Windraya mengajak Mayla duduk bersama di ruang bersantai. Lagi-lagi, pria itu harus berusaha menenangkan sang istri, yang terganggu oleh kedekatannya dengan Ranum. Bosan dan lelah. Windraya sebenarnya tak ingin menjelaskan apa pun. Dia hanya memberi sedikit jarak, antara Mayla dengan sang istri kedua. Beberapa saat berlalu, tak ada perbincangan apa pun. Pasalnya, Windraya tak tahu harus berkata apa. Dia merasa tak ada yang salah. "Apa yang kamu lakukan kemarin malam dengan wanita itu, sampai-sampai kalian berdua basah kuyup?" Akhirnya, Mayla mengalah. Dia membuka perbincangan lebih dulu. "Tidak ada," jawab Windraya, singkat. "Tidak mungkin!" sanggah Mayla, tak percaya. Wanita itu menatap tajam sang suami, yang dinilai telah bersikap bohong. Namun, Windraya tak terpengaruh. Dia sudah terbiasa dihadapkan pada situasi penuh tekanan tinggi. Pria itu tetap tenang. Windraya hanya ingin segera pulang, untuk memberitahukan kabar ke
Mayla terpaku beberapa saat. Tiba-tiba, tubuh indahnya terasa begitu lemas seakan tak bertenaga. Mendengar hasil tes Ranum yang menunjukkan positif hamil, membuat harga diri Mayla kian jatuh ke dasar bumi."Pembantu sialan itu hamil dalam waktu secepat ini," gumam Mayla, sambil berjalan meninggalkan tempatnya menguping tadi. Dia memilih pergi ke kamar untuk menenangkan diri.Akan tetapi, apa pun yang Mayla lakukan terasa salah dan tak bisa membuat ganjalan besar dalam dada menghilang sepenuhnya. Dia gelisah. Wanita yang memiliki perawakan sedikit lebih tinggi dibandng Ranum tersebut, berjalan mondar-mandir.Akhirnya, Mayla mengambil telepon genggam, lalu menghubungi Rania. Hanya itulah cara yang dirasa paling efektif, untuk menghilangkan suntuk di rumah mewah sang suami.
Ranum langsung menerima sertifikat yang diberikan Windraya, lalu membaca dengan saksama. “Bolehkah saya menyimpan sertifikat ini?” tanyanya. “Untuk apa?” Windraya balik bertanya. “Bukan untuk apa-apa ….” Ranum berdehem pelan, seraya mengembalikan benda itu pada sang suami. “Anda saja yang simpan. Lagi pula, saya agak pelupa,” ujarnya, diiringi senyum.“Tidak apa-apa. Simpan saja. Bukankah itu milikmu?”Ranum kembali tersenyum. “Ya, sudah. Kamu simpan itu baik-baik. Sekarang, kita temui mama.” Windraya mengajak Ranum keluar dari ruang kerja. Mereka melangkah bersama menuju kamar Nindira. Selama beberapa saat, mereka berada di kamar sang nyonya besar. Memastikan kabar bahagia atas kehamilan Ranum, meskipun usianya masih terbilang muda. “Mulai sekarang, Mama ingin kamu lebih perhatian pada Ranum. Tugaskan seseorang untuk jadi asisten pribadi yang akan melayaninya. Jangan lupa dengan asupan gizi yang dia butuhkan, selama menjalani kehamilan,” pesan Nindira, pada Windraya.Setelah itu
Ranum menyuruh sang sopir menunggu selagi dirinya menemui Juwita, lalu melihat sekeliling. Dia memastikan tak ada yang mencurigakan. “Hai!” sapa Juwita, saat melihat kehadiran Ranum. “Hai!” balas Ranum. Dia segera duduk di hadapan Juwita, yang sudah menunggu sejak beberapa saat lalu. “Maaf terlambat. Pak Win ada di rumah. Jadi, aku harus meminta izinnya terlebih dulu.” Juwita tersenyum hangat. “Hm. Istri yang baik,” godanya. “Aku juga baru datang. Tapi, aku sudah memesan bakso untuk kita.” Ranum mengangguk. “Terima kasih, Wit.” Ranum tak langsung bicara karena pelayan datang menghidangkan dua mangkuk bakso. Namun, tiba-tiba dia tak berselera melihat makanan kesukaannya tersebut. “Bagaimana kamu bisa mendapatkan sertifikat itu dalam waktu sehari? Apakah Pak Win memberikannya secara cuma-cuma atau ….” Juwita yang tengah menuangkan saus ke dalam mangkuk, menatap aneh. Dia kembali menggoda sahabatnya. “Atau apa?” Ranum se
“Mati aku!” ucap Ranum dalam hati. “Kenapa?” Windraya memicingkan mata, menatap Ranum penuh selidik. “Apa ada masalah?” tanyanya. Nada bicara pria itu pun terdengar lain. Ranum menggeleng, meyakinkan bahwa tak ada apa pun yang disembunyikan. “Saya … saya tidak enak badan, Pak. Sejak tadi, kepala terasa pusing dan agak mual. Mungkin pengaruh dari multivitamin yang dokter berikan atau ---” “Aku rasa bukan,” bantah Windraya. “Itu hanya vitamin. Lagi pula, kamu membutuhkannya sekarang, selagi menjalani masa kehamilan.” Ranum mengangguk pelan. Dia berusaha terlihat biasa di hadapan Windraya. Namun, Ranum bukan seseorang yang ahli dalam bersandiwara. Terlebih berbohong. “Jadi? Bagaimana?” Windraya tak melepaskan tatapan dari sang istri. “Jangan membuang waktuku, Ranum.” “Pak, saya ….” Ranum tak tahu harus berkata apa. Dia belum menyiapkan penjelasan, yang akan diberikan pada Windraya. “Apakah Pak Wawan mengatakan sesuatu?” tan
“Mayla terpaku sambil berpikir. “Apa-apaan ini? Kenapa wanita sialan itu masih berkeliaran bebas di sin —”“Sayang.” Mayla segera menoleh. Dia mendapati Windraya sudah berdiri gagah sambil menatapnya lekat. “Hai, Mas.” Wanita cantik itu tersenyum, meskipun sedikit dipaksakan. “Dari mana?” tanya Windraya, seraya berjalan mendekat. Dia menatap Mayla penuh selidik. “Um, aku … tiba-tiba Rania menghubungi dan mengajak bertemu. Ada hal penting yang harus kami bahas. Masalah pekerjaan,” jelas Mayla berbohong. Windraya mengangguk samar. Namun, dia belum mengalihkan perhatian dari sang istri, yang tampak salah tingkah. Pemilik Win’s Aerospace System tersebut seperti mencium sesuatu yang tak beres dari wanita itu.Windraya makin mendekat. Namun, Mayla justru segera mundur, seakan menghindarinya."Kenapa, Mas? Kamu agak ---"“Aku seperti mencium aroma parfume —”“Parfume seorang pria?” sela Mayla segera, lalu tersenyum.”Astaga, Mas. Penciumanmu benar-benar tajam,” ujarnya, seraya bertepuk ta
Pagi-pagi sekali, Ranum sudah bangun. Sebelum Windraya membuka mata, dia bergegas pergi ke dapur. Wanita muda itu mengembuskan napas lega karena susu di meja sudah tidak ada. Dia yakin pasti pelayan telah membuangnya.Tenang. Ranum membalikkan badan. Dia sempat terkejut, saat di belakangnya sudah berdiri seseorang yang tak lain adalah Kinasih. “Asih.” Ranum mengelus dada perlahan.“Ada yang bisa dibantu?” tanya Kinasih. Dia agak canggung, saat berhadapan dengan Ranum. Mungkin karena dulu mereka teman sesama pekerja di rumah itu. Namun, kini Ranum sudah menjadi istri Windraya, meskipun hanya sebagai yang kedua.“Ah, tidak.” Ranum menggeleng, disertai senyum hangat. Dia menyentuh lengan Kinasih, sebelum berlalu dari hadapan wanita yang memiliki usia sama dengannya.
“Anda yakin, Pak?” Ranum menatap ragu Windraya. “Buktinya pernikahan Anda dan Bu Mayla … Anda tidak sanggup menduakan dia. Itu yang saya dengar, saat memberikan penolakan di depan Bu Nindira.”Windraya menggeleng pelan, lalu duduk di ujung tempat tidur dengan setengah mencondongkan tubuh ke depan. Dia menggosok-gosokkan telapak tangan, sebagai penghalau keresahan yang berusaha disembunyikan dari Ranum. “Aku harus meyakinkan mama,” ucapnya.“Dari apa?” tanya Ranum, kian penasaran. Dia lupa akan pergi ke rumah Ainur. Selain itu, Windraya juga harus menghadiri pertemuan penting. Namun, perbincangan dengan sang suami membuatnya mengabaikan dua hal tadi. Bagi Ranum, ini merupakan kesempatan lebih mengenal sosok Windraya Sasmitha, yang dulu terlihat sangat misterius.