“Tidak, Pak! Kami bukan pencuri. Ini semua belanjaan kami, dan kami sedang mengantre di kasir. Tapi orang itu--dia tanteku, Pak. Dia yang mendorong ibuk hingga jatuh,“ Kinar menjelaskan kepada penjaga toko sambil membantu Ratih berdiri. “Makanya jadi orang jangan sombong-sambong! Tanggung tuh akibatnya!“ ketus Galuh. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kalau kalian bikin keributan di sini. Saya bisa membawa kalian ke kantor.“ Penjaga toko itu membantu Ratih dan Kinar memunguti barang yang berserakan. “Maaf, Pak. Ini hanya salah paham. Maaf kalau sudah membuat kegaduhan,“ ucap Ratih sopan. “Baiklah, lain kali jika terulang. Maka saya akan membawa kalian ke kantor, kalian harus bayar ganti rugi atas kegaduhan yang telah kalian buat.“Galuh tanpa merasa bersalah langsung pergi dari tempat itu. Sementara Ratih, Kinar, Rea dan petugas keamanan itu masih membereskan barang yang berserakan. “Terima kasih, Pak,“ ucap Ratih saat selesai membereskan itu semua. Ratih kembali mengantre di kasir.
Ratih melongo tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Radit. Cerai? Radit benar-benar menceraikan Tika di depan orang banyak. Radit tidak peduli Tika histeris dan memanggil-manggil namanya. Tika menyusul Radit pulang. “Apa kita perlu ke Dokter, Mbak?“ ujar Bu Tutik yang masih jongkok di samping Ratih. “Nggak perlu, Bu. Setelah ini biar saya kompres saja, nanti juga sembuh.““Mbak Ratih yakin? Apa saya perlu memberitahu Mas Damar?““Jangan beritahu suami saya, Bu Tutik. Takut mengganggu pekerjaannya. Besok juga dia pulang,“ jawab Ratih sambil memegang kepalanya yang masih berdenyut. Bu Tutik membantu Ratih masuk ke rumah. Ia mengambilkan air hangat dan handuk kecil untuk mengompres memar di kepala Ratih. “Kalau sampai nanti siang masih sakit, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Mbak Ratih. Saya siap kapan pun untuk membantu Mbak Ratih.““Terima kasih, Bu Tutik. Ibuk terlalu baik. Maaf kalau saya sering merepotkan Ibuk!““Kalian sudah seperti keluarga saya sendiri. J
Ratih awalnya ragu. Namun, begitu ia ingat pada semua yang telah dilakukan Damar untuk keluarganya, hatinya runtuh. Malam ini, ia menyerahkan segalanya yang ia miliki untuk Damar suaminya. Begitu juga dengan Damar, tak ada lagi keraguan untuk memiliki Ratih seutuhnya. Bukan hanya kenikmatan semata, tetapi janji untuk menemani hingga tutup usia. Azan Subuh membangunkan Ratih. Tangan Damar masih erat memeluknya. Ratih menggenggam sebentar tangan itu, lalu melepaskan dari pinggangnya. “Mas, sudah Subuh. Bangun, salat dulu,“ Ratih membangunkan Damar. Ia mengusap pipi Damar dengan lembut. Damar membuka mata, lalu mengulas senyum. Damar meregangkan tangan, lalu duduk di bibir ranjang. “Terima kasih untuk malam ini, Sayang. Andai bisa seperti ini tiap malam,“ ucap Damar sambil meraih kepala Ratih. Mengecupnya singkat. Wajah Ratih memerah, ia hanya mengangguk lalu bergegas ke kamar mandi tanpa berkata sepatah kata pun. Damar tertawa melihat istrinya yang salah tingkah. Ratih benar-benar me
Damar merangkul Kinar, lalu tersenyum manis ke arah Aldo. Remaja yang sangat berani menurut Damar. “Om tidak melarang dan tidak membatasi Kinar berteman dengan siapa pun, tetapi kalau sudah menyangkut perasaan, itu terserah Kinar mau bagaimana. Siapa namanu, Nak?“ tanya Damar. “Saya Aldo, Om. Saya menyukai Kinar sejak Kinar masuk di sekolah ini. Tapi Kinar tidak pernah respon terhadap saya,“ sahut Aldo. “Kinar, apa kamu menyukai Aldo?““Aku nggak benci Kak Aldo, Ayah. Hanya saja, aku nggak mau pacaran dulu. Takut mengganggu sekolah. Aku pengen sekolah tinggi dan menjadi orang sukses dulu, biar bisa bahagiain Ibuk.““Nah, sekarang Aldo sudah denger sendiri jawaban dari Kinar, 'kan? Terus maunya Aldo bagaimana?““Saya tetap mau berteman dengan Kinar, Om. Kalau sesekali main ke rumah Kinar boleh nggak, Om?““Silakan! Kamu boleh main ke rumah. Kalian bisa berteman dulu sampai kalian dewasa nanti. Siapa tahu kalian memang jodoh!““Ayaaah!“ rengek Kinar sambil mencubit lengan Damar. Seme
“Ibuk hanya belum mengenal Ratih, andai Ibuk mengenalnya, aku yakin Ibuk akan menyukainya.““Ibuk tetap pada pendirian Ibuk. Ibuk tidak setuju dengan pernikahanmu. Kalau kamu tetap memilih dia, silakan angkat kaki dari sini! Dan jangan pernah pulang untuk menengok Ibumu ini!“ Bu Dian memalingkan muka. Wajahnya merah memendam amarah. Meski Damar sudah berlutut di hadapannya. Namun, Bu Dian tetap tidak memberikan restunya. “Maaf, Buk, jika kehadiran saya dan anak-anak saya membuat Ibuk marah. Saya bisa pergi dari sini.“ Akhirnya Ratih buka suara. “Tidak, Ratih. Jangan pergi! Aku suamimu dan aku bertanggung jawab atas dirimu dan anak-anak.“ Damar melarang Ratih keluar dari rumahnya. “Sekarang kamu pilih Ibuk atau mereka?“ bentak Bu Dian. Damar mematung di tempatnya, ia kembali bersimpuh di kaki ibunya. Memohon agar Bu Dian bisa menerima Ratih dan tidak mengusir mereka. “Aku tidak ingin menjadi anak durhaka, Buk. Tapi jangan jadikan aku suami yang lepas tanggung jawab. Aku mencintai
Ratih baru saja sampai di rumah, ponselnya mati saat masih di jalan. Ia memasang charger, lalu menyalakan ponselnya. Ia melihat ada 13 panggilan tak terjawab dari Damar, tetapi Damar tidak meninggalkan pesan apa pun. “Ibuknya Ayah seram, ya, Buk!“ ucap Kinar sambil menyalakan televisi. “Nggak boleh ngomong gitu. Kalau Ibuk jadi beliau, mungkin Ibuk juga akan mengambil sikap yang sama.““Tapi kata-katanya kelewatan. Nenek itu terlalu merendahkan kita. Kalau nggak inget dia ibunya Ayah, pasti sudah ku--““Sudah, nggakpapa. Kamu jadi anak gadis itu nggak boleh terlalu bar-bar!““Aku cuma ingin melindungi Ibuk!““Bukan dengan cara seperti itu. Jadi anak yang baik dan nurut saja Ibuk sudah seneng.“Kinar diam. Ibunya memang berhati malaikat. Andai bisa digambarkan, mungkin Ibunya punya sepasang sayap putih di kanan dan kirinya. Tidak selang lama, ponsel Ratih kembali berdering. Panggilan dari Damar kembali masuk. Ratih ragu untuk mengangkatnya, tetapi ia juga penasaran dengan apa yang t
Setelah sekian detik terdiam, akhirnya Ratih mengangguk. Siap tidak siap, Ratih harus menghadapi semua ini. Bagaimanapun sekarang Clarisa adalah anak sambungnya. Ia tidak bisa lama-lama menghindar. “Iya, Papa sedang bersama dia,“ ucap Damar begitu melihat Ratih menganggukan kepala. “Aku mau ngomong sebentar, boleh 'kan?““Iya, boleh, tapi jangan keras-keras. Ini sudah malam!““Iya, Pa. Aku ngerti.“Damar segera menyerahkan ponsel itu ke Ratih. Sekilas Clarisa menangkap ruangan serba putih dan tidak seperti sebuah kamar di rumah. Ada rasa curiga yang timbul di hatinya. “Halo, Clarisa, aku Ratih,“ sapa Ratih. “Oh, jadi ini istrinya Papa. Hey, Tante. Aku Clarisa. Tante kenal Papa di mana?““Di sosial media. Aku juga tidak menyangka kalau hubungan kami bisa sampai ke pernikahan. Maaf kalau tidak meminta izin ke kamu lebih dulu.““Its Ok, Tante! Papa memang selalu begitu. Papa bahkan jarang menghubungiku kalau bukan aku duluan yang mengubunginya.““Iya, Papamu selalu sibuk dengan peker
Radit berlalu dari rumah Ratih. Pria itu adalah masa lalu Ratih, sejak belasan tahun lalu, Ratih sudah mengubur perasaannya dalam-dalam. Namun, Radit seperti bayang-bayang yang selalu mengikuti ke mana saja Ratih pergi. Bahkan saat suami Ratih yang pertama masih hidup. Mungkin itulah yang menjadi sebab kenapa Tika sangat membenci dan menyimpan api cemburu kepadanya. Ratih kembali ke dapur. Sudah hampir jam lima sore. Ia harus segera menyelesaikan masakannya dan kembali ke rumah sakit. “Malam ini Ibuk tidur di rumah sakit atau tidur di rumah?“ tanya Kinar saat membantu Ratih memasak di dapur. “Ibuk harus kembali ke rumah sakit dulu. Soal pulang atau enggaknya, Ibuk belum tahu.“Kinar tampak membuang napas panjang. Bukan merasa perhatiannya direbut oleh ayah sambungnya, tetapi ia merasa kasihan kepada ibunya yang juga dalam kondisi baru sembuh dari sakit. “Aku temani ke rumah sakit, ya, Buk! Nanti kalau Ibuk mau menginap di sana, aku bisa pulang naik ojek online. Mumpung liburan se