Pramoedya tersenyum puas, mendengar ucapan Naheswari. Pria tampan itu menjadi semakin percaya diri, karena mendapat dukungan penuh dari kedua orang tuanya. Pengusaha muda berdarah Belanda tersebut tak peduli, meskipun Laila mendelik tajam sambil menginjak kakinya. Alhasil, sneakers putih yang Pramoedya kenakan terlihat sedikit kotor.
“Baiklah. Kita harus segera berangkat ke bandara. Mama tidak mau jika sampai ketinggalan pesawat,” ucap Naheswari lagi seraya beranjak dari duduknya. “Mama akan menyuruh sopir untuk membawakan koper. Kamu juga ikut mengantar ke bandara, kan?” Ibunda Pramoedya tersebut mengarahkan perhatian kepada Laila.
“Tentu, Ma,” sahut Pramoedya. “Laila akan ikut mengantar Mama.”
“Ah, syukurlah.” Naheswari tersenyum lembut, kemud
“Katakan sekali lagi, apa tujuanmu ingin menikah denganku?” Keraguan yang teramat besar tampak jelas dalam sorot mata Laila, yang ditujukan kepada Pramoedya. “Jika Om Adnan dan Tante Mayang saja bisa berkhianat serta memiliki siasat licik, bukan tidak mungkin bila kamu juga sama seperti mereka. Bukankah kamu ingin akses ke perusahaan tambang milik ayahku?”“Apakah seburuk itu citraku di matamu?” Kali ini, Pramoedya terlihat sangat serius. Raut wajahnya menyiratkan kesungguhan.Laila menggeleng pelan. Dia tampak gelisah. “Aku bingung. Aku tidak tahu siapa saja yang bisa dipercaya dan tidak saat ini. Kedua tanganku sudah menggenggam harta melimpah, yang tak akan habis meski kuhamburkan dalam jangka waktu bertahun-tahun. Semua aset peninggalan ayahku memiliki nilai triliunan. Bayangkan itu, Pram. Siapa yang tid
“Apa lagi, Bu?” tanya Laila dengan bibir bergetar. Terbayang dalam benaknya, saat Pramoedya bercinta dengan Marinka. Apakah sang sepupu juga diperlakukan sama seperti dirinya, oleh pengusaha muda itu saat di tempat tidur? Laila menggeleng samar.“Hanya itu yang bisa kuingat,” jawab Kartika.“Baiklah. Terima kasih.” Laila memaksakan senyum. Dia beranjak dari sofa, lalu berjalan ke dekat tempat tidur. Laila meraih tas tangan yang tergeletak di atas kasur. kemudian mengeluarkan dompet. Wanita cantik itu memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada mantan ibu mertuanya.“Apa tidak salah?” Kartika terbelalak tak percaya. Dia langsung menghitung uang pemberian dari Laila. “Ini ... ini enam ratus ribu?” Wanita paruh baya itu mendekatkan uang tadi ke hidung, lalu mengendusnya. "Ah, masih wangi."“Bawa saja. Jangan lupa kirimi Niar uang jajan," ujar Laila tak acuh. Dia tampak begitu malas. "Pergilah. Jangan lupa tutup rapat pintunya." Laila berkata demikian dalam posisi membelakangi Kar
Sekitar pukul sembilan pagi, Laila sudah bersiap. Seperti biasa, dia tampil cantik dan anggun tanpa riasan yang berlebihan. Setelah kembali ke kediaman Keluarga Hadyan, mantan istri Aries tersebut jadi lebih sering menggerai rambut panjangnya.“Jadi, ada hal penting apa yang yang ingin Anda bahas dengan saya?” tanya Laila, setelah berada di ruang kerja mendiang sang ayah.“Saya hanya ingin menunjukkan laporan dari perusahaan,” jawab Widura seraya mendekat ke meja kerja, di mana Laila berada. Pria itu membawa tiga map dengan warna berbeda. “Ini dari PT. Hadyan Resources Tbk. Ini dari PT. Permata Buana Tbk, dan ini dari First Fish Tuna (F2T). Silakan periksa satu per satu.”Laila mengangguk diiringi senyum kecil. Kali ini, dia sudah tidak terlalu bingung lagi. Lail
Laila terpaku di tempatnya berdiri, ketika Elang sudah benar-benar berada di hadapannya. Tak ada jarak lagi antara mereka, sehingga dia dapat melihat dari dekat rupa menawan sang akuntan muda tersebut. Namun, anehnya Laila tak merasakan debaran apa pun. Tak ada sesuatu yang membuatnya seakan mati lemas, karena tak dapat bernapas.Laila menatap lekat pria tampan di hadapannya. Dia mencoba mencari ketertarikan, yang mungkin bisa membuat dirinya lupa pada sosok Pramoedya. Namun, makin dalam pandangan mereka beradu, Laila justru semakin merindukan si pemilik mata hazel tersebut.Tak ada getaran sedikit pun yang Laila rasakan, ketika Elang menyentuh pipinya. Membelai perlahan dan penuh penghayatan. Begitu juga, ketika sang akuntan tampan itu mengusap permukaan bibir Laila menggunakan ibu jari. Laila justru semakin teringat pada setiap perlakuan Pramoedya
Elang membantu Laila turun dari kendaraan. Pria itu bermaksud hendak menggandengnya ke hadapan Pramoedya.Akan tetapi, Laila menolak. Dia menampik halus tangan Elang, sambil tersenyum lembut. “Saya bisa sendiri,” ujarnya.“Tidak apa-apa. Biar saya temani,” balas Elang sedikit memaksa.“Tidak usah, Mas. Tolonglah ….” Laila memasang raut memohon. Membuat Elang tak berdaya. Akhirnya, pria itu mengangguk setuju."Kamu yakin?" tanya Elang sekali lagi, sebelum benar-benar meninggalkan Laila.Laila tidak memberikan jawaban lewat kata-kata. Wanita yang telah menghabiskan sebagian hari dengan Elang tersebut hanya mengangguk.“Baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit Elang. "JIka ada apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungi saya," pesannya.Lagi-lagi, Laila hanya mengangguk. Sebagai ucapan terima kasih, dia tak menolak ketika Elang meraih tangannya. Tanpa diduga, pria itu mengecup punggung tangan Laila. "Selamat malam." Elang tersenyum kalem. Sebelum berlalu dari sana, dia sempat menol
Kartika terkesiap mendengar ucapan bernada ancaman dari Laila. Dia tak pernah menyangka, bahwa mantan menantu yang dulu dirinya anggap lemah dan tak berguna, ternyata bisa menjadi wanita yang sangat berbahaya. Kartika kembali berpikir. Wanita paruh baya itu jauh lebih mengenal Laila dibanding Mayang, yang baru ditemuinya beberapa waktu ke belakang. Tentu saja, dia akan memilih berpihak pada mantan istri putranya tersebut.“Kamu tidak perlu memberi saya dua pilihan seperti itu. Sudah pasti saya akan lebih milih ada di pihak kamu, La,” ujar Kartika.“Baguslah.” Laila tersenyum puas. “Sekarang, sebaiknya Ibu bersihkan dulu lantai ini. Lakukan dengan hati-hati dan teliti,” titah wanita cantik berambut panjang itu, seraya beranjak ke dalam kamar mandi.Laila berdiri d
Sekitar pukul sembilan tepat, Laila sudah tampil rapi. Hari itu, dia mengenakan celana kulot yang dipadukan dengan kemeja berlapis blazer. Laila juga menyanggul rapi rambut panjangnya. Sehingga, penampilan wanita dua puluh lima tahun tersebut terlihat sangat elegan. Sebelum berangkat ke pabrik, Laila sempat berpesan kepada Kartika. Wanita paruh baya tersebut sudah paham akan tugasnya.“Sudah siap, Non?” tanya Widura, yang hari itu akan menemani Laila mengikuti pertemuan dengan para pimpinan direksi F2T. Widura juga berpenampilan lebih rapi dari biasanya.“Sudah, Pak,” sahut Laila sambil menggantungkan tali hand bag di lengan kiri. Saat itu, tatapannya tertuju pada Mayang yang datang menghampiri. Laila tiba-tiba merasakan gemuruh dalam dada yang teramat dahsyat. Andai bisa, dia akan langsung menghampiri wanita paruh baya itu untuk mengajaknya berkelahi secara terang-terangan. Namun, Laila sadar bahwa dirinya tak boleh bertindak gegabah.&nbs
Laila berdiri dari duduknya. Dia melangkah anggun ke hadapan Aries, dengan sorot penuh intimidasi terhadap pria itu. Untuk beberapa saat, wanita cantik bertubuh semampai tersebut tak mengatakan apa pun. Namun, tatapannya sudah dapat mewakili segala hal. Kemarahan Laila terhadap sang mantan suami tak akan pernah sirna. Rasa sakit atas semua penghinaan yang dirinya terima, masih berbekas hingga saat ini. Untunglah, karena takdir baik berpihak padanya. Bagai dalam kisah film, siapa yang menyangka bahwa Laila bisa berada di puncak dunia melebihi orang-orang yang kerap meremehkannya. “Kamu mau mengundurkan diri? Tak masalah. Di kota ini ada banyak orang yang jauh lebih kompeten. Aku tidak akan merasa rugi, karena sudah menggaji pegawai yang bisa diandalkan. Bukan pecundang malas sepertimu.” Berhubung mereka hanya berdua di ruangan itu, Laila memuaskan diri melayangkan celaan terhadap sang mantan suami. “Hentikan, La!” sergah Aries.“Bentak aku, maka kupastikan kamu akan membusuk di dala