"Lalu apa?! Kalau bukan kasian sama laki-laki itu?" Raffi menatapku tak suka."Aku kasian sama Dania adiknya Mas Adrian, dia sudah tidak punya siapapun!"Raffi langsung terdiam mendengar ucapanku dan menghela napas. Lalu mengelus pelan kepala bagian belakangnya."Makanya kalau ada orang ngomong itu dengerin dulu sampai selesai! Baru komen," sungutku.Raffi masih terdiam."Cemburu boleh tapi jangan cemburu buta." Lagi aku berkata sambil tersenyum melirik ke arahnya."Siapa yang cemburu! Enggak. Ngapain aku cemburu, aku sudah yakin hatimu sudah mentok sama aku, dan nggak akan bisa berpaling ke yang lain," balasnya dengan jumawa.Aku hanya mencebik. Dalam hati mengiyakan ucapannya itu "Nanti kamj coba bicara baik-baik dengan adiknya Adrian itu. Semoga dia bisa mengerti kalau perbuatan kakaknya itu sudah diluar batas. Siapapun pasti akan melakukan hal yang jika itu menyangkut nyawa orang."Aku mengangguk kemudian melanjutkan langkah menuju ke mobil.Sampai di depan mobil, Raffi langsung
"Dania, kamu tenang dulu, kamu jangan salah paham." Aku mencoba menjelaskan dengan tenang.Beberapa saat kami saling diam, aku menunggunya tenang. Aku paham, pasti Dania masih syok mendengar kabar Mas Adrian di bawa ke kantor polisi."Mbak, bisa kita ketemu besok?" tanya Dania akhirnya setelah kami saling diam cukup lama."Bisa. Besok kita bisa ketemu, kamu mau ketemu di mana?" tanyaku."Di kafe dekat kantornya Mbak Nisa aja, sekalian aku besok mau ketemu Mas Adrian ke kantor polisi," ucapnya di seberang sana. Aku mengangguk, meski kutahu Dania tak melihatku."Baik Nia, besok jam sembilan kita bertemu. Kamu tenang, nanti besok Mbak antar kamu ketemu Mas Adrian, sudah ya. Mbak minta maaf, semua terjadi begitu cepat, Mbak sendiri nggak bisa–""Sudahlah Mbak. Besok saja kita bicara, ini sudah larut malam, aku mau istirahat, Assalamualaikum."Panggilan terputus begitu saja."Wa'alaikumusalam," sahutku pelan, dan kuyakin Dania tak mendengar karena panggilan sudah berakhir.Aku menarik napa
"Maafkan aku Mbak, bukan maksudku menginginkan Mbak kembali pada Mas Adrian, sungguh, aku hanya ingin Mbak tahu, bagaimana payahnya Mas Adrian melewati harinya karena sebuah penyesalan." Kali ini Dania sampai menitikan air mata."Mungkin itu adalah sebuah hasil sebab akibat atas apa yang dulu dia lakukan. Kau percaya hukum tabur tuai itu ada?" Dania mengangguk. "Atas nama Mas Adrian aku mohon maaf Mbak. Sungguh menyakiti Mbak Nisa adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Kini justru dia berbuat hal bodoh yang hanya akan menambah beban penderitaan hidupnya," ucap Dania kemudian mendongakkan wajahnya ke atas, bersamaan dengan itu air matanya luruh membasahi pipinya yang mulus."Mbak sudah memaafkan semua kesalahannya, sejak dulu. Tapi untuk mengeluarkan dia dari penjara, maaf Mbak tak bisa Nia, itu sudah masuk tindakan kriminal. Jujur Mbak takut obsesi atau ambisinya menginginkan untuk bersama kembali, justru akan membahayakan diri Mbak." Aku berkata sungguh-sungguh seraya menatap l
"Kalau kamu nggak sama aku, maka siapapun juga tak boleh memilikimu Anisa!" ucapnya lagi setengah berteriak, membuat aku dan Dania terperangah, kami saling pandang. Jujur aku bergidik ngeri melihat Mas Adrian, dia sangatlah berbeda. Aku seperti tak mengenalinya lagi."Mas nyebut Mas!" sentak Dania.Tiba-tiba tangan Mas Adrian mencengkeram tanganku, meski kedua tangannya di borgol tapi tetap saja cengkraman tangannya kuat dan membuat tanganku sakit."Mas sakit Mas, lepas!" Aku berusaha melepaskan tanganku tapi sulit.Hingga tiba-tiba petugas datang dan membantuku melepaskan tangan Mas Adrian."Maaf waktu kunjungan sudah habis," ucap laki-laki berseragam biru muda itu."Anisa! Kamu hanya milikku Nisa!" Masih bisa kudengar teriakan Mas Adrian saat di bawa oleh petugas masuk.Aku dan Dania kembali saling pandang. Kini Dania tampak begitu syok melihat kondisi kakaknya. Entah mengapa aku merasa Mas Adrian seperti orang yang psikologisnya terguncang. Sedalam itukah rasa penyesalan di hatin
Tapi baru saja kaki ini menapaki lantai dua, aku dibuat tercengang mendengar suara Dania yang tengah berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon."Iya Bu. Aku nggak habis pikir sama Mas Adrian, selalu buat ulah." Dania seperti sedang curhat dengan seseorang."Dia selalu bikin masalah, sampai aku tak tahu harus bagaimana lagi."Aku menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan."Apa, maksudnya gimana Bu? Mas Adrian masuk penjara kok tiba-tiba aku di suruh nikah sama anak Ibu. Laki-laki kulkas itu," sungut Dania pada lawan bicaranya di telepon.Berkali-kali Dania membuang napas kasar."Sudah ya Bu Helena, ini aku lagi di rumah Mbak Nisa. Bu Helena nggak usah begitu. Sudah ya Bu, Assalamualaikum."Dania mematikan sambungan teleponnya. "Mbak Nisa!" Tiba-tiba Dania menoleh dan mendapatiku sudah berdiri di belakangnya.Aku menarik senyum untuknya."Ehm, maaf Mbak tadi tetangga, Bu Helena yang telpon. Dia aneh banget, minta aku nikah sama anaknya yang cuek itu, hah! Mal
"Satu tahun penjara?!" tanyaku yang merasa terkejut."Iya. Memangnya kenapa? Kamu keberatan?""Oh, ya enggak sih, cuma kaget aja tadi, nggak nyangka aja tadi," ucapku yang memang tadi sempat kaget mendengar kabar ini"Oh ya sudah. Kamu sudah makan?" tanya Raffi."Sudah, baru aja selesai, ini mau istirahat, mau tidur siang.""Ya sudah, istirahatlah. Aku mau lanjut kerja. Dah ya, Assalamualaikum, Sayang.""Wa'alaikumusalam," jawabku kemudian menekan tombol merah.Usai mengakhiri telepon dari Raffi, aku menengok Dania yang tampak tertegun menatapku."Ehm Dania, apa kau dengar yang tadi Raffi katakan?"Ia mengangguk. Kemudian mengusap wajahnya, dan membuang napas kasar."Ya Allah, Mas, mungkin ini sudah jadi jalan takdirmu, semoga setelah nanti kau keluar nanti kamu bisa berubah, menjadi lebih n lagi," gumamnya lirih, tapi aku masih bisa mendengarnya."Aamiin." Aku menjawab.Dania masuk ke kamar tamu, dan aku naik ke lantai dua, untuk istirahat siang.*Hari terus berganti tak terasa sebu
"Apa?! Siena ke kantor kamu? Mau ngapain?" Raffi terpekik kaget. Belum tahu dia Siena sudah dua kali ini datang, bahkan kedatanganya yang pertama lebih mencengangkan lagi."Ya, seperti biasa, apa lagi kalau bukan untuk mengumpat diriku. Dan satu lagi, Siena itu kayaknya tergila-gila banget sama kamu, apa kamu yakin akan tetap sama ....""Putri! Kamu ngomong apa sih! Kan aku udah jelasin semuanya, saat aku katakan perasaanku sama kamu, artinya aku sudah tak ada keterikatan hubungan dengan siapapun! Termasuk Siena! Putri, aku juga laki-laki punya perasaan, saat aku bilang sayang, dan memintamu untuk jadi istriku, itu artinya aku sudah benar-benar siap, berkomitmen bersama dengan kamu sampai nanti." Raffi berkata panjang."Jadi tolong, jangan ragukan perasaan ini," ungkapnya lagi."Masalah Siena, itu perasaan dia, dan itu di luar kendaliku. Yang penting hatiku, di hatiku hanya ada kamu, kau mengerti?"Aku tercenung memahami setiap kata yang diucapkan Raffi."Maafkan aku Fi, aku hanya kur
"Sudah selesai semua, kita pulang sekarang?" tanya Raffi saat kita bertiga sudah ada di mobil."Kita pulang ke rumah Mama Ya Put, makan malam bareng dulu di rumah, sudah lama kan, kita nggak makan bersama," ucap Tante Maya begitu masuk ke dalam mobil."Oh, iya baik Ma." Aku menjawab."Oke, kita jalan sekarang ya," ucap Raffi kemudian mulai menjalankan mobilnya.Sampai di rumah, ternyata ada sebuah mobil berwarna hitam terparkir di halaman rumah."Ada tamu, Ma?" tanyaku pada Tante Maya."Ehm nggak tahu, Nggak ada telepon dari siapapun sih, eh tapi kok ini kayak mobilnya Tante Syakira ya Fi?" tanya Tante Maya pada Raffi.Sejenak Raffi memperhatikan mobil itu, kemudian mengangguk."Iya Ma, bener ini mobilnya Tante Syakira. Tumben main kesini Ma, ada apa?" Tante Maya hanya menggendikan bahu. Sedangkan aku, sudah langsung badmood mendengar nama itu disebut."Eh baru pada pulang, kami nungguin dari tadi lho!" Suara Tante Syakira dengan ciri khasnya."Hei, Mas Raffi, mentang-mentang sudah