Kirana sedikit berlari keluar lift menuju meja resepsionis.
“Nin, orangnya mana?” tanyanya cepat.“Di taman kantor, Bu.”“Oke, terima kasih,” ucapnya sekilas melirik sang kakak yang hanya memasang wajah datar semenjak melihatnya.Kirana tak memedulikan hal tersebut, barangkali sang kakak hanya sedang ribet dengan pekerjaannya.Dengan langkah buru-buru, ia menuju taman. Kemudian, mengedarkan pandangan ke segala penjuru saat sudah berada di lobby kantor. Sampai matanya menangkap sosok yang tengah berdiri membelakang menghadap air mancur yang di bawahnya ada kolam ikan mini.Dari kejauhan, Kirana sudah bisa menebak siapa orang itu? Ia sangat mengenalinya meski sekarang pakai topi dan juga tongkat.Helaan napas berat dikeluarkan Kirana. Segala gundah kian menyerang hati kecilnya. Pria itu, entah ada urusan apa sampai nekat menemuinya di kantor?Kirana sendiri tak habis pikir. Bukankah sudah tidak ada lagi yang“Na, untuk apa tadi Rey menemuimu?” tanya Jihan, saat mobil sudah melaju membawa mereka pulang ke rumah sore itu. Kirana menoleh sebentar ke arah Jihan. Lantas, menjawab, “Gak ada apa-apa, Kak.”Jihan memicing tak percaya. Manalah mungkin tak ada apa-apa, sedangkan pasca pertemuan mereka tadi pagi, Kirana kembali ke ruangan dengan wajah kusutnya. Jangan lupakan, Jihan juga mengamati, tetapi hanya diam. “Gak ada apa-apa, tapi wajahmu kusut sedari tadi, Na.”Satu tarikan napas dilakukan Kirana. Menyangkut hal itu, semenjak pertemuan dengan Rey, pikirannya memang jadi tak karuan. Dia lebih banyak melamun daripada bekerja. Apa-apa, ia tak fokus. Sejujurnya, Kirana takut jika Rey akan nekat melakukan yang lebih dari sekadar menemuinya. Sudah banyak kejadian, cinta mati yang berujung malapetaka. “Dia datang dan mengatakan kalau masih menungguku sampai sekarang, Kak. Dan Kakak tau? Dia mengaku akan masuk islam demi aku.”Kirana memijat keningnya. Tergambar jelas di wajahnya sirat kebingu
Kirana baru saja keluar dari kamar mandi saat ponselnya yang berada di atas kasur berbunyi. Buru-buru, ia mengeringkan wajah dengan handuk mini sembari meraih benda pipih ber-softcase warna biru langit itu.Seutas senyum pun merekah dari bibir gadis pemilik mata almond tersebut tatkala mendapati nama suaminya melakukan panggilan video. Segera, ia naik ke atas kasur dan tengkurap di sana setelah menggeser icon warna hijau pada benda berbentuk persegi itu. Detik kemudian, layar 6 inci tersebut menampilan wajah Dzaka yang tampan rupawan di seberang sana. “Hei, Sayang. Udah mau tidur, ya?”“Belum, Mas. Ini baru selesai bersih-bersih.” “Oh. Maaf karena baru bisa menghubungimu sekarang,” ujar Dzaka dengan raut bersalahnya.Kirana tersenyum tipis. “Gak apa-apa, Mas. Aku maklum karena kamu sibuk. Semangat terus di sana, biar kerjaannya cepat beres.”Dzaka mengangguk dari balik layar. Ekspresi wajahnya seketika memelas, tak su
Dina terpaku dalam diam manakala melihat sosok pemuda yang baru tadi malam membuatnya terbang tinggi kini seperti sengaja menghempasnya ke jurang paling dalam.Entah membahas apa? Dina tak sampai mendengarnya. Hanya saja, gerak-gerik tubuh mereka menjelaskan sikap santai, terkadang serius. Bersama dengan itu, hatinya seakan dihantam bom molotov yang sudah didesain untuk membunuhnya. Ada rasa perih menyanyat dan tentu dengan sakit yang tak bisa didefinisikan rasanya. “Semisal, jodoh kamu itu aku? Kamu gimana?”“Maksudnya gimana, Mas?” tanya Dina. Ia benar-benar tak paham arah pembicaraan Fikri. “Ya, ketika aku mengatakannya, mungkin ini terlalu cepat untuk kita yang baru mengenal dekat seperti ini. Tapi, jika boleh ... aku ingin punya hubungan serius denganmu.”Dina melongo. Pikirannya hanya bisa menduga-duga karena masih tak mencerna. Tiba-tiba saja, kinerja otaknya jadi berantakan. “Kamu mau jadi istriku?” tanya Fik
Langkah Dzaka yang panjang membuat Kirana kewalahan untuk mengejarnya. Belum sempat, ia menggapai sang suami, tetapi pria itu sudah berhasil masuk ke mobil hingga menancap gas dengan kecepatan tinggi. Kirana membuang napas kasar, sekilas menutup wajah gusar, lantas menormalisasi perasaannya yang sedang gundah. Setidaknya, ia cukup panik dengan dengan keadaan yang terlalu cepat berubah. Dzaka yang diketahui masih berada di luar kota, datang dan melihatnya bersama Rey. Dzaka pasti benar-benar marah padanya, bahkan untuk mendengar penjelasannya saja pun enggan. Kirana mengutak-atik ponsel untuk memesan taksi online. Ia akan menyelesaikan masalahnya dengan Dzaka sesegera mungkin. “Kirana, apa dia marah karena melihatmu bersamaku?” tanya Rey yang sudah berdiri di dekat Kirana. Kirana menarik napas pelan, lalu menutup mata sebentar. “Maybe. Aku yang salah karena tak izin padanya,” lirih Kirana. “Memangnya harus banget
Saat hari sudah mulai beranjak malam, Dzaka baru keluar dari sebuah warkop. Sedari tadi siang, ia memutuskan menenangkan diri dan juga mengerjakan pekerjaan kantor di warkop itu. Jujur, meski sekarang sudah sedikit tenang, tetapi rasa kecewa pada istrinya sama sekali belum hilang. Melihat peristiwa tadi siang membuat Dzaka merasa bahwa Kirana seperti tak menganggapnya ada. Sejatinya, Dzaka tak marah, tetapi yang ia inginkan dari Kirana minimal meminta izin padanya sebagai bentuk menghargainya sebagai suami. Terlepas dari apa tujuan pertemuan mereka, Dzaka tetap ingin Kirana mengatakannya. Dzaka melihat jam tangannya, kemudian bangkit dan menaikkan ransel di punggung. Walaupun, teramat kecewa pada sang istri, ia juga tak ingin membuat Kirana beserta orang rumah khawatir keberadaannya yang sengaja menghilang dari peredaran beberapa saat. Ia pun yakin bahwa Kirana sudah pasti menghubunginya berulang kali, tetapi dia sengaja mematikan ponsel.
Dzaka sudah selesai bersiap ketika Kirana masih berada di kamar mandi. Pagi ini, ia memilih berangkat lebih dulu, masih enggan bersama Kirana. Rasa kecewa yang mendominasi menancap sempurna di hatinya.Dengan langkah cepat, ia keluar kamar sebelum Kirana menyelesaikan aktivitas semedinya. “Loh, sudah mau berangkat, Nak?” tanya Wulan sepasang kaki Dzaka sudah menjejaki anak tangga paling bawah. Dzaka mengangguk dan tak lupa melempar sebuah senyum pada mertuanya itu. “Aku ada pekerjaan penting yang harus segera diselesaikan di kantor, Bu,” ucapnya berbohong. Wulan mengangguk seolah paham. Padahal, hati kecilnya tahu kalau Dzaka sengaja menghindari Kirana. “Ya sudah. Sarapan dulu, Nak.”“Tidak perlu, Bu. Gak keburu soalnya.” Dzaka menolak secara halus. “Aku pamit ya, Bu.”Dzaka meraih tangan Wulan untuk diciumnya dengan takzim. Setelahnya, ia berlalu. Tetapi, saat berada di teras langkahnya terhenti karen Wula
“Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga hari ini kita dapat berkumpul di tempat ini dalam rangka melaksanakan rapat tahunan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan.”Kirana membuka rapat dengan suasana jantung yang berdetak cepat. Sebelas dua belas saat menghadapi ujian skripsi. Dengan itu, ia terbiasa memegang pulpen sebagai pengalihan isu kecanggungannya. Sesekali, melihat Dzaka yang kerap didapati memandangnya seolah memberi semangat. “Yang saya hormati Bapak Dzaka Hakeem selaku pimpinan perusahaan dan yang saya hormati pula Bapak Ibu manajer divisi yang hadir dalam rapat ini.”“Baiklah, saya akan membacakan agenda rapat hari ini, yakni dimulai dari pembukaan, pengarahan dari Bapak Dzaka Hakeem, laporan dari setiap manajer divisi, dilanjutkan dengan pembahasan inti rapat serta sesi tanya jawab, dan yang terakhir pen
“Din, kenapa akhir-akhir ini kau sepertinya menghindariku?” tanya Fikri. Sore itu, sepulang dari kantor, ia sengaja mendatangi kos Dina untuk meminta penjelasan. Fikri merasa tak pernah melakukan kesalahan, tetapi Dina seakan menghindarinya begitu saja.Tidak akan ada asap kalau tak ada api.Dina juga tak pernah mau mengobrol panjang dengan Fikri. Terlihat jelas caranya menghindari Fikri dari gerak-geriknya. “Kalau kamu belum bisa menerima lamaranku, gak seharusnya juga kamu menghindariku, Din. Apa ada yang salah dariku?” tanya Fikri. Ekspresinya penuh tanda tanya. Dina menunduk, sesekali memejamkan mata. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, sebenarnya ia tak punya alasan untuk menolak Fikri. Tapi, jika menerima, apakah tak ada hati lain yang tersakiti? Perihal menghindar, ia memang sengaja melakukannya karena tak ingin semakin dalam menaruh rasa. “Maaf, Mas. Aku hanya tidak ingin terlalu dalam berharap pada Mas Fi