Laureta menatap Kian dengan matanya yang bulat besar. Kian mengangguk sambil mengusap kepalanya. “Kamu tidak usah memikirkan tentang ayahmu lagi. Tak ada lagi yang bisa kita lakukan. Aku tidak bisa mengeluarkan ayahmu dari penjara begitu saja. Aku sudah melakukan yang terbaik. Tetap hukum yang menentukan.”Laureta mengangguk. “Aku paham.”Kian jadi merasa canggung. Laureta diam saja. Meski wajahnya menatap lantai dengan pandangan kosong, tapi Kian tahu jika hati Laureta sedang sedih. Bukankah Kian datang ke sini untuk menghibur wanita itu?Kian mengambil gelasnya yang masih terasa panas. Ia meniupnya, lalu menyeruput teh itu. “Panas,” komentarnya.Laureta menoleh. “Seharusnya aku menambahkan air dingin.”“Sudah, tidak apa-apa. Rasanya nikmat. Kamu juga minumlah. Sepertinya kamu lebih membutuhkan minum daripada aku.”Laureta mulai menyeruput minumannya. Mereka pun menikmati kedamaian dalam diam. Kian tidak bicara apa-apa. Laureta pun diam seperti yang melamun.Hingga suara gemuruh dari
Laureta tidak pernah melihat Kian seceria itu. Suara tawanya terdengar begitu menyenangkan dan natural. Pria itu memang sebenarnya senang tertawa. Sayangnya, Kian terlalu gengsi untuk menunjukkannya. Baru kali ini Kian melepaskan gengsi itu.Ciuman Kian yang tadi benar-benar membuat hati Laureta tersentuh. Cara Kian mencium, seperti pria itu tidak pernah menciumnya sebelumnya. Laureta pun pasrah serasa ingin menyerahkan segala yang ia miliki hanya untuk Kian.Jika bukan karena ia sedang datang bulan, Laureta pasti sudah melakukan hal itu di dapur bersama Kian. Jika mengingat akan hal itu, Laureta langsung gugup dan jantungnya berdegup kencang.Ia menoleh pada Kian yang sedang makan dengan lahap di sebelahnya. Biasanya Kian tidak pernah makan sesemangat ini. Laureta pun tidak mau kalah. Perutnya sudah kelaparan sejak tadi.Laureta pikir, makanan yang Kian pesan terlalu banyak. Nyatanya, semua makanan itu habis dibabat semuanya. Memang jika makan di restoran Sunda, Laureta pasti akan ma
Kota Bandung di malam hari terasa begitu cerah, tidak seperti biasanya. Terkadang justru pagi yang terang benderang membawa suasana hati menjadi redup. Sementara malam yang gelap justru berhasil menerangi hati Laureta.Meski Kian tidak membalas pernyataan cintanya, tapi Laureta tidak akan memaksanya. Pria itu memang tidak memiliki perasaan apa-apa padanya. Dan lagi, Kian jelas-jelas bukan jenis pria yang seromantis itu meski memang mereka saling cinta.Laureta memahami situasinya. Jika pada akhirnya cintanya pada Kian hanya bertepuk sebelah tangan, maka ia harus siap untuk menjalaninya. Setidaknya, Laureta akan merasa rela hati untuk mengandung anaknya Kian.Malam itu, mereka tiba di rumah. Laureta langsung masuk kamar mandi dan membersihkan diri. Selesai berpakaian, Laureta naik ke atas kasur. Kian sudah menunggunya. Pria itu langsung memeluknya sambil menaruh dagunya di bahu Laureta.“Apa kamu masih merasa sedih?” tanya Kian.Laureta menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kenapa aku harus
Laureta tersenyum. “Sama-sama, Kian.”Rasanya tidak mungkin jika Laureta juga menyebutnya dengan panggilan sayang. Apakah itu hanya sekedar panggilan atau memang Kian juga sedang menyatakan perasaannya? Laureta tidak berani berharap banyak.Setidaknya, hari ini di mana Laureta merasa sedang sedih dan kecewa, ada Kian yang menemaninya dan membuatnya senang. Pria itu selalu mengajaknya makan ke tempat yang terbaik.Laureta tidak akan pernah lupa saat hari pertama pernikahannya, Kian memesan makanan tengah malam karena tahu jika Laureta tidak bisa makan apa-apa seharian. Apakah itu salah satu bukti bahwa sebenarnya Kian adalah orang yang baik hati? Ya, Kian memang pria yang baik hatinya.Pagi itu, seperti biasa Laureta dan Kian sarapan bersama di ruang keluarga. Laureta berdoa dalam hati agar ia tidak bertemu lagi dengan Erwin dan ibunya yang menyeramkan. Namun, ternyata kehidupan kadang tidak semudah itu.Mungkin Erwin sudah memutuskan untuk selalu bangun pagi hari. Entah apa tujuannya.
“Halo? Reksi? Reks? Kamu bisa mendengar suaraku?” tanya Laureta.Saluran telepon pun terputus. Laureta mencoba menghubungi Reksi lagi, tapi tidak bisa karena Reksi sedang dalam panggilan telepon. Mungkin telepon mereka saling bertabrakan karena sama-sama menelepon di waktu bersamaan.Laureta menunggu supaya Reksi yang meneleponnya kembali. Setelah ia tunggu beberapa saat, Reksi mengiriminya pesan singkat.“Ta, tadi tiba-tiba tidak ada sinyal. Jadi, bagaimana? Kamu tidak akan ke studio lagi? Ya sudah, tidak apa-apa. Aku mau berangkat dulu ya sekarang. Dadah.”Laureta balas mengetik, “Iya, Reks. Maaf ya. Aku ada urusan dulu dengan mertuaku. Aku akan menceritakannya besok. Sampai bertemu ya, Reks. Terima kasih sudah menggantikanku selama ini.”Ada sedikit rasa tidak enak hati saat mengetik pesan singkat pada Reksiana. Selama ini, Laureta selalu meminta pertolongan sahabatnya itu. Ia terpaksa melakukannya karena tidak tahu harus meminta pertolongan siapa lagi.Usai menelepon, Laureta pun
Cahaya matahari bersinar cerah, membuat suasana hati Kian semakin ceria. Rasanya, ia tidak pernah sebahagia ini dalam hidupnya. Kian terus menerus mengingat saat Laureta mengungkapkan perasaannya.“Aku jatuh cinta padamu.”Kata-kata itu terus menerus terngiang-ngiang di kepalanya hingga Kian tak bisa berhenti tersenyum. Laureta benar-benar wanita yang sangat manis. Ternyata wanita yang berbadan kekar bisa semanis itu, Kian jadi semakin menyayanginya.Sayangnya, Kian terlalu gengsi untuk mengakui perasaannya yang sebenarnya pada wanita itu. Ia berpikir jika ia menyatakannya sekarang, ia jadi tampak seperti pria yang lemah, terlalu mudah luluh pada wanita.Sebenarnya, memang begitu kenyataannya. Ia memang telah luluh di hadapan Laureta. Wanita itu berhasil membuat seorang Kian yang memiliki harga diri yang tinggi menjadi pria yang ceria dan senang bercanda.Semua yang ia lakukan untuk Laureta semata-mata sebagai tanda perhatiannya yang khusus untuk Laureta. Andai saja wanita itu bisa me
Kian tidak mendongak sedikit pun, matanya masih terus menatap layar ponsel, menanti Laureta membalas lagi pesannya.“Tunggu sebentar. Kamu ke sana saja lebih dulu. Nanti aku menyusul,” ucap Kian.“Baik, Pak.”Clara pun keluar dari ruangan itu sambil menutup pintu. Kian masih menunggu. Ia ingin tahu apa Laureta akan membalas pesannya dengan stiker lucu lagi atau tidak.Kian menggerak-gerakkan jemarinya dengan tidak sabar. Ia mendongak dan menyadari jika ia telah membuang-buang waktu. Ia harus segera ke aquarium untuk melihat para putri duyung beraksi.Langkahnya lebar-lebar saat melewati ruang kantornya, lalu ia pun bergegas menuju ke aquarium yang letaknya berada di bagian tengah restoran. Ia naik tangga ke atas untuk bertemu dengan Tania dan Erika.Kedua wanita itu sudah mengenakan pakaian putri duyung yang seksi, tapi masih tergolong sopan. Mereka mengenakan pakaian ketat tangan panjang yang sewarna kulit untuk menutupi belahan dada mereka.Bagian roknya berupa ekor ikan yang sangat
Selama ini, Kian tidak pernah membeli motor untuk dirinya sendiri karena memang ia jarang sekali mengendarai benda itu. Saking lamanya, Kian sepertinya sudah lupa seperti apa caranya mengendarai motor. Ia selalu pergi ke mana-mana dengan mobilnya.Saat tiba di dealer motor, Kian melihat-lihat berbagai macam jenis motor. Sang sales menjelaskan setiap keunggulan motor dengan bahasanya yang terkesan dilebih-lebihkan. Kian bingung harus memilih yang mana karena sebenarnya ia tidak yakin jika Laureta suka motor yang mana.Ia tahu jika motor Laureta itu adalah sejenis motor manual yang sudah tampak ketinggalan zaman. Setengah badannya baret terkena gesekan aspal. Kian masih merasa bersalah jika mengingat hal itu.Kali ini, ia akan membelikan Laureta motor dengan edisi terbaru. Supaya kaki Laureta tidak pegal, ia akan membeli motor matic yang tampaknya keren, tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Tubuh Laureta cukup besar dan tinggi untuk ukuran wanita Indones