Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, dua orang pria masuk ke sana. "Kamu mau berpesta tanpa menunggu kami dulu?" Suara seorang dua orang pria yang datang ke dalam ruang VIP tersebut. Salah satunya langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa empuk, semntara yang satunya masih berdiri. Mutia yang sibuk memindahkan makanan ke atas meja, tidak terlalu memperhatikan siapa pelanggan yang baru saja masuk. "Duduk lah, Yas. Kenapa cuma berdiri di situ saja?" Mutia yang kini berdiri akan keluar dari ruangan, tiba-tiba tubuhnya bertabrakan dengan pria berdiri tadi, mereka bersamaan akan berjalan ke arah berhadapan, sehingga tabrakan tidak bisa dihindari. "Auh!" Hampir saja Mutia berteriak karena tubuhnya hampir limbung, tiba-tiba tubuh wanita itu tertahan tatkala pinggangnya di tahan oleh lengan kekar dengan erat. Mutia terkejut hingga tubuhnya menegang dan matanya membelalak ketika menyadari siapa lelaki yang kini tengah memeluk pinggangnya. Bagaimana tidak terkejut? orang ini adala
Mutia tidak bisa membantah perkataan manager Brian, dia butuh uang dan pekerjaan. Terpaksa dia menuruti nya. hanya saja dia akan lebih berhati-hati, dia sudah melangkah sejauh ini tentu tidak ingin kembali ke star awal hanya untuk dipermainkan oleh Diaz. Dengan membawa nampan, Mutia menaiki tangga ke lantai atas. Sungguh sial nasibnya, ketika mau ke lantai atas, dia ditabrak seseorang yang turun ke bawah dengan tergesa-gesa. Minuman yang dibawanya tumpah semua di lantai, bahkan botol wiski itu pecah berkeping-keping, mengeluarkan cairan yang membasahi lantai. "Hei, kalau jalan pake mata!" hardik lelaki itu Mata Mutia melotot melihat siapa yang berdiri di hadapannya, dia adalah lelaki yang masih jadi suaminya. "Anda yang salah kenapa malah menyalahkan saya?" ujar Mutia tidak terima, dia bertekad untuk saat ini dan seterusnya dia akan melawan lelaki ini. "Enak saja pelayan rendah seperti kamu menyalahkan saya? siapa kamu berani-beraninya!" bentak lelaki itu. Tentu saja kon
Mutia dengan buru-buru mengambil alat-alat kebersihan, setelah membersihkan bekas kaca dan mengepel lantainya, dia dengan buru-buru membawa pesanan ke ruang VIP nomor tiga Sekarang dia harus waspada, walaupun jalannya sedikit cepat, dia harus menghindari orang-orang yang berpapasan dengannya agar tidak terjadi insiden yang sama. Ketika dia sudah masuk ke ruang VIP, dia mengedarkan pandangan, semua lelaki di sana memeluk wanita penghibur, bahkan Evan sudah menggerayangi wanita tersebut, menciumi bahkan tangannya sudah berada di dada wanita itu. Tetapi pandangannya menyipit ketika melihat Diaz hanya duduk sendiri, tidak ada satu wanita penghibur di sana, lelaki itu malah asyik bermain ponsel. Salah seorang wanita sedang bernyanyi, nyanyiannya juga jenis lagi yang sangat menggoda dan membangkitkan gairah, lagu berjudul 'mari bercinta' itu bahkan dinyanyikan dengan suara-suara desahan. Mutia melangkah dengan pelan dan sedikit ragu, dia menuju ke meja untuk menghidangkan semua menu te
"Buka matamu!" perintah Diaz dengan suara elan tapi menekan. Dengan perlahan Mutia membuka matanya dan menatap ke arah lelaki di depannya dengan tatapan yang sedikit takut. "Jadi ini hasilnya kamu pergi dari sisiku? menjadi seorang pelayan bar?" Mata Mutia terbelalak mendengar perkataan lelaki itu yang begitu dingin dan menekan. Jadi dia mengenalinya? "Ba ... bagaimana anda mengenali saya?" tanya Mutia dengan gugup. "Walaupun kamu menutupi seluruh tubuhmu, makan matamu juga kau tutupi, atau kau pakai jubah ninja sekalipun, bagaimana aku tidak mengenali aroma perempuan satu-satunya yang pernah kutiduri? aku bahkan sampai saat ini masih terus merindukan ingin menghirup aromamu." Bulu kuduk Mutia bergidik ketika lelaki itu menghirup rambutnya dengan kuat, bahkan lelaki itu sampai memejamkan matanya karena begitu menikmati aromanya. "Hmmm, rambutmu masih beraroma sama, aroma mawar yang membangkitkan gairahku, tubuhmu, masih beraroma susu segar," bisik lelaki itu membuat Mutia se
Sabtu siang sudah tiba, Mutia membawa pakaian satu stel dan dimasukkan ke tas ransel. Dibawah Walimar sudah menunggu dan sudah mengirim pesan. Mutia bergegas ke luar rumah, kebetulan Bu Leli yang berada di depannya juga tengah keluar rumah berbarengan. "Kamu mau keluar, Mut?" "Iya, Bu. rencananya mau nginap. Walimar mengajak saya untuk bekerja di kapal pesiar sebagai pelayan." "Kamu itu apa nggak capek? sudah bekerja di pabrik roti, akhir pekan masih bekerja juga." "Karena nenek saya sedang dirawat di rumah sakit, jadi saya butuh banyak biaya pengobatan." "Duh, kamu ini memang anak berbakti. Kalau aku punya anak laki-laki yang masih lajang akan aku jodohkan kamu. Tapi sayang akan saya sudah menikah, bagaimana kalau saya jodohkan sama pak Sultan? biar dia tidak cemberut terus, dia pasti beruntung punya istri seperti kamu." "Ah, ibu ini bercanda saja. Maaf sekali Bu, saya sudah menikah, jadi tidak bisa dijodohkan." "Loh, kamu sudah menikah? kok malah kayak gadis? suami kamu
"Ya, nyanyi dong. Sayang sekali kamu punya bakat menyanyi tapi hanya dipendam. Tunjukkan pada rekan-rekan pengusaha aku, aku punya istri bertalenta dan cantik." Pujian itu membuat Siska semakin senang, dia bahkan menyenderkan kepalanya pada lelaki di sampingnya. "Aku haus, Mas," keluh Siska. "Kalau begitu akan saya pesankan minum, Bu Siska. Anda ingin minum apa?"tanya Walimar. "Buatkan istri saya jus jambu biji biar lebih sehat. Dia sekarang sedang hamil muda, jadi tidak boleh minum atau makan sembarang." "Baik, Pak. Tunggu sebentar. Silahkan duduk dulu di meja nomor delapan, Pak. Nanti akan datang pelayan yang membawakan minuman buat ibu Siska. Apa anda akan memesan minuman juga?" "Bawakan saya anggur merah saja." "Baik, Pak." Walimar bergegas menuju stand minuman, di sana ditemukan Mutia yang sedang berjaga. "Mutia, buatkan jus jambu merah dan segelas anggur merah, bawa ke Maja nomor delapan." "Baik, Mbak." Mutia bersemangat membuat minuman tersebut. saat ini
"Aish, Kenapa selalu bertemu dengannya? Sedang apa dia di sini?!" tanya seorang lelaki memakai tuksedo warna abu-abu, baju kemeja putih dan celananya juga berwarna abu-abu. "Sepertinya dia memakai pakaian seragam pelayan, Pak." Rais yang menatap ke arah Mutia menyipitkan matanya, padahal banyak orang di sana, kenapa bos nya ini bisa langsung mendapati keberadaan Mutia di sana. Rais sebenarnya sudah tahu lama jika bosnya ini naksir berat sama Mutia, hanya saja sepertinya orang ini kebanyakan gengsi, jadi ya hanya pura-pura tidak peduli, dulu selama Mutia bekerja padanya, Lelaki itu selalu berwajah sumringah dan sering tersenyum, tetapi saat ini, jangankan tersenyum wajahnya itu bahkan seperti kulkas dua pintu, dingin tidak berekpresi. "Kenapa kamu gak mau melayani meja no 8? itu Siska Artamevia, Mut. Artis beken tanah air, loh?" tanya Walimar dengan heran. "Ceritanya panjang, Mbak. Tapi aku juga gak keberatan buat memberitahu mbak Limar garis besarnya, laki-laki yang bersama Si
Keadaan Mutia sangat menyedihkan, seluruh seragamnya basah. Walimar langsung membawa Mutia ke kamar tempat mereka menginap. "Cepat bersihkan tubuhmu, Mutia. Mbak ambilkan seragam baru. Sudah itu cepat ke tempat acara, nanti Bu Dianty nyariin." "Baik, Mbak." Mutia langsung bergegas ke kamar mandi untuk membersikan diri. Rambut dan baju serta tubuhnya sangat lengket karena ketumpahan minuman manis dari berbagai macam minuman, saat itu dia tengah membawa enam gelas minuman berbagai jenis. Ketika keluar kamar mandi, di sana sudah ada baju seragam yang dilipat sangat rapi. Juga sebuah hair dryer di atas meja rias. Kapal tampak bergoyang sedikit, mungkin kapal sudah melaju ke tengah laut, sepertinya akan mengitari Kepulauan di sekitar ibu kota dan akan kembali lagi di pagi hari besok. Karena ternyata malam hari ini adalah puncaknya pesta, para pengusaha akan terus berinteraksi dan membangun relasi diantara mereka. Ketika keluar dari kamar dan menuju tempat acara, hingar bingar pesta