Langkah kaki Arsen terhenti sesaat setelah keluar dari lift ketika melihat punggung seseorang berdiri di depan pintu ruangannya dengan satu ponsel di tangan. Sebelumnya tadi, dia sudah dalam perjalanan pulang tapi memutuskan kembali karena teringat ada barangnya yang ketinggalan, juga CD yang diberikan Zafier Gaster masih tersimpan di laci meja kerjanya. Setelah kepergian Omnya tadi siang, Arsen menghabiskan sisa waktunya dengan berpikir juga melihat lagi bukti itu yang berakhir dengan satu kesimpulan; dia tidak peduli karena itu urusan Omnya. Tidak mungkin dia menjebloskan keluarga dekatnya sendiri ke penjara. Arsen melangkah mendekat saat mendengar seseorang itu berbicara. "Saya sudah memeriksa semuanya." Langkah kakinya terhenti, bergeming di tempatnya berdiri lalu buru-buru mundur ketika punggung yang dikenalnya itu akan berbalik, bersembunyi di balik pilar bangunan di belakang hiasan pot bunga besar dan diam menunggu sampai di dengarnya langkah kaki seseorang itu semakin mende
Zaf menoleh cepat saat mendengar suara benda dilemparkan dari arah dalam, buru-buru masuk dan kaget saat melihat Shine sedang memeluk Mamanya yang menatap nyalang Robin yang berdiri tidak jauh darinya dengan tubuh kaku. Vas bunga sudah hancur berserakan di lantai. "Pergi kalian berdua laki-laki brengsek!" teriak Melvina, memandangi antara dirinya dan Robin. "Mam, please, tenanglah." "Aku minta maaf." Robin maju dan berlutut di sana, menatap nanar Melvina. "Maaf karena kau harus melalui semua ini karena perbuatanku. Aku akan menebus semuanya. katakan saja apa yang harus aku lakukan agar kau bisa bahagia." "Aku sudah menganggap kalau kau sudah lama mati—" ucap Melvina dingin, kata-katanya begitu menusuk. "Jadi pergilah sekarang juga dan jangan pernah mendekatiku atau anakku lagi." "Mam—" ucap Shine. "Dan untukmu Shine—" Zaf begeming saat Melvina menatapnya tajam. "Menjauhlah dari laki-laki brengsek itu. Dia tidak akan pernah bisa membuatmu bahagia dan Mama tidak akan rela kalau k
Sore hari sebelum Gala Dinner, kantor CEO Gaster CoorporationBRAKK!!Zaf menoleh saat mendengar suara pintu kantornya dibuka keras, meletakkan bulpoint yang tadi dipegangnya dan menyandarkan punggung di kursi. Memperhatikan sosok tamu tidak diundang yang berjalan mendekat sampai akhirnya berdiri di depan mejanya."Apa kau sudah membuat keputusan?" tanya Zaf."Aku tidak peduli dengan apa yang dilakukan Omku." Arsen melipat lengannya di dada.Zaf menaikkan alisnya, "Really?""Aku tidak akan menuruti kemauanmu untuk menjebloskan Omku sendiri ke penjara.""Well, kalau begitu kau yang idiot. Apa kau tidak sadar dan tidak tahu kalau Ommu bisa melakukan apapun untuk menjaga kehormatannya termasuk menyingkirkan keponakannya sendiri."BRAKKK!!Arsen memukulkan kepalan tangannya di meja Zaf dengan sorot amarah. "Dia tidak mungkin melakukan hal itu. Kau tidak bisa memecah belah kami. Biar bagaimanapun, aku tetaplah keluarganya."Zaf menggidikan bahu, nampak santai. "Tidak ada yang menjamin hal
"Well, Gaster Coorporation memang tidak bisa diremehkan." Martin duduk santai di salah satu sofa kantor Zaf seraya mengedarkan pandangan. Di belakangnya, Agam berdiri mengikuti pembicaraan tapi Zaf tahu kalau dia sedang memperhatikan sekitarnya. "Apa kau lupa kalau aku bukan pemain baru di dunia bisnis. Kita saja yang baru bertatap muka dan memulai semua kegilaan yang tidak ada habis-habisnya ini," balas Zaf santai. "Tapi mengasyikan bukan?" ucapnya dengan seringaian. "Sejak datang, kau membuat banyak sekali perbedaan. Di luar sana, mungkin kau berjaya tapi tidak di wilayahku." "Tidak bisa menerima saingan berat rupanya?" Martin tersenyum miring, "Hanya ada satu orang yang boleh menduduki posisi puncak." "Aku yakin kedatanganmu ke sini bukan untuk beramah tamah," ucap Zaf to the point. "Aku tidak tahu apa motif kau mengirimkan informasi itu ke Arsen tapi kau tidak akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Keponakanku itu terlalu lembut hatinya terlebih dengan Omnya sendiri." "Oh
"Aku akan segera menyusul ke Bandung. Pastikan mereka dalam keadaan baik-baik saja." Arsen bergegas menuju mobilnya setelah keluar dari lobbi kantor Zafier masih sambil berbicara dengan anak buahnya di telepon. Rambutnya nampak berantakan dan tatapannya begitu gusar. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Omnya setega itu padanya meski hal itu untuk mengancam Zafier. Seharusnya Omnya mengerti kalau Shine juga Tante Melvina, berarti untuknya. "Aku harus mengambil sesuatu lebih dulu." Setelah mengatakanya, Arsen mematikan sambungan telepon, melangkah semakin cepat ke mobil. Mobil Audy hitamnya berkedip dua kali saat dia menekan remote di tangan, berdiri sebentar di samping pintu dengan tatapan fokus ke ponsel berniat menelepon seseorang dan saat akan membuka pintu mobilnya, dia bergeming memandangi pantulan wajah seseorang yang tiba-tiba saja berada di belakangnya dari kaca mobil. Arsen berbalik cepat penuh antisipasi, tapi terlambat, saat dia bisa merasakan lehernya di tusuk dengan
"Ah sial!!!" Umpatnya kesal saat tidak bisa menemukan ponsel di saku celananya. Lalu teringat kalau benda itu ada di dalam tas yang dia tinggalkan di rumah sakit. Mungkin sudah hampir dua jam lebih dia berputar-putar mengikuti mobil dua lelaki yang dia duga, salah satunya Putra. Seperti mengejek atau mempermainkan, mobil yang diikutinya malah berputar-putar ke segala arah. Shine sudah berusaha untuk memperkecil jarak tapi selalu gagal. Benar-benar dipermainkan. "Mau kemana mereka sebenarnya?" Shine menginjak pedal gas semakin dalam, mobil mengarah ke daerah pingiran Bandung. Menolak untuk mundur karena dia tidak mau kehilangan kesempatan untuk menghajar Putra sampai babak belur. Di luar, langit sudah menggelap sejak satu jam yang lalu. Masih sambil fokus mengikuti mobil di depannya, Shine mencoba mengotak-atik interior canggih Zaf yang serba merah, berharap ada sesuatu yang bisa dia gunakan untuk menghubungi Zafier di Jakarta. Tapi nihil, tidak ada. Dia tidak tahu bagaimana men
Shine mendengus kesal, fokus dengan jalanan ramai di depannya lalu terlihat mencari-cari. "Aku tidak melihat mobil hitam itu lagi?""Simpangan di depan kau belok kanan mengarah ke daerah perkebunan. Sebentar—" Shine melirik Zaf yang nampak fokus dengan sesuatu. "Aku mencoba untuk melihat apa saja yang ada di area sekitar sini. Aku penasaran sebenarnya mereka mau kemana.""Itu juga yang aku pertanyakan sejak tadi. Untung saja mobilmu begitu nyaman untuk kebut-kebutan.""Kau akan tercengang kalau aku ceritakan tentang mobil ini." Shine menoleh heran, belum sempat bertanya, Zaf kembali berbicara. "Aku melihat ada gedung kosong beberapa kilometer dari sini selain villa-villa. Kalau di lihat dari satelit seperti tidak berpenghuni. Mungkin saja mereka menuju ke sana." Shine melihat spion, membanting setirnya ke kanan. "Aku sudah tidak jauh di belakangmu.""Bagaimana caranya kau bisa melakukan semua ini?" tanya Shine, menambahkan kecepatan mobil."Teknologi. Aku hanya memanfaatkan mereka leb
Laki-laki itu berdiri dengan tatapan bengis meski bibirnya menyunggingkan senyuman. Nampak begitu berbahaya dan mematikan. Shine tidak pernah menduga kalau dia adalah laki-laki yang sama yang dulu berhasil merebut perhatiannya karena menampakkan perwujudan kekasih sempurna yang begitu dia idamkan.Percayalah Shine, kalau dulu dia pasti sudah buta.Atau memang laki-laki itu yang bergitu lihai membodohinya sampai terpedaya. Nyatanya, Shine sama sekali tidak melihat jejak Putra yang dulu dikenalnya di mata lelaki itu.Shine mengangkat dagu, menggenggam pistol Zafier erat meski dia sama sekali belum pernah menggunakannya tapi Putra tidak perlu tahu hal itu. Shine jelas menolak terlihat lemah dan dia memang bukanlah wanita yang lemah."Sweety, sejak kapan kamu berani memegang benda seperti itu?" tanyanya, tidak terlihat takut meski mata pistolnya tepat menghadap tubuhnya.Shine menyeringai, "Kamu jelas tidak mengenalku dengan baik, baby."Matanya berkilat takjub tapi ekspresinya meremehka