul istana!" Mata Sky berbinar menatap interior ruangan yang indah. Pilar-pilar raksasa, tangga yang berukiran emas, dan untaian lampu yang berkilauan—ia suka desainnya. "Kita bisa bermain kejar-kejaran di dalam sini!" Alice sontak melirik sang putri. "Sayang? Kamu tidak boleh berlarian di sini." Sky terkekeh geli. "Ya, aku tahu, Mama. Aku juga takut menyenggol sesuatu. Kalau pecah, aku tidak bisa menggantinya. Aku tidak membawa celengan ayam." Tiba-tiba, suara langkah kaki ramai terdengar. Selang beberapa saat, enam orang wanita datang dari berbagai arah. Mereka semua terkesiap saat melihat Alice dan Sky. Wanita yang tiba paling akhir bahkan sampai mematung dan memucat. "Nyonya Alice?" desahnya tak percaya. Alice tersenyum simpul. Ia memang tidak ingat siapa wanita itu. Namun, Edmund sudah mengingatkan. Mereka dulu sangat akrab dan ia bahkan menganggapnya sebagai seorang ibu. "Apa kabar, Nyonya Klein?" sapanya canggung. Namun, begitu wanita paruh b
Alice tidak tahu malam apa yang Emma maksud, tetapi ia mengangguk. "Ya, dia putriku." Tawa Emma sontak meringankan suasana. Ia mengguncang lengan suaminya, berbisik, "Sayang, kamu benar. Janin Alice memang sangat kuat. Dia sanggup bertahan dan sudah sebesar ini sekarang." Henry menepuk-nepuk punggung tangan istrinya. "Ya, analisisku memang 99% tepat. Senang kau dan putrimu berhasil selamat," ujarnya kepada Alice kemudian. Sementara Alice berterima kasih, Emma berputar menghadap Sky, membungkuk. "Apakah kau mengenalku?" Sky mengangguk. "Kamu Bibi Emma, sahabat terbaik Mama. Karena itu, aku menyiapkan ini untukmu." Sky menyodorkan sebuah bros berwarna hijau lagi kepada Emma. Melihat itu, alis sang wanita berkerut. "Apakah kau sendiri yang membuat ini?" Sky mengangguk. "Ya!" "Anak seusiamu sudah bisa membuat bros secantik ini sendiri?" Emma mempertegas bicaranya. Senyum Sky terkulum. Rasa bangga telah terbit dalam hatinya. "Ya, Bibi." Emma terkesiap takjub. Ia melirik Alice, men
Alice mengembuskan napas cepat. "Maaf, Em. Aku sungguh tidak tahu. Kami tidak melakukannya." Alis Emma tertaut. "Kami siapa? Kau dengan Edmund atau kau dengan Lucas?" Alice menggigit bibir. "Dua-duanya." "Kau bercanda?" Emma tertawa samar. Namun, melihat rona merah di pipi sahabatnya, wajahnya perlahan berubah datar. "Hei, ada apa dengan ekspresimu itu? Jangan menakuti aku. Kau tidak mungkin puasa selama lima tahun, kan? Rahimmu bisa keriput." Alice meringis. "Tapi itulah kenyataannya. Meskipun dulu aku berpikir kalau Lucas suamiku, aku tidak bisa melakukannya. Aku merasa tidak nyaman dengan sentuhannya." Emma mendesah tak percaya. "Kau sesetia itu kepada Ed? Bahkan di saat kau lupa ingatan, kau masih menjaga kepercayaan darinya?" Alice menaikkan sebelah bahu. "Mungkin." "Kau sungguh luar biasa, Alice. Aku salut padamu." Emma mengacungkan jempol. Alice mengulum senyum, canggung. "Kau terlalu memujiku." "Jangan malu-malu. Kau memang pantas dipuji. Jadi, berapa kali kalian mela