Gadis berhijab biru navy itu berlari menaiki anak tangga, sesekali melihat jam di pergelangan tangannya. Ia tak habis thinking dengan dirinya yang bisa-bisanya terlambat bangun pagi. Alhasil, dia harus berpacu dengan kecepatan di luar batas agar bisa datang ke tempat tepat waktu.
Dalam pikirannya, terbayang wajah atasan yang marah karena keterlambatannya. Walaupun, sebenarnya dia tahu kalau Bu Hafizah tak akan memarahinya dengan perkara terlambat lima belas menit.Tapi, aturan perusahaan yang sangat-sangat di luar nurul mesti dihindarinya. Karyawan yang terlambat, diwajibkan untuk lembur. Sudah semacam aturan yang berdosa ketika dilanggar. Ia tentu malas berada di ruangan besar itu sendirian.Bagaimana kalau ada kuyang?Terlalu buru-buru, hingga Dina tak menyadari seorang pria berjas hitam baru saja keluar dari lift pimpinan.Brak!Dia menabraknya dan merasakan bahunya berdenyut karena bertubrukan keras dengan bahu pria itu.Jihan meneguk ludah dalam-dalam. Ia seperti sedang berada dalam kebimbangan yang sangat rumit untuk ditafsirkan. Dirinya teramat bingung dengan apa yang dirasakan sekarang. Perihal suka? Hati kecilnya belum merasakannya. Getaran-getaran cinta yang mungkin katanya bisa mengubek-ubek hati ketika menyukai seseorang sepertinya belum tumbuh. Namun, herannya karena dia memang merasakan ada sesuatu yang mendominasi ketertarikan pada pria yang diketahui adalah bawahan Dzaka. Walaupun, rasa tertarik itu hanya sedikit.Entahlah, Jihan tidak tahu hal itu adalah sebuah kekaguman semata atau karena memang hatinya punya maksud lain. Satu hal yang diakui, dia kerap merasa tenang dan nyaman tatkala berada di dekat pria pemilik mata sipit itu.Jihan merasa, pria itu berbeda. Jikapun sama saja dengan pria lain, mengapa kala itu ia menolak memakai jasanya. Padahal, sudah ditawari. Bagi Jihan, jarang ada pria yang menolak kesempatan yang diberikan, apalagi kesempatan yang je
“Tubuhmu belum pulih, Kak. Tolong jangan banyak bergerak dulu.“ Raya menghalangi Rey yang tengah melangkah dengan cepat meski sedikit tertatih keluar rumah. Rey berhenti. Tatapannya tajam dan lurus ke depan. Tersirat sebuah tekad yang membara laksana api perjuangan yang berkobar. “Aku akan pergi memperjuangkan cintaku.“Raya melongo keheranan mendengar respons Rey yang menurutnya suka ngelantur pasca kecelakaan yang dialaminya, juga semakin sulit dihalangi, walau untuk sekadar diberi saran.Meski begitu, Raya sejatinya paham ke mana arah pembicaraan Rey. Hanya perkara itu, Rey menjelma bak pecundang.“Kak, mau sampai kapan kayak gini terus, haa? Sadar, Kak. Cintamu sudah pergi. Tolong, berhenti untuk mati-matian berusaha menggapainya. Kamu tak akan mampu.“ Nada suara Raya naik setengah oktaf. Berharap membuat Rey sadar dengan kekeliruannya yang semakin tersesat.“Aku tau dia tidak bahagia, Raya. Kalaupun dia menunjukkan kebahagiaannya di depan publik. Itu hanya pura-pura. Mana ada pe
Kirana sedikit berlari keluar lift menuju meja resepsionis. “Nin, orangnya mana?” tanyanya cepat.“Di taman kantor, Bu.”“Oke, terima kasih,” ucapnya sekilas melirik sang kakak yang hanya memasang wajah datar semenjak melihatnya. Kirana tak memedulikan hal tersebut, barangkali sang kakak hanya sedang ribet dengan pekerjaannya. Dengan langkah buru-buru, ia menuju taman. Kemudian, mengedarkan pandangan ke segala penjuru saat sudah berada di lobby kantor. Sampai matanya menangkap sosok yang tengah berdiri membelakang menghadap air mancur yang di bawahnya ada kolam ikan mini. Dari kejauhan, Kirana sudah bisa menebak siapa orang itu? Ia sangat mengenalinya meski sekarang pakai topi dan juga tongkat. Helaan napas berat dikeluarkan Kirana. Segala gundah kian menyerang hati kecilnya. Pria itu, entah ada urusan apa sampai nekat menemuinya di kantor? Kirana sendiri tak habis pikir. Bukankah sudah tidak ada lagi yang
“Na, untuk apa tadi Rey menemuimu?” tanya Jihan, saat mobil sudah melaju membawa mereka pulang ke rumah sore itu. Kirana menoleh sebentar ke arah Jihan. Lantas, menjawab, “Gak ada apa-apa, Kak.”Jihan memicing tak percaya. Manalah mungkin tak ada apa-apa, sedangkan pasca pertemuan mereka tadi pagi, Kirana kembali ke ruangan dengan wajah kusutnya. Jangan lupakan, Jihan juga mengamati, tetapi hanya diam. “Gak ada apa-apa, tapi wajahmu kusut sedari tadi, Na.”Satu tarikan napas dilakukan Kirana. Menyangkut hal itu, semenjak pertemuan dengan Rey, pikirannya memang jadi tak karuan. Dia lebih banyak melamun daripada bekerja. Apa-apa, ia tak fokus. Sejujurnya, Kirana takut jika Rey akan nekat melakukan yang lebih dari sekadar menemuinya. Sudah banyak kejadian, cinta mati yang berujung malapetaka. “Dia datang dan mengatakan kalau masih menungguku sampai sekarang, Kak. Dan Kakak tau? Dia mengaku akan masuk islam demi aku.”Kirana memijat keningnya. Tergambar jelas di wajahnya sirat kebingu
Kirana baru saja keluar dari kamar mandi saat ponselnya yang berada di atas kasur berbunyi. Buru-buru, ia mengeringkan wajah dengan handuk mini sembari meraih benda pipih ber-softcase warna biru langit itu.Seutas senyum pun merekah dari bibir gadis pemilik mata almond tersebut tatkala mendapati nama suaminya melakukan panggilan video. Segera, ia naik ke atas kasur dan tengkurap di sana setelah menggeser icon warna hijau pada benda berbentuk persegi itu. Detik kemudian, layar 6 inci tersebut menampilan wajah Dzaka yang tampan rupawan di seberang sana. “Hei, Sayang. Udah mau tidur, ya?”“Belum, Mas. Ini baru selesai bersih-bersih.” “Oh. Maaf karena baru bisa menghubungimu sekarang,” ujar Dzaka dengan raut bersalahnya.Kirana tersenyum tipis. “Gak apa-apa, Mas. Aku maklum karena kamu sibuk. Semangat terus di sana, biar kerjaannya cepat beres.”Dzaka mengangguk dari balik layar. Ekspresi wajahnya seketika memelas, tak su
Dina terpaku dalam diam manakala melihat sosok pemuda yang baru tadi malam membuatnya terbang tinggi kini seperti sengaja menghempasnya ke jurang paling dalam.Entah membahas apa? Dina tak sampai mendengarnya. Hanya saja, gerak-gerik tubuh mereka menjelaskan sikap santai, terkadang serius. Bersama dengan itu, hatinya seakan dihantam bom molotov yang sudah didesain untuk membunuhnya. Ada rasa perih menyanyat dan tentu dengan sakit yang tak bisa didefinisikan rasanya. “Semisal, jodoh kamu itu aku? Kamu gimana?”“Maksudnya gimana, Mas?” tanya Dina. Ia benar-benar tak paham arah pembicaraan Fikri. “Ya, ketika aku mengatakannya, mungkin ini terlalu cepat untuk kita yang baru mengenal dekat seperti ini. Tapi, jika boleh ... aku ingin punya hubungan serius denganmu.”Dina melongo. Pikirannya hanya bisa menduga-duga karena masih tak mencerna. Tiba-tiba saja, kinerja otaknya jadi berantakan. “Kamu mau jadi istriku?” tanya Fik
Langkah Dzaka yang panjang membuat Kirana kewalahan untuk mengejarnya. Belum sempat, ia menggapai sang suami, tetapi pria itu sudah berhasil masuk ke mobil hingga menancap gas dengan kecepatan tinggi. Kirana membuang napas kasar, sekilas menutup wajah gusar, lantas menormalisasi perasaannya yang sedang gundah. Setidaknya, ia cukup panik dengan dengan keadaan yang terlalu cepat berubah. Dzaka yang diketahui masih berada di luar kota, datang dan melihatnya bersama Rey. Dzaka pasti benar-benar marah padanya, bahkan untuk mendengar penjelasannya saja pun enggan. Kirana mengutak-atik ponsel untuk memesan taksi online. Ia akan menyelesaikan masalahnya dengan Dzaka sesegera mungkin. “Kirana, apa dia marah karena melihatmu bersamaku?” tanya Rey yang sudah berdiri di dekat Kirana. Kirana menarik napas pelan, lalu menutup mata sebentar. “Maybe. Aku yang salah karena tak izin padanya,” lirih Kirana. “Memangnya harus banget
Saat hari sudah mulai beranjak malam, Dzaka baru keluar dari sebuah warkop. Sedari tadi siang, ia memutuskan menenangkan diri dan juga mengerjakan pekerjaan kantor di warkop itu. Jujur, meski sekarang sudah sedikit tenang, tetapi rasa kecewa pada istrinya sama sekali belum hilang. Melihat peristiwa tadi siang membuat Dzaka merasa bahwa Kirana seperti tak menganggapnya ada. Sejatinya, Dzaka tak marah, tetapi yang ia inginkan dari Kirana minimal meminta izin padanya sebagai bentuk menghargainya sebagai suami. Terlepas dari apa tujuan pertemuan mereka, Dzaka tetap ingin Kirana mengatakannya. Dzaka melihat jam tangannya, kemudian bangkit dan menaikkan ransel di punggung. Walaupun, teramat kecewa pada sang istri, ia juga tak ingin membuat Kirana beserta orang rumah khawatir keberadaannya yang sengaja menghilang dari peredaran beberapa saat. Ia pun yakin bahwa Kirana sudah pasti menghubunginya berulang kali, tetapi dia sengaja mematikan ponsel.