Hwahaha .... Sky ada-ada aja nih, guys. Ngeborong kasur. Mama-nya tidur di mana nanti?
"Astaga, ini terjadi lagi." Edmund menaikkan alis mendengar gumaman itu. Namun, usai menutup pintu dan berbalik, ia langsung mengerti. "Apakah ...,” Edmund ragu sejenak, “kau mau berbagi kasur denganku? Kali ini, aku janji aku akan mengendalikan pikiranku dengan baik. Aku bisa tidur membelakangimu." Alice melirik tanpa menoleh. Kedipan matanya menyiratkan kegugupan. Ia tidak yakin keputusan dalam kepalanya tepat atau tidak. "Oke. Kau mau di sisi kiri atau kanan?" "Kanan." "Kalau begitu, aku di sisi dinding." "Kau mau lampu dimatikan atau dibiarkan menyala?" Alice kembali melirik. "Kurasa, lebih baik kita biarkan menyala." Edmund mengangguk sepakat. Tanpa berlama-lama lagi, mereka naik ke ranjang, berbaring miring dengan punggung saling menghadap. Lima menit pertama, tidak ada seorang pun yang bergerak. Edmund dan Alice sama-sama sibuk mengendalikan pikiran. Lima menit berikutnya, kegelisahan mulai meradang. Mereka beberapa kali bergerak, entah untuk mengatur posisi kepala ata
"Alice? Itu sungguh dirimu?" Pria itu berjalan seperti orang tua yang tertatih-tatih. Tatapannya terkunci pada wajah Alice. "Y-ya. Ini aku," jawab Alice kaku. Tiba-tiba, sang pria menjepit pipinya dengan kedua tangan. Ia memeriksa wajah Alice dari berbagai sudut, mencari sesuatu di sana. "Kau bukan perempuan lain yang menyamar, kan? Wajahmu ini bukan hasil operasi plastik, kan?" Setelah menghela napas, Edmund mengibas-ngibaskan tangannya. "Scott, cukup. Kau membuat istriku tak nyaman. Mundurlah." Bukannya menjauh, Scott malah mendekap Alice dan mengajaknya melompat-lompat. Tawanya meluap bersamaan dengan air mata. "Alice, kau akhirnya kembali. Oh, terima kasih, Tuhan. Ini adalah keajaiban terbesar dalam hidupku!" Sementara Alice meringis memalsukan senyum, Edmund berjuang menarik Scott mundur. Akan tetapi, Scott masih betah memeluk Alice, mengajaknya bergoyang seperti penguin. "Papa, siapa pria ini? Apakah dia sopir yang menjemput kita?" Mendengar suara manis itu, Scott akhirn
"Wah, Paman Ed, ini betul-betul istana!" Mata Sky berbinar menatap interior ruangan yang indah. Pilar-pilar raksasa, tangga yang berukiran emas, dan untaian lampu yang berkilauan—ia suka desainnya. "Kita bisa bermain kejar-kejaran di dalam sini!" Alice sontak melirik sang putri. "Sayang? Kamu tidak boleh berlarian di sini." Sky terkekeh geli. "Ya, aku tahu, Mama. Aku juga takut menyenggol sesuatu. Kalau pecah, aku tidak bisa menggantinya. Aku tidak membawa celengan ayam." Tiba-tiba, suara langkah kaki ramai terdengar. Selang beberapa saat, enam orang wanita datang dari berbagai arah. Mereka semua terkesiap saat melihat Alice dan Sky. Wanita yang tiba paling akhir bahkan sampai mematung dan memucat. "Nyonya Alice?" desahnya tak percaya. Alice tersenyum simpul. Ia memang tidak ingat siapa wanita itu. Namun, Edmund sudah mengingatkan. Mereka dulu sangat akrab dan ia bahkan menganggapnya sebagai seorang ibu. "Apa kabar, Nyonya Klein?" sapanya canggung. Namun, begitu wanita paruh b
Alice tidak tahu malam apa yang Emma maksud, tetapi ia mengangguk. "Ya, dia putriku." Tawa Emma sontak meringankan suasana. Ia mengguncang lengan suaminya, berbisik, "Sayang, kamu benar. Janin Alice memang sangat kuat. Dia sanggup bertahan dan sudah sebesar ini sekarang." Henry menepuk-nepuk punggung tangan istrinya. "Ya, analisisku memang 99% tepat. Senang kau dan putrimu berhasil selamat," ujarnya kepada Alice kemudian. Sementara Alice berterima kasih, Emma berputar menghadap Sky, membungkuk. "Apakah kau mengenalku?" Sky mengangguk. "Kamu Bibi Emma, sahabat terbaik Mama. Karena itu, aku menyiapkan ini untukmu." Sky menyodorkan sebuah bros berwarna hijau lagi kepada Emma. Melihat itu, alis sang wanita berkerut. "Apakah kau sendiri yang membuat ini?" Sky mengangguk. "Ya!" "Anak seusiamu sudah bisa membuat bros secantik ini sendiri?" Emma mempertegas bicaranya. Senyum Sky terkulum. Rasa bangga telah terbit dalam hatinya. "Ya, Bibi." Emma terkesiap takjub. Ia melirik Alice, men
Alice mengembuskan napas cepat. "Maaf, Em. Aku sungguh tidak tahu. Kami tidak melakukannya." Alis Emma tertaut. "Kami siapa? Kau dengan Edmund atau kau dengan Lucas?" Alice menggigit bibir. "Dua-duanya." "Kau bercanda?" Emma tertawa samar. Namun, melihat rona merah di pipi sahabatnya, wajahnya perlahan berubah datar. "Hei, ada apa dengan ekspresimu itu? Jangan menakuti aku. Kau tidak mungkin puasa selama lima tahun, kan? Rahimmu bisa keriput." Alice meringis. "Tapi itulah kenyataannya. Meskipun dulu aku berpikir kalau Lucas suamiku, aku tidak bisa melakukannya. Aku merasa tidak nyaman dengan sentuhannya." Emma mendesah tak percaya. "Kau sesetia itu kepada Ed? Bahkan di saat kau lupa ingatan, kau masih menjaga kepercayaan darinya?" Alice menaikkan sebelah bahu. "Mungkin." "Kau sungguh luar biasa, Alice. Aku salut padamu." Emma mengacungkan jempol. Alice mengulum senyum, canggung. "Kau terlalu memujiku." "Jangan malu-malu. Kau memang pantas dipuji. Jadi, berapa kali kalian mela
"Aku tidak menyiapkan apa-apa, Alice. Inilah keadaan kamarku setiap hari sejak kau dinyatakan tidak punya harapan lagi," terang Edmund. Mata Alice sontak berkaca-kaca. Ia amati foto-foto dirinya yang memenuhi satu sisi dinding yang dibiarkan terbuka. Edmund pun melanjutkan, "Saat itu, aku sangat terpuruk. Scott dan para pelayan merasa iba padaku. Mereka menduplikat semua foto-foto kita dan menempelnya di sini. Mereka berharap kerinduanku dapat terobati." "Lalu stand banner itu?" Alice melirik gambar dirinya dengan ukuran asli yang berdiri di sisi lemari. "Ulah Scott." "Bagaimana dengan barang-barang ini, Paman Ed?" Sky menunjuk sebuah rak pajangan berdinding kaca. Alice menoleh. Ada beraneka barang di situ. Perhiasan, pakaian, sepatu, tiket pesawat, topi, dan banyak lagi. "Semua ini adalah barang-barang yang ingin kuberikan kepadamu," tutur Edmund, menatap Alice dengan senyum penuh haru. "Sekarang karena kau sudah di sini, aku bisa memberikannya kepadamu." "Termasuk bunga yang
"Apakah dia akan menyerangku?" pikir Alice sembari menahan napas. Tangannya mendekap erat di depan dada. Ia merasa jantungnya akan pecah kalau tidak ditekan. Namun, mengetahui Edmund hanya membetulkan selimut, kerut alisnya melonggar. Selang keheningan sejenak, ia akhirnya membuka mata. “Apakah dia sudah naik ke kasur? Kenapa tidak terasa?" pikir Alice, bingung. Perlahan-lahan, ia menoleh ke belakang. Ternyata, lapak di sebelahnya masih kosong. Edmund memilih untuk berbaring di sofa. "Dia tidur di sana? Apakah dia takut aku merasa tak nyaman?" Alice bergeming beberapa saat, berpikir. Sedikit demi sedikit, rasa bersalah mendominasi. Hatinya terenyuh. "Ini kamarnya. Kenapa malah dia yang mengalah?" Alice pun menarik napas berat. "Ed?" panggilnya ragu. Entah karena tidak mendengar atau sudah tidur, Edmund tidak menyahut. "Ed?" panggil Alice, lebih kencang. Sang suami akhirnya membuka mata. "Ya? Apakah kau butuh sesuatu?" "Kenapa kau tidur di situ?" Edmund berkedip-kedip. "Kur
Belum sempat Alice meralat keputusan, sang suami sudah lebih dulu merapat. Tak tahu lagi harus berbuat apa, ia akhirnya memejamkan mata. Tangannya terkepal erat di depan dada, bersiap menghadapi letupan besar dalam jantungnya.Namun, ketika bibir Edmund tiba, ketegangan luntur. Kehangatan perlahan bercampur dengan rasa bingung. Saat ia membuka mata, Edmund menyambutnya dengan senyum."Kenapa kau mengecup keningku?" Alice berbisik."Itu yang selalu kulakukan setiap kali kau tidak bisa tidur. Apakah cukup?"Alice berkedip-kedip dalam diam. Mulutnya yang membuka kesulitan memilih kata. "Kau bilang mau mencicipiku?"Sebelah sudut bibir Edmund terangkat lebih tinggi. "Ya, aku bilang mau mencicipimu, bukan memakanmu. Kau mengharapkan sesuatu yang lebih?"Napas Alice kembali tertahan. Kakinya merapat. "Tidak. Tadinya kupikir kau mau melewati batas.""Bukankah ini melewati batas?" Edmund mengulang kecupan, tetapi di pipi. "Bukankah aturannya aku harus menjaga jarak darimu? Lihat jarak kita se