"Berapa Papa kirim uang untuk Prita setiap bulannya?" Aku terus mengulangi pertanyaan yang sama karena Mas Pras tidak kunjung menjawab.Wajahnya terlihat sangat terkejut dan pucat mendengar pertanyaanku."Berapa?" sentakku lagi. Ini sudah lewat tengah malam, tapi aku tidak peduli kalau suaraku akan terdengar oleh tetangga."Itu ... itu biaya kuliah Prita Ma, adik kandungku!" jelasnya. Dengan penegasan 'adik kandungku', aku yakin dia tidak punya rasa bersalah.Kuusap wajah dan mencoba menghentikan air mata yang mengalir begitu saja tanpa bisa kuhentikan. Hatiku benar-benar hancur saat ini. Bukan karena aku hitung-hitungan terhadap adik Mas Pras. Tapi aku merasa tertipu selama ini.Uang yang sejatinya dia bilang akan ditabung untuk membeli rumah setiap bulannya, nyatanya dia pakai untuk biaya kuliah dan biaya hidup adiknya selama tinggal di tempat kost.Mungkin ceritanya akan lain, kalau saja dia mengatakan semuanya dan tidak dzalim pada keluarganya sendiri. Tapi yang kulihat, kehidupa
Dasar mantan semprul!Bukankah itu mobil Aa Hadi?Kenapa malah dia yang menyusulku ke sini?Kulihat Ibu tergopoh-gopoh menyambutnya.Untung saja Bapak belum pulang, karena jam segini masih di kebun. Kalau tidak bisa tambah riweuh, ada dia di sini.Sedangkan aku, aku tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduk. Dua belas tahun berlalu, ternyata dia masih hapal saja jalan menuju ke rumah ini.Dulu, beberapa kali aku sempat mengajaknya ke sini. Karena itulah, Bapak, Ibu dan Anjeli sangat dekat dengannya.***Setelah bicara sebentar dan membuatkan teh manis, Ibu meninggalkan kami berdua. Dan aku masih saja diam seribu bahasa. Bau khas parfum yang sejak dulu dia pakai, cukup mengganggu perasaan dan hidung minimalis milikku. Terlebih, Aa Hadi, malah mengambil tempat, tepat di sampingku.Aku bergeming, meski jantungku terasa jedag-jedug tidak keruan."Kamu bertengkar sama suami, ya?" tebaknya sambil menatapku.Bagaimana dia bisa tahu kalau aku bertengkar dengan Mas Pras? Apa suaraku terla
"Kenapa Papa enggak marah sama Mama soal Pak Hadi?" tanyaku penuh selidik. Sejak tadi, pertanyaan itu terus menggangguku."Papa sadar kok Ma, selama ini belum bisa jadi suami yang baik. Karena itu, Papa malah malu, saat mengingat mantan Mama lebih perhatian sama Mama ...," jelasnya lirih.Sepertinya, dia memang benar-benar telah berubah. Karena aku tidak pernah melihatnya seperti ini sebelumnya. Akhirnya, kuturuti juga permintaan Mas Pras untuk pulang ke rumah, hari itu juga. Sebagai gantinya, aku mewanti-wanti dia supaya diam dan Teh Lina tidak perlu tahu masa laluku dengan Aa Hadi.Dia setuju dan mengerti hubunganku yang sudah terjalin baik dengan Teh Lina.Heummm, rasanya Mas Pras jadi terlihat lebih ganteng dua kali lipat kalau menuruti keinginan Jani. Uhuk!Sesampainya di rumah, mataku dibuat terbelalak oleh pemandangan yang ada. Sedangkan Mas Pras hanya senyum-senyum saja melihatku yang mulai kembali emosi.Baju kotor, piring kotor dan rumah yang berantakan. Semakin menambah le
"Assalamualaikum Tante ...!" Suara Ranti dari luar, cukup mengagetkan dan membuat kami saling bepandangan.Mas Pras lalu berjalan membukakan pintu."Waalaikumusalam, masuk, Ran!" perintahku tanpa beranjak. Maklum, masih lemas."Nindy sama Hamdi mana Tan? Kangen juga aku sama dua bocah itu, udah lama enggak gendong!" kata Ranti sembari masuk menghampiriku .Ranti ini kebiasaan. Kalau manggil Tante suka nggak selesai. Setengah-setengah begitu, kan jadi enggak enak didengernya!"Tidur di kamar tuh, habis makan," sahutku."Ehm, muka Tante pucat banget, sakit ya, Tan?" tanyanya terlihat khawatir."Iya Ran, sepertinya Tante kecapek-an di jalan waktu pulang kampung itu," kataku menerka.Mas Pras yang ada di hadapanku, memandang dengan khawatir."Belum enakan ya, Ma?" "Belum, Pa!""Ranti, Bagaimana kalau Om titip Nindy sama Hamdi? Om mau bawa Tante Jani ke dokter ...."Hah? Apa enggak salah denger ini? Tumben peka! Biasanya kalau belum berhari-hari, nggak bakal dibawa ke dokter."Iya Om, sa
Jakarta, dua belas tahun yang lalu."Assalamualaikum, Chika?" tanyaku pada seseorang di sambungan telepon. Tak sabar rasanya ingin berbicara dengan sahabat SD-ku itu. Dengan susah payah, akhirnya aku bisa mendapatkan nomor telepon Chika dari Ina, teman sekelas kami juga."Waalaikumusalam, ini siapa?" sahut suara di ujung telepon.Tapi ... kenapa suaranya laki-laki?"Ini benar nomor telepon Chika?" tanyaku dengan sedikit ragu."Maaf salah sambung." Lelaki di ujung telepon memutuskan sambungan telepon.""Hih kenapa juga salah sambung? Ina gimana sih kasih nomor?" dengkusku kesal sambil melempar handphone pertama yang kumiliki itu. Harapanku untuk bisa berbicara dan melepas rindu dengan Chika pupus sudah.Kembali kuraih handphone Nokia 3310 itu dan mengamati nomor yang tertera di layar, dengan nomor di kertas pemberian dari Ina. Setelah kuperhatikan dengan teliti, tak ada yang salah dengan nomor yang diberikannya. Tapi kenapa bisa salah sambung?[Maaf ya, tadi saya lagi kerja. Boleh kena
Ya Allah, bagaimana ini???Ingin rasanya aku kabur ke planet Mars kalau begini. Bukan hanya bibirku yang tiba-tiba kelu. Kakiku lemas, nafas tercekat, seluruh sendi terasa lepas. Ya Allah, inikah akhir hidup Anjani???Ingin aku melirik bagaimana respon Teh Lina, atau Aa Hadi. Tapi aku tidak sanggup, aku hanya menunduk dan menunggu dengan pasrah, apapun yang akan terjadi selanjutnya."Sarah, maksud kamu apa?" tanya Teh Lina yang masih kebingungan.Kupejamkan mata dan berharap Sarah tiba-tiba bisu. Ya ampun jahat banget kamu Janiiii!!!"Mamaaaaaaaaaa ...! " Suara tangisan Hamdi, yang sering membuatku kesal, kini terdengar bagai pembawa alunan kesejukan."Hamdi?" seruku.Wussshhh!!!Kuambil jurus seribu langkah mengatasnamakan kekhawatiranku pada Hamdi.Terima kasih Nak, terima kasih! ucapku penuh haru.Dengan gemetar, aku menyusui Hamdi yang tangisnya langsung berhenti begitu aku datang.Menyusulah sepuasnya Nak, hari ini kamu pahlawan Mama! Ucapku dalam hati, sambil mengecup keningnya.
Teteh marah atau enggak sih, sama Jani?Hiks, mending Teteh bu**h Jani sekalian deh!Keesokan harinya, aku bangun lebih pagi untuk menyapu halaman, agar bisa bertemu dengan Teh Lina. Karena biasanya, dia akan membeli sayuran di ujung gang setiap pagi.Selain ucapan terima kasih atas oleh-oleh yang dia berikan, aku juga ingin memastikan sikap Teh Lina setelah mengetahui semuanya dari Sarah.Lama kusapu jalanan, hingga debu pun ikut menghilang, tapi Teh Lina tidak kunjung keluar. Ya Allah, apa Teh Lina tahu, kalau Jani nungguin Teteh?Rasanya kenapa lebih sakit daripada saat tahu telah dibohongi Aa Hadi ataupun Mas Pras?"Bersih amat sih, Ma!" tegur Mas Pras yang sedang bersiap berangkat kerja dan memanaskan motornya.Aku hanya mendelik tak menyahut. Sesaat kemudian, aku teringat sesuatu dan langsung menghampiri Mas Pras.Hari ini, kan hari gajian Mas Pras. Dan untuk pertama kali, aku tak ingin melewatkannya, meski hanya sekedar mengambil uang di ATM."Mana kartu ATM-nya Pa? Katanya Ma
Aku meringis saat rasa sakit di sekitar perut bagian bawah mulai menjalar.Perlahan, berusaha kembali mengingat kejadian tadi siang. Meski samar, aku masih ingat dan cukup sadar, saat dokter dan para perawat menanganiku yang mengalami pendarahan dan menyebabkan keguguran.Air mataku mengalir begitu mengingat, bayi di dalam kandunganku tidak bisa bertahan. Ya Allah ... apakah ini dosa Jani karena sempat mengeluhkan kehamilan ini?Samar-samar, kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan dan mendapati seorang wanita sedang duduk sambil memainkan ponselnya.Tapi ... bukankah itu Teh Lina?Ya Allah ... apa karena Jani rindu sama Teh Lina, terus jadi terbayang-bayang? Mana mungkin Teh Lina ada di sini?"Ehm ...!" Aku berdehem, bukan saja karena tenggorokanku kering, tapi sengaja agar menarik perhatian wanita berkerudung ungu yang sedang menunduk itu.Mendengarku berdehem, dia memasukan ponselnya ke dalam tas dan beranjak menghampiriku. Kini memang jelas, kalau dia benar-benar Teh Lina. MasyaaAl