"Sean." Satu kata yang keluar dari mulut Emily, dia masih menatap layar ponselnya."Apa maksudmu, Emily?"Emily menyodorkan ponselnya. "Dia .... menghubungiku.""Biar aku yang angkat." Dayana ingin merebut, tapi ditahan Emily."Biarkan saja. Aku juga tidak tertarik bicara dengannya." Emily meletakkan ponselnya di meja."Bagus kalau kamu bertindak benar. Dan blokir segera nomornya. Dia pasti akan mengatakan kata manis untuk membuat hatimu melayang. Dan setelah itu dihempas jauh ke dasar jurang. Klasik!" Dayana menggeram.Ponsel itu masih terus berdering sekian kali. Hati Emily sampai hampir goyah ingin mengangkatnya. Dulu, dia tak pernah membiarkan Sean menunggu lama."Huuuff....." Emily menghembus nafasnya."Aku akan memblokirnya. Dia sangat agresif. Menyebalkan!" Dayana mengambil ponsel itu."Jangan sekarang. Aku tidak mau dia berpikir aku terganggu olehnya." Emily merebut ponselnya."Ok, terserah padamu.""Aku akan ke kamar. Beri tahu Axel jangan main game terlalu lama." Wanita itu
Nafas Axel sesak. Dia memegang dadanya. Wajahnya kian merah. "Axel! Apa yang terjadi?!" Sean tak menunggu jawaban dan respon yang lain. Dia cepat mengangkat anaknya. "Siapkan mobil!" teriaknya, dia berlari. Wajahnya penuh kecemasan dan ketakutan.Mobil melaju dan dalam lajuan. Sean terus mendekap Axel sambil mengusap punggung anaknya. "Tenang, ada papa. Tahan sebentar kita akan segera sampai di rumah sakit.""Hah hah hah!" Axel menggaruk tangan dan wajahnya."Jangan digaruk, Sayang. Nanti kamu akan membaik." Sean memegang tangan anaknya."Ah ... gatal." "Cepat!" teriak Sean.Selang beberapa saat. Mereka tiba di rumah sakit.Sean berlari menggendong Axel ke UGD. "Cepat tangani anakku!" teriaknya.Dokter dan perawat menghambur pada brankar Axel. Mereka tahu siapa Sean."Cepat! Dia sudah kesakitan!" seru Sean. Nafasnya terengah cemas. Dia agak mundur, tapi tidak meninggalkan Axel.Dugaan Sean, Axel juga seperti dirinya, alergi udang. Gejalanya sama dan dia tidak tega anak itu sedang
Di dalam sebuah bilik kamar kecil. Emily membekap dan menekan kuat mulutnya. Air matanya berderai. Kata-kata Sean kembali menjadi belati yang mengoyak hati Emily. Rasa tak rela dan kecewa, saat Sean seolah membela dan ingin menyelamatkan Felisha.'Ternyata aku yang terlalu berharap. Aku kira kamu memang menyesal telah menyakitiku dan ingin merubah sikapmu, tapi semua fatamorgana.'Pasokan oksigen disekitar seolah makin menipis. Dada Emily berat dan sesak seperti ada yang menghujam. Pikiran sensitif-nya bergerak tak terarah.'A-apa dia mendekatiku untuk mengambil Axel? Setelah itu dia akan menyingkirkanku lagi? Aku paham siapa Sean. Dia sangat pintar membuat alibi berakting lembut dan manis. Lalu, setelah itu .... Tidak! Jangan sampai Axel terpengaruh padanya!'Sekian saat, Emily kembali ke ruang rawat anaknya. Wajahnya sudah dibasuh. Dia juga menarik senyum lebar, agar raut wajahnya tampak segar."Mama." Axel mencari sosok lain yang tadi keluar bersama ibunya. "Kemana pria itu?""Pa
"Apa Mama mau menghadiri pesta ini?" Axel mencegat ibu dan tantenya dengan menunjukkan undangan pesta.Dayana membelalak. Perasaan dia sudah menyelipkan di tempat yang aman, bagaimana anak itu bisa menemukannya?Sedang Emily mengerutkan dahi, dia juga belum tahu undangan apa itu."Ah, tante emang belum ngomong sama Mamamu. rencana mau bilang hari ini." Dayana merebut undangan itu. Padahal aslinya sengaja ingin menyembunyikannya dari Emily agar tidak menghadiri pestanya."Coba lihat! Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin, bagaimana jika ini hal penting?""Bukan hal penting, tapi jebakan. Sean membuat pesta untuk dirinya sendiri." Dayana menyodorkan undangan itu. "Sean? Undangan itu darinya? Pantas Tante menyembunyikannya," celetuk Axel."Diam kamu, Bocah! Tante mau menyelamatkan dini Mamamu. Apa kamu tidak cemas jika terjadi suatu di pesta itu? Sudah lupa dengan pesta terakhir dan Mamamu pulang dalam keadaan basah kuyup? Dasar bocah sok tahu!" Dayana mendengkus.Axel diam, benar yan
Langkah seorang wanita berbalut gaun maroon tanpa lengan tertahan kala mendengar Sean mendeklarasikan hal mencengangkan. Wanita itu mengepal tangan, meski pergelangan tangannya masih berbalut perban. 'Kurang ajar! Emily, kamu tidak akan aku lepas kali ini!' Felisha nekat datang saat mendapat kabar pesta kesuksesan Sean. Dia tidak hanya ingin bertemu dengan Sean yang terus menghindar, tapi ingin muncul pada publik sebagai tunangan Sean.'Sean! Kamu jahat sekali. Aku sudah banyak berkorban untukmu. Bertahun-tahun aku bertahan, tapi kamu mencampakkanku begitu saja.'Wanita itu mundur, bukan untuk pergi. Satu sudut bibirnya terangkat dengan mata tajam yang berkaca. Di podium. Beberapa rekan bisnis dan wartawan yang berpenampilan bak pengusaha maju."Bagaimana soal berita perceraian yang beredar?""Bukankah istri Anda sudah meninggal dalam kecelakaan enam tahun yang lalu?""Setahu kami, Anda juga sudah bertunangan dengan seorang model, yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan publik?"Mere
Argh! Rencanaku hampir berhasil. Apa Sean akan menyadarinya dan dia yang ambil peran? Haish!" Felisha mengangkat gelas kosong itu mau melempar."Kenapa marah, Nona cantik. Jangan sampai kecantikanmu sia-sia hanya karena dia tidak melihatmu." Seorang pria mendekat menahan gelas yang hampir terlempar.Felisha mulai merasa ada yang tidak beres pada tubuhnya. Gelenyar panas mulia terasa dan terus merambat. Dia memicing. "Biantara. Aku nggak ada urusan denganmu! Tahu apa kamu soal hubunganku?!" Nafasnya berat menderu."Kita bicara dari hati ke hati dan dari mulut ke mulut. Ayolah, Felish, jangan terus menolakku. Aku bahkan lebih tampan dari Sean." Biantara menyapu bahu Felisha.Felisha mendesis merasakan sapuan itu. "Ah, Bian. Kamu-shitt." Wanita itu mulai hilang kendali.Biantara mengernyit. "Felish, apa yang terjadi padamu? Apa kamu ...?" Pria itu merengkuh pinggang Felisha dan menariknya berhimpit."Bian, bawa aku pergi!" Felisha menggerang sambil menyapu dada Biantara.Biantara terseny
"Benarkah sudah cukup?" Sean melihat dirinya dan beberapa paper bag dan kantong plastik."Anda sudah sempurna dan bawaan kita juga sudah sesuai standar menu beberapa sarapan. Nyonya Emily dan tuan Axel bisa memilih sendiri nanti."Dia pasti suka. Aku membawa semua kesukaannya." Sean tersenyum menatap jajaran kantong itu.Pria dengan balutan kemeja putih itu mulai melangkah tegas. Dia ingin Emily teringat sepenggal kisah manis mereka berdua.Dulu, sebelum menikah. Mereka selalu sarapan satu meja. Dan pria itu yang menyajikan di atas piring Emily. Setiap saat dia terus menciptakan moment melayang hingga rasa yang dalam.Mobil melaju. Sean terus menatap arlojinya. "Cepat sedikit, Dario. Emily tidak bisa sarapan kesiangan."Dario menambah kecepatan.Sedang di rumah Emily. Dayana membuka pintu kulkas. "Ah, kita sampai lupa belanja. Gara-gara Sean pria pengacau itu, keseharian kita jadi kacau!" geramnya."Kenapa ngomel pagi-pagi?" Emily masuk ke dapur."Lihat, di kulkas kita hanya ada ro
"Di mana aku duduk, Emily?" Sean berharap bisa di sisi istrinya. Seperti dulu.Emily berkedip beberapa kali menatap depan. Dia melirik kursi kosong yang agak jauh darinya. Dulu, dia pasti akan duduk di sisi Sean ... dulu saat Sean menabur madu."Nggak lihat kalau kursi cuma sisa satu? Itu kursi David, beruntung dia nggak ada di sini," ketus Dayana.Kursi itu sebelah Dayana dan tidak sesuai keinginan Sean. Namun, tidak mungkin dia mau banyak minta. Dalam meja kotak ukuran sedang. Emily duduk di depan Dayana dan Sean di depan Axel, sebelah Dayana."Ma, kenapa hanya ada makanan seperti ini?" heran Axel tidak seperti biasanya.Sean juga mengerutkan dahi. Hanya ada sepiring nasi goreng dan roti selai beberapa helai."Karena beberapa hari ini ada pengacau, jadi Mamamu dan tante belum sempat pergi berbelanja. Kita makan seadanya." Dayana berkata sambil melirik Sean."Hanya ada segini dan ada orang numpang sarapan. Apa aku bisa kenyang? Bagaimana jika Mama kurang tenaga?" Axel menaikkan dua