Aku baru ada waktu untuk mencari Silvia hari ini. Setelah satu Minggu pulang dari rumah sakit. Kemarin-kemarin sibuk di ruko. "Mau mencari Silvia, Bu," jawabku pelan setelah memastikan kamar eyang masih tertutup rapat. Artinya beliau tidur kembali setelah shalat Subuh. Cuaca yang dingin membuatnya nyaman untuk berlindung di bawah selimut. Semalam diguyur hujan lebat. "Ya sudah hati-hati. Kalau kamu tidak bisa mengambil hatinya Silvia kembali, jangan berkecil hati. Masih ada Allah. Langitan doa-doamu di sepertiga malam. Ibu pun akan turut mendoakanmu."Aku tersenyum penuh kehangatan setelah mendengar tutur ibu. Restu ibu sudah aku kantongi. Yes! ****Jantungku berdegup kencang saat tiba di depan rumah paman Gozali. Bagaimana tidak, rumah sederhana itu tampak ramai oleh orang-orang. Belum lagi di depannya terparkir beberapa mobil. Ini acara apa? Gegas, aku memarkirkan mobil di pinggir jalan. Di depan rumah tetangga paman Gozali."Bu. Numpang tanya. Itu di rumah paman Gozali ada aca
Beliau menaruh harapan besar agar aku bisa kembali menikah dengan Silvia. Wanita yang telah dianggap anaknya sendiri."Bu." Aku kembali menyapanya. Khawatir ibu kenapa-kenapa."Kamu yang sabar, ya." Suara ibu terdengar lemas. Pasti sangat syok dengan ini semua. Hening. Tidak ada percakapan di antara kami. Namun, telepon pintar pun belum kami matikan."Nak. Kamu harus terima kenyataan bahwa Silvia bukan jodohmu. Sekuat apa pun kamu mengejarnya kalau memang bukan jodohmu maka tidak akan bisa bersama. Ikhlaskan, Nak. Doakan semoga Silvia bisa bahagia dengan pernikahan keduanya ini." Aku yakin ibu bukan hanya sekedar menasihati anaknya yang sedang rapuh. Akan tetapi, ibu juga sedang menyemangati dirinya sendiri. Aku tahu ibu pun sama terlukanya dengan berita ini. Sama-sama harus menelan pil pahit. Bahwa Silvia tidak mungkin kembali ke rumah kami. Namun, ucapan ibu sedikit banyak bisa mengobati rasa sakit di hatiku. Aku harus sadar semua ini sudah ketetapan Allah. "Kamu yang kuat. Lebi
Aku mendongak setelah mendengar suara orang terjatuh. Aku kira itu Silvia atau Satria. Ternyata Putri yang tersungkur di belakang bapaknya. Putri terjatuh di kala bapaknya melangsungkan ijab kabul. Semua orang terlihat panik. Ada wanita setengah baya yang menjerit histeris melihat gadis kecil itu tergolek tak berdaya di lantai. Mungkin itu neneknya Putri. Ijab kabul pun tertunda. Eh, entah tertunda atau malah batal sekalian? Ah, entahlah. Namun, hatiku sedikit lega dengan kejadian ini. Bukan karena aku tidak mempunyai rasa perikemanusiaan yang berbahagia di atas sakitnya Putri, bukan. Hanya saja aku senang pernikahan ini tidak jadi dilaksanakan. Waraskah aku yang berbahagia di atas deritanya Silvia? Ah, entahlah. Aku melayangkan pandangan ke arah wanita yang sedang menangis sembari mengolesi minyak kayu putih pada hidung anak perempuan itu. Kesedihan jelas terpancar dari wajah ayu itu.Apa yang kamu tangisi Silvia? Gagalnya pernikahan kalian? Atau kondisi anak perempuan itu? Aku
"Mungkin bahagianya Silvia ada pada Satria." Bi Baidah menyahut ucapan lelaki yang mengenakan kemeja batik di sampingku."Nak Abian sudah menikah kembali?" Spontan aku menoleh ke arah paman Gozali."Belum ketemu jodohnya, Paman?" Aku tersenyum getir tatkala tangan kekar yang kian berkerut itu menepuk pundakku."Semoga lekas ketemu jodohnya." Paman Gozali mendoakan aku. "Aamiin." Taukah kau paman, wanita yang aku inginkan adalah keponakanmu!"Kalau sudah menikah jangan lupa bahagiakan istrinya!" Suara perempuan dari kursi tengah kembali terdengar.Sepertinya dia tahu banyak tentang hubungan kami dulu."Paman sempat kaget saat kalian memutuskan bercerai. Sampai saat ini paman tidak tahu apa alasan kalian berpisah?" Apa artinyapaman masih mengharapkan aku bersama Silvia kembali? Namun, sayang kesempatan itu sepertinya sudah tertutup."Sudahlah, Pak. Nggak usah dibahas lagi. Toh, dipertahankan pun Silvia tidak bahagia sama sekali dengan Abian. Memang lebih baik mereka berpisah. Tidak sal
Silvia menyudahi dzikir dan berdoanya. Aku sengaja menunggunya di luar masjid rumah sakit. Kami sama-sama habis melaksanakan salat Dzuhur."Anakmu sakit apa, Via?" tanyaku saat perempuan di depanku mulai mengenakan sandalnya. Aku sengaja menyebut anakmu agar dia merasa nyaman. Toh, cepat atau lambat pasti akan menjadi anak sambungnya juga.Padahal, aku berharap akan memberikannya anak kandung. Namun, takdir berkata lain. Mungkin dia akan memiliki anak dari orang lain. Bukan dari aku."Kanker otak," jawabnya dengan wajah sedih. Aku mematung beberapa saat. Mencoba mencerna ucapan Silvia. Kanker otak? Anak sekecil itu sudah harus merasakan penyakit yang mematikan. "Apa itu alasan kuat kamu menerima Satria, Via?" Ingin aku bertanya demikian. Namun, rasanya tidak etis dalam kondisi yang seperti ini. "Innalillahi. Semoga cepat diangkat penyakitnya oleh Allah." Hanya itu kata yang mampu keluar dari bibirku."Terima kasih doanya." Silvia sudah mulai melangkah meninggalkan masjid. "Silvia
"Silvia telah resmi menjadi istri Satria?" Paman Gozali bercerita setelah kami saling sapa dan berbasa-basi sebentar.Aku tahu ini pasti akan terjadi. Mereka akan tetap menikah. Namun, hatiku tetap saja merasakan sakit. Bibirku kelu untuk berucap. Kata-kataku tertahan di kerongkongan. Aku tidak bisa menjawab atau merespon cerita paman Gozali."Jujur paman kecewa tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa. Semua ini kehendak Silvia." Suara lelaki yang menjadi walinya Silvia itu terdengar berat. Seperti ada beban dalam dadanya."Allah telah menjodohkan mereka, Paman. Sekuat apa pun kita menolak tetap kuasa Tuhan di atas segalanya." Aku tidak tahu sebenarnya sedang berbicara apa? Yang aku tahu itu adalah cara untuk mengobati luka sendiri.Kalau memang pernikahan itu bisa membawa kebahagiaan untuk Silvia aku bisa apa? Bukankah mencintai itu tidak harus memiliki? Aku akan mencoba untuk mengikhlaskannya. Bukan menyerah, bukan. Aku akan tetap mencintai Silvia dalam diam. Akan kusebut namanya di
Hatiku memanas. Bukan karena cemburu melihat Arumi bergelayut manja pada pria itu, bukan. Hatiku sudah mati rasa untuk sekedar cemburu pada Satria. Aku marah karena Satria membentakku di depan umum. Sehingga banyak mata memandang ke arah kami. Malu. Itu yang aku rasakan saat ini. Merasa menjadi istri yang tidak dihargai oleh suaminya. Aku menutup mata sejenak berusaha meredam gemuruh di dalam dada. Tak peduli pada mereka berdua yang sedang menyimpan barang-barang di jok belakang. Bagasi sudah penuh dengan barang bawaan Arumi.Sebelum mampir ke sini, aku diminta ibu mertua menemani Satria menjemput mantan istrinya — ibunya Putri. Dari Pontianak. Kami menjemput di bandara Lampung."Silvia." Aku yang sedang mematung di samping mobil segera menoleh ke arah asal suara."Mas Abian." Aku menyapanya dengan suara lirih. Aku terpaku di tempat. Bukan karena apa-apa. Aku hanya merasa malu dengan pria yang pernah menjadi suamiku itu. Aku yakin dia mendengar bentakan Satria yang cukup keras tadi
"Tapi kamu jangan mengatakan apa pun sesampainya di rumah. Aku tidak mau semua orang yang rewang tahu masalah ini." Suara Satria lemah. Seolah pria itu sedang memohon padaku. Aku tidak menjawab ucapan Satria. Tidak perlu dijawab. "Mas, apa kamu akan mempertahankan wanita itu? Bukankah tugas dia sudah selesai. Bukankah kamu sering bilang meski dia istrimu tapi tidak lebih dari sekedar baby sitter untuk Putri?" Tatapan Arumi membidik wajah Satria, meski hanya dari samping. Aku sakit hati mendengar ucapan Arumi? Tidak sama sekali. Sudah kebas hati ini. Tanpa bicara pun sikap Satria sangat kentara. Menganggap aku hanya pengasuh anaknya. Selama enam bulan perkawinan, Satria tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorangsuami. Sikapnya tidak semanis ucapannya saat melamar aku di depan paman dan bibi. Sangat bertentangan. Putri lah yang membuatku kuat menjalani pernikahan ini. Dokter telah menjatuhkan vonis jatah umur gadis kecil itu. Sebagai ibu sambungnya aku tidak ingin membuatn