"Sekarang ini adalah rumahmu, kamu jangan merasa canggung tinggal disini. Anggap saja ini adalah rumahmu Dian," ucap Mama Janita.Hari ini aku tersenyum bahagia, setidaknya aku bisa diterima dan disambut dengan kehangatan oleh Mama mertua. Walaupun Bude Meri kelihatan tak suka dengan kedatanganku, kulihat ia mendelikan mata."Terimakasih Ma, kalau begitu kita mau istirahat dulu."Ucap Jali seraya melenggang untuk ke kamar. Diikuti dengan langkah kakiku."Ini kamar gue," ungkap Jali sembari membuka daun pintu. Saat mataku melihat beratap aku begitu takjub dengan pemandangan di dalam kamar Rojali, tak menyangka walaupun dia seorang duda tapi kamarnya cukup rapi dan juga luas.Hal yang tahu setelah Emak berhenti kerja tidak ada pembantu disini, lalu siapa yang membereskan kamar jali. Masa iya Rojali sendiri?Kamar aku aja berantakan kalau bukan Emak yang membereskan akan tetapi ini tapi dan juga bersih. "Ini kamar Lo Jal?" tanyaku masih tak percaya."Ya iyalah ini kamar gue, masa iya ka
"Ayo Dian kita makan sama-sama," ajak Bu Mama mertua sembari menata piring di meja makan.Aku yang kala itu baru saja keluar kamar langsung menghampiri kediaman Mama mertua dan juga Bude yang baru selesai masak."Enak sekali ya jadi nyonya, bangun tidur langsung mandi, tak lupa langsung makan, sudah makan tidur lagi. Sekalian aja jadi cucunya Mbah Surip biar mantap," sindir Bude Meri sembari mendelikan mata saat melihatku.Dan anehnya selalu ia yang sewot ketika aku melakukan hal apapun, padahal jelas sekali kalau mertuaku tidak pernah permasalahkan apapun semenjak diriku kesini. "Panggil suamimu, ayo kita makan," ucap Bu Janita memerintah padaku.Bu Janita seakan tidak menggubris ucapan Kakak perempuannya itu lantaran mungkin sudah biasa kalau sifatnya begitu. Suka usil dan juga melarang-larang padahal bukan haknya untuk dilarang."Sebentar ya Ma, aku panggil Mas Jali dulu, ku pikir tadi dia kesini? Lantas kemana ya Ma?" tanya pada BU Janita.Kemana aku harus mencari pria itu, peras
"Dian, habis dari mana kamu?" Degh!Suara pria itu bertanya membuat jantungku seketika akan copot."Aku, aku mencari kamu Jali, tadi Mama mengajak kita makan. Aku cari ke sana kamu tidak ada?" jawabku agak gelagapan."Kamu itu aneh, justru aku sedang berenang kamu malah mencari ke belakang rumah, ya, gak bakalan ketemu lah," ucap Haris sembari cengengesan."Ju-justru itu aku tidak menemukanmu. Kamu itu memang pintar ngilang kayak jelangkung saja. Mari kita makan," ajakku sembari menuntun tangannya. Akan tetapi Jali malah terhenti sembari mata memandangku.Tatapan matanya begitu berseri membuatku lemah tak berdaya. "Katanya mau makan kok malah saling pandang begitu?" tanya Mama Janita membuyarkan pandangan kami berdua.Aku dan Jali merasa malu saat kepergok sedang saling memandang di tempat terbuka."Ma, Jali akan pakai baju dulu, baju Jali basah begini," sahut Jali seraya langsung melenggang.Kini yang tersisa hanya ada aku dan juga Mama mertua kesayanganku. Ia merangkul bahuku dan
"Sayang semua yang kamu butuhkan apa sudah disiapkan?" tanya Bu Janita tatkala ia sedang mengemasi beberapa pakaian dan barang-barang yang akan dibawanya untuk honeymoon bersama sang suami tercinta.Wanita setengah baya itu nampak semangat ketika semua barang yang diperlukan telah siap."Sudah sayang," ungkap Haris sembari mengutak-ngatik ponsel yang berada di tangan sembari kaki selonjoran di atas ranjang."Sayang uangku telah habis, semalam aku kalah slot lagi. Dan ibuku di kampung meminta uang bulanan padaku," sahut Haris penuh permohonan.Wajah pria muda itu nampak melas dengan segudang sandiwara yang hampir saja membuat Bu Janita terperangkap. Tidak ada hentinya yang selalu ada di pikiran Haris adalah uang dan uang. Akan tetapi Janita selaku istri kayaknya tidak pernah mengeluh apalagi curiga kalau Haris hanya memanfaatkan hartanya saja. Walaupun sang anak cikal -Jali selalu bawel terhadap Bu Janita untuk tidak terlalu memanjakan suami mudanya itu. Namun Bu Janita tak menggubris
"Jali, Dian jaga diri baik-baik ya sayang. Mama tidak akan lama kok. Dan kamu Jali ingat apa yang kata Mama bilang, gantiin Mama untuk kerja sambil kamu belajar. Nanti ada Om Kaisar yang mendampingi kamu."Wanita setengah baya itu memeluk dan mencium menantu kesayangannya dan berpamitan untuk segera berangkat berbulan madu ke bali. Walaupun aku bukan bandingannya dan hanya orang biasa, akan tetapi aku diperlakukan baik olehnya, sungguh aku terkagum dengan mertuaku yang satu ini. Baginya orang miskin ataupun kaya itu sama saja, maka dari itu rasanya aku betah tinggal disini."Mbak jagain Jali dan Dian ya, aku harus pergi sebentar," pamit Janita pada kakak perempuannya. "Kamu tenang saja, semuanya pasti beres. Kamu juga hati-hati di jalan, jangan sampai kesehatanmu terganggu Janita. Mbak tunggu kepulanganmu lagi."Kakak perempuan dari Janita memeluk tubuh sang adik. Akan tetapi wajahnya tampak sumringah tatkala Janita akan pergi. "Kalau gitu aku berangkat sekarang Mbak. Jali dan Dian,
[Mbak nanti sore aku akan suruh Jali untuk dicarikan pembantu] setelah beberapa saat datang pesan balasan dari Janita.Meri nampak manyun sembari kesal. Padahal yang diharapkan yaitu teguran untuk Dian, akan tetapi yang datang malah begini. Meri heran entah harus dengan cara apalagi agar adiknya bisa membenci menantunya itu. Tapi sekarang percuma sebab Janita tidak ada disini, mungkin wanita setengah baya itu harus cari tahu titik lemah Daindra saja."Aku punya ide," gumam Meri sembari tersenyum sinis.***Sore hari sebelum suamiku pulang, terlebih dulu aku menyiapkan beberapa masakan walaupun masih belajar, mungkin rasanya gak seenak buatan Emak. Sudah lama aku tidak berkunjung kerumahnya rasanya aku rindu akan nenek tua itu, semoga dia baik-baik saja disana. Tatkala merapikan dan menata piring terdengar suara seseorang membuka pintu, ku pikir mungkin itu Rojali suamiku. Pasti dia akan kagum kalau tau aku ini pintar masak. Tapi dia cuek bin jutek banget sih, mana mau muji-muji masak
Entah mengapa melihat pemandangan itu hatiku merasakan nyeri, rasanya bagai ditusuk pedang panjang sampai ke jantung. Mataku berkaca tatkala melihat Jali yang sedang disuapi makanan oleh Rindu. Mereka tak salah, mereka adalah seorang kekasih bahkan mantan istri di masa lalu dan aku bukan siapa-siapa melainkan hanya istri bayaran saja. Tapi mengapa hati ini merasakan sakit yang teramat.Bude Meri tersenyum puas saat melihatku sedang berdiri di ambang pintu ketika akan masuk ke dapur. Sepertinya dia tau kalau aku saat ini sedang merasakan cemburu. Hati kenapa harus cemburu pria yang setiap saat bahkan setiap detik bersamamu itu hanya sebatas pekerjaan bukan sebagai pasangan. Aku harus kuat menghadapinya. Tapi… nyatanya aku tidak kuat. Apa jangan-jangan aku mulai menyukainya. Tidak! Tidak boleh, jangan sampai itu terjadi, masih banyak lelaki diluar sana yang sepadan dengan diri ini. Rojali sultan bukan bandingannya dengan wanita miskin sepertiku."Diandra, sedang apa kamu disitu?" tanya
"Jal, tunggu! Aku tidak bersalah. Kalau Rindu yang pertama kali menyerang ku. Aku bisa jelaskan bahwa diriku hanya membela diri ketika wanita itu akan menyakitiku," ungkapku mencoba berlari mengejar Jali untuk menjelaskan semuanya bahwa sama sekali tidak bersalah dan aku tak ingin disalahkan."Bohong Jal! Kamu jangan percaya pada wanita itu, bukankah kamu barusan yang melihat bahwa dia dengan beraninya mencoba menyakitiku. Padahal aku sama sekali tidak berbuat apa-apa, mungkin dia ini cemburu sebab melihat kedekatan kita!" sergah Rindu.Dadaku mulai naik turun dengan emosi yang hampir naik ke ubun-ubun. Tahan, tahan. Aku mencoba menahan amarah yang saat ini telah menguasai diri ini. Ternyata Rindu tidak hanya licik bahkan dia juga sangat berbisa lebih dari ular kobra."Kalau begitu kamu lihat saja di cctv, bukankan seluruh rumah ini diawasi," saranku.Itu adalah salah hal yang tepat disaat situasi seperti ini.Jali terdiam sejenak, sembari pikirannya mulai menyetujui dengan saran yan