"Aku tidak menderita diabetes." "Tapi anda mengatakan punya riwayat diabetes." "Kau melihat aku ada di rumah pamanmu?" "Ya." "Apa yang kau dapatkan setelah mendapat tamparan dan tendangan di sana?" Mutia menghela napas berat, bawang dan cabai yang baru saja diiris membuat matanya perih, membuat hatinya juga bertambah perih. Sehingga memperlancar air matanya mengalir, dengan cepat wanita itu menghapus air matanya memakai tangan, tetapi karena tangannya juga habis memegang bawang, jadi matanya bertambah perih. Melihat itu Diaz tidak bisa tinggal diam. Lelaki itu langsung datang menghampirinya. Memeluknya dengan posesif, membuat Mutia terkejut dan berusaha memberontak. Dengan tangan panjangnya, lelaki itu mudah sekali meriah tissue di atas bufet. Mengambilnya secara sembarangan dan mengusap mata wanita itu dengan lembut. Tak lupa juga mengusap pipinya yang terlihat bengkak. "Apa masih sakit?" tanya lelaki itu dengan suara lembut. "Nggak lagi." "Harus dikompres air hanga
Semalaman Mutia tidak bisa tidur, dia terus memikirkan kondisi neneknya. Hanya neneknya yang dia punya di dunia ini, sebisa mungkin dia harus memperjuangkan kehidupan wanita tua itu. Pagi itu, suara telepon terus berdering. Ini sudah jam setengah tujuh lagi. Mutia juga tidak beranjak dari tempat tidur setelah selesai salat subuh tadi. Mutia dengan malas menatap layar telepon, dia sungguh tidak ingin menerima telepon dari bosnya itu, lelaki yang benar-benar tidak menghargai perempuan, apa bedanya dia dengan Tommy? Semakin di diamkan, suara ponsel itu semakin berdering dengan tanpa jedah. Akhirnya demi ketentraman dirinya, dia terpaksa mengangkat ponselnya. "Ini sudah jam berapa? kenapa tidak menyiapkan keperluanku? sarapanku?!" teriak lelaki dari seberang. "Maaf, Pak Diaz. Mulai hari ini saya akan resign." "Apa?! Apa kau sadar dengan apa yang kau katakan? kau mau resign? kau sudah tahu konsekuensinya? Kau akan didenda dua miliyar, kau paham itu?!" teriak lelaki itu dengan t
Pagi itu Mutia memang memutuskan tidak pergi ke kantor juga tidak ke apartemen Diaz. Dia tidak mau menjadi lebih rusak lagi, baginya kejadian malam itu sudah cukup membuatnya merasa bersalah dan berdosa. Pagi itu dia memutuskan untuk memasukkan lamaran ke tempat kerja Tasya, sebuah perusahaan BUMN yang bergerak di bidang transfortasi publik. Ada lowongan untuk satu orang staf administrasi dan operator. Sesuai jurusan, Mutia melamar di staf administrasi. Ternyata banyak sekali pelamar yang sudah datang, padahal banyak juga yang mendaftar via online. Hal itu membuat Mutia pesimis akan mendapatkan pekerjaan di tempat ini, karena banyak juga lulusan universitas terbaik yang ikut melamar. Sebenarnya gaji sebagai administrasi kantor juga tidak banyak, gaji pokoknya hanya empat juta ditambah tunjangan kinerja menjadi tujuh juta. Sementara bekerja di perusahaan Diaz bisa bergaji lima belas juta. Tapi apa mau dikata, ternyata selama ini Mutia merasa dijebak. Karena ternyata apartemen ya
Sore harinya, Mutia langsung mengutarakan kepindahannya pada Tasya. Gadis itu hanya mengangguk saja, sepertinya tidak cemas sama sekali. "Aku sudah punya tempat tinggal. Sudah lama aku mencari kontrakan dan ternyata dekat dengan tempat kerjaku. Jadi kamu jangan kuatir tentang aku. Aku juga bisa tinggal di mess karyawan kalau mendesak. Besok pagi aku juga akan pergi, aku bahkan sudah berkemas sejak kemarin," ujar Tasya membuat Mutia sedikit lega. "Oke, besok aku akan mampir ke tempat tinggal kamu, Sya." "Besok cari kerja lagi di tempat lain, siapa yang cepat dipanggil itu yang kamu ambil." "Iya, aku sudah memasukkan lamaran ke tiga perusahaan, tetapi belum juga dipanggil. Aku sih pesimis, sepertinya aku sudah diblacklist juga di sana." Keesokan harinya, Mutia sudah mengepak pakaiannya di koper. Dia tidak akan membawa barang apapun dari apartemen ini selain pakaian yang dia bawa dulu. Pagi-pagi sekali Tasya juga sudah pergi sambil menyeret kopernya menaiki taksi online. Entah
Mutia sudah pindah dan membersihkan rumah sederhana itu dengan seksama. Setelah semua bersih, dia bermaksud untuk membeli bahan makanan di luar, ketika di lantai dasar, dia bertemu Walimar dan berbincang dengannya. "Mutia, kamu sudah pindah?" "Tadi pagi langsung pindah, Mbak. Mbak mau ke mana?" "Kamu kerja, kamu tahu sendiri aku harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan anak-anakku." "Sekarang mbak mau kerja ke mana?" "Mau ke mall, kalau pagi aku bekerja sebagai SPG di showroom mobil, sekarang di mall sedang ada pameran, jadi aku ke sana. Kalau malam aku berkerja part time di beberapa tempat, kalau Senin sampai Jumat di restauran jadi tukang cuci piring, kalau malam Sabtu dan Minggu ke night club menjadi pelayan di sana." "Wah, banyak banget pekerjaan mbak Walimar, apa tidak capek, Mbak?" "Demi anak-anak tidak ada kata lelah. Kamu sendiri bekerja di mana, Mut?" "Masih nganggur, Mbak. Kemarin baru resign dari pekerjaan karena bos nya itu genit banget, saya takut."
"Bukannya tidak tertarik, Mut. Tapi akunya yang tidak menarik. Aku ini hanya wanita tua yang jelek dan tidak menjual." "Mbak Walimar masih cantik, kok." "Tapi perempuan penghibur itu jauh lebih cantik, mereka bahkan masih muda-muda belia." "Oh ya?" Mutia yang belum pernah sekalipun kelayapan sampai ditempat hiburan malam seperti ini benar-benar tidak paham dengan situasi. Dia terus memperhatikan sekelilingnya dan mempelajari keadaan tempat itu. Ketika jam menunjukan pukul enam sore, wanita-wanita muda dan cantik dengan busana yang kurang bahan berbondong-bondong memasuki night club. Mutia sangat takjub melihat kecantikan para wanita muda itu, kulitnya begitu putih terawat, wajahnya glowing dan rambutnya juga di tata dengan apik, pasti perawatan mereka sangat mahal untuk mendapatkan penampilan se-perfeck itu. "Lihat mereka, cantik-cantik dan muda-muda, sangat cocok untuk menjadi sugar baby om-om berduit," ujar Walimar. "Ayo kita beraksi, Bos Brian pasti sudah misuh-misuh
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, dua orang pria masuk ke sana. "Kamu mau berpesta tanpa menunggu kami dulu?" Suara seorang dua orang pria yang datang ke dalam ruang VIP tersebut. Salah satunya langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk, semntara yang satunya masih berdiri. Mutia yang sibuk memindahkan makanan ke atas meja, tidak terlalu memperhatikan siapa pelanggan yang baru saja masuk. "Duduk lah, Yas. Kenapa cuma berdiri di situ saja?" Mutia yang kini berdiri akan keluar dari ruangan, tiba-tiba tubuhnya bertabrakan dengan pria berdiri tadi, mereka bersamaan akan berjalan ke arah berhadapan, sehingga tabrakan tidak bisa dihindari. "Auh!" Hampir saja Mutia berteriak karena tubuhnya hampir limbung, tiba-tiba tubuh wanita itu tertahan tatkala pinggangnya di tahan oleh lengan kekar dengan erat. Mutia terkejut hingga tubuhnya menegang dan matanya membelalak ketika menyadari siapa lelaki yang kini tengah memeluk pinggangnya. Bagaimana tidak terkejut? orang ini adala
Mutia tidak bisa membantah perkataan manager Brian, dia butuh uang dan pekerjaan. Terpaksa dia menuruti nya. hanya saja dia akan lebih berhati-hati, dia sudah melangkah sejauh ini tentu tidak ingin kembali ke star awal hanya untuk dipermainkan oleh Diaz. Dengan membawa nampan, Mutia menaiki tangga ke lantai atas. Sungguh sial nasibnya, ketika mau ke lantai atas, dia ditabrak seseorang yang turun ke bawah dengan tergesa-gesa. Minuman yang dibawanya tumpah semua di lantai, bahkan botol wiski itu pecah berkeping-keping, mengeluarkan cairan yang membasahi lantai. "Hei, kalau jalan pake mata!" hardik lelaki itu Mata Mutia melotot melihat siapa yang berdiri di hadapannya, dia adalah lelaki yang masih jadi suaminya. "Anda yang salah kenapa malah menyalahkan saya?" ujar Mutia tidak terima, dia bertekad untuk saat ini dan seterusnya dia akan melawan lelaki ini. "Enak saja pelayan rendah seperti kamu menyalahkan saya? siapa kamu berani-beraninya!" bentak lelaki itu. Tentu saja kon