Tawa Fikri meledak mendengar pertanyaan sahabatnya itu. Ia tak habis thinking dengan pikiran Dzaka kali ini. Niatnya baik, tapi Fikri justru takut malah jadi beban.
“Bagaimana bisa seorang direktur perusahaan furniture ternama akan buang-buang waktu untuk hal yang tidak penting?” Fikri mengernyit. “Kurasa, tawaran Anda tak terlalu penting, Tuan. Lagian, wanita mana yang berminat pada pria sepertiku? Bukankah sekarang hanya persoalan materi?”“Tidak semua perempuan seperti itu, Fik. Kau hanya kurang percaya diri,” ujar Dzaka. “Ayolah, kamu juga harus memikirkan masa depanmu. Apa kau tidak ingin hari tuamu ditemani oleh orang yang kamu cintai?”Fikri bergeming. Sungguh, pada yang demikian itu ia juga pernah memikirkannya. Sangat indah jika membayangkannya memang. Tapi, apakah kenyataannya akan seindah dalam bayangan?Setelah menjatuhkan hati pada orang yang sama dengan sahabatnya, Fikri tak lagi pernah berpikir untuk jatuh cinta. Ia tak ingin sakiDzaka melebarkan mata, dia beralih menghempaskan bokong di dekat istrinya. Menatap tajam seolah meminta penjelasan Kirana yang berlagak biasa saja, seolah tak ada apa-apa.Ya, Dzaka memang tak pernah tahu jika Jihan sebenarnya bukanlah saudara kandung Kirana. Mereka dirawat oleh Ibu yang sama, tetapi tak berasal dari rahim yang sama. “Kamu gak pernah memberitahuku soal itu, Na.” Dzaka menatap lekat dan terperinci wajah istrinya dari samping.Kirana menoleh dan pandangan mereka bertemu sebentar. Berakhir, karena Kirana memilih melihat ke arah lain. “Kau tak pernah bertanya tentang itu,” ujar Kirana santai. “Aku pikir kakak kandung, melihat kamu terlalu peduli padanya. Aku tak pernah melihat ada orang lain dalam keluarga kalian.” Dzaka mengembuskan napas pelan. “Kami sudah menganggapnya keluarga, bukan orang lain. Meskipun gak lahir dari Ibu yang sama, aku sangat menghargainya sebagai seorang kakak.”“Udahlah, Mas. Ga
“Fikri, Ibumu ....” Wanita paruh baya itu seakan tak mampu untuk melanjutkan ucapannya. Dia menangis memeluk tubuh mungil yang menatap sayu dirinya. Fikri yang baru datang bermain seolah mencari tahu apa yang sedang terjadi lewat sorot mata wanita di hadapannya.“Ibu kenapa, Bibi?” tanya Fikri. Wajah polosnya kian penasaran dan seperti ada pancaran ketakutan di sana. “Ibumu meninggal bunuh diri, Nak.”Bola mata Fikri kecil itu membola. Ia menggeleng tak percaya. Matanya kian basah. Detik setelahnya, dia berlari cepat memasuki rumah.Tubuh kecilnya seketika beku tatkala melihat jasad yang terlentang kaku. Sesaat, ia mengedarkan pandangan ke arah lain. Melihat wajah sang ayah yang menunduk, sesekali mengusap air mata. Kejadian itu terus menari di benak Fikri. Air matanya kian lolos membasahi pipi, tetapi dihapus dengan sigap. Diganti dengan senyuman miris. Semenjak kematian ibunya, Fikri tak lagi pernah melihat bagaima
Gadis berhijab biru navy itu berlari menaiki anak tangga, sesekali melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tak habis thinking dengan dirinya yang bisa-bisanya terlambat bangun pagi. Alhasil, dia harus berpacu dengan kecepatan di luar batas agar bisa datang ke tempat tepat waktu. Dalam pikirannya, terbayang wajah atasan yang marah karena keterlambatannya. Walaupun, sebenarnya dia tahu kalau Bu Hafizah tak akan memarahinya dengan perkara terlambat lima belas menit. Tapi, aturan perusahaan yang sangat-sangat di luar nurul mesti dihindarinya. Karyawan yang terlambat, diwajibkan untuk lembur. Sudah semacam aturan yang berdosa ketika dilanggar. Ia tentu malas berada di ruangan besar itu sendirian. Bagaimana kalau ada kuyang?Terlalu buru-buru, hingga Dina tak menyadari seorang pria berjas hitam baru saja keluar dari lift pimpinan. Brak!Dia menabraknya dan merasakan bahunya berdenyut karena bertubrukan keras dengan bahu pria itu.
Jihan meneguk ludah dalam-dalam. Ia seperti sedang berada dalam kebimbangan yang sangat rumit untuk ditafsirkan. Dirinya teramat bingung dengan apa yang dirasakan sekarang. Perihal suka? Hati kecilnya belum merasakannya. Getaran-getaran cinta yang mungkin katanya bisa mengubek-ubek hati ketika menyukai seseorang sepertinya belum tumbuh. Namun, herannya karena dia memang merasakan ada sesuatu yang mendominasi ketertarikan pada pria yang diketahui adalah bawahan Dzaka. Walaupun, rasa tertarik itu hanya sedikit.Entahlah, Jihan tidak tahu hal itu adalah sebuah kekaguman semata atau karena memang hatinya punya maksud lain. Satu hal yang diakui, dia kerap merasa tenang dan nyaman tatkala berada di dekat pria pemilik mata sipit itu.Jihan merasa, pria itu berbeda. Jikapun sama saja dengan pria lain, mengapa kala itu ia menolak memakai jasanya. Padahal, sudah ditawari. Bagi Jihan, jarang ada pria yang menolak kesempatan yang diberikan, apalagi kesempatan yang je
“Tubuhmu belum pulih, Kak. Tolong jangan banyak bergerak dulu.“ Raya menghalangi Rey yang tengah melangkah dengan cepat meski sedikit tertatih keluar rumah. Rey berhenti. Tatapannya tajam dan lurus ke depan. Tersirat sebuah tekad yang membara laksana api perjuangan yang berkobar. “Aku akan pergi memperjuangkan cintaku.“Raya melongo keheranan mendengar respons Rey yang menurutnya suka ngelantur pasca kecelakaan yang dialaminya, juga semakin sulit dihalangi, walau untuk sekadar diberi saran.Meski begitu, Raya sejatinya paham ke mana arah pembicaraan Rey. Hanya perkara itu, Rey menjelma bak pecundang.“Kak, mau sampai kapan kayak gini terus, haa? Sadar, Kak. Cintamu sudah pergi. Tolong, berhenti untuk mati-matian berusaha menggapainya. Kamu tak akan mampu.“ Nada suara Raya naik setengah oktaf. Berharap membuat Rey sadar dengan kekeliruannya yang semakin tersesat.“Aku tau dia tidak bahagia, Raya. Kalaupun dia menunjukkan kebahagiaannya di depan publik. Itu hanya pura-pura. Mana ada pe
Kirana sedikit berlari keluar lift menuju meja resepsionis. “Nin, orangnya mana?” tanyanya cepat.“Di taman kantor, Bu.”“Oke, terima kasih,” ucapnya sekilas melirik sang kakak yang hanya memasang wajah datar semenjak melihatnya. Kirana tak memedulikan hal tersebut, barangkali sang kakak hanya sedang ribet dengan pekerjaannya. Dengan langkah buru-buru, ia menuju taman. Kemudian, mengedarkan pandangan ke segala penjuru saat sudah berada di lobby kantor. Sampai matanya menangkap sosok yang tengah berdiri membelakang menghadap air mancur yang di bawahnya ada kolam ikan mini. Dari kejauhan, Kirana sudah bisa menebak siapa orang itu? Ia sangat mengenalinya meski sekarang pakai topi dan juga tongkat. Helaan napas berat dikeluarkan Kirana. Segala gundah kian menyerang hati kecilnya. Pria itu, entah ada urusan apa sampai nekat menemuinya di kantor? Kirana sendiri tak habis pikir. Bukankah sudah tidak ada lagi yang
“Na, untuk apa tadi Rey menemuimu?” tanya Jihan, saat mobil sudah melaju membawa mereka pulang ke rumah sore itu. Kirana menoleh sebentar ke arah Jihan. Lantas, menjawab, “Gak ada apa-apa, Kak.”Jihan memicing tak percaya. Manalah mungkin tak ada apa-apa, sedangkan pasca pertemuan mereka tadi pagi, Kirana kembali ke ruangan dengan wajah kusutnya. Jangan lupakan, Jihan juga mengamati, tetapi hanya diam. “Gak ada apa-apa, tapi wajahmu kusut sedari tadi, Na.”Satu tarikan napas dilakukan Kirana. Menyangkut hal itu, semenjak pertemuan dengan Rey, pikirannya memang jadi tak karuan. Dia lebih banyak melamun daripada bekerja. Apa-apa, ia tak fokus. Sejujurnya, Kirana takut jika Rey akan nekat melakukan yang lebih dari sekadar menemuinya. Sudah banyak kejadian, cinta mati yang berujung malapetaka. “Dia datang dan mengatakan kalau masih menungguku sampai sekarang, Kak. Dan Kakak tau? Dia mengaku akan masuk islam demi aku.”Kirana memijat keningnya. Tergambar jelas di wajahnya sirat kebingu
Kirana baru saja keluar dari kamar mandi saat ponselnya yang berada di atas kasur berbunyi. Buru-buru, ia mengeringkan wajah dengan handuk mini sembari meraih benda pipih ber-softcase warna biru langit itu.Seutas senyum pun merekah dari bibir gadis pemilik mata almond tersebut tatkala mendapati nama suaminya melakukan panggilan video. Segera, ia naik ke atas kasur dan tengkurap di sana setelah menggeser icon warna hijau pada benda berbentuk persegi itu. Detik kemudian, layar 6 inci tersebut menampilan wajah Dzaka yang tampan rupawan di seberang sana. “Hei, Sayang. Udah mau tidur, ya?”“Belum, Mas. Ini baru selesai bersih-bersih.” “Oh. Maaf karena baru bisa menghubungimu sekarang,” ujar Dzaka dengan raut bersalahnya.Kirana tersenyum tipis. “Gak apa-apa, Mas. Aku maklum karena kamu sibuk. Semangat terus di sana, biar kerjaannya cepat beres.”Dzaka mengangguk dari balik layar. Ekspresi wajahnya seketika memelas, tak su