"Kau dengar suara itu?" Tanya Ratna Widuri."Iya aku mendengarnya." Menur menjawab perlahan."Mengapa suara dan gelombang suaranya begitu keras tapi benda atau hewan apa yang menggeram itu tidak nampak ya?" Ratna Widuri masih penasaran dan terus mencari."Ah, kau ini membuatku takut saja Ratna. Sudah tahu di dalam hutan begini masih saja cari-cari suara aneh. Ayo kita kembali saja. Takutnya Gusti Ayu Meitala menunggu kita."Menur membujuk Ratna."Sebentar dululah. Aku masih penasaran. Kenapa sih? Takut? Masak seorang prajurit wanita takut pada macan atau kucing hutan?"Sahut Ratna Widuri."Bukan itu. Kalau macan atau binatang hutan lain aku sih nggak takut. Tapi kalau..."Belum selesai Menur bicara Ratna Widuri menyambar omongannya"Jurig? Hantu?" Tanyanya."Aduh malah disebut, gimana sih?"Menur cepat-cepat menutup mulut Ratna Widuri."Lha kenapa memangnya?" Ratna Widuri melepaskan bekapan mulutnya dari tangan Menur."Kalau sedang di hutan kaya gini, pamali ngomong seperti itu. Nanti mer
Dyah ayu Meitala begitu gembira menyambut kedatangan Wiku Sasodara begitu pula dengan Kelwang dan Mpu Panukuh. Mereka menghaturkan hormat yang disambut dengan pelukan hangat juga oleh Sang Wiku. Dan persis seperti dugaan Wiku Sasodara, Mpu Panukuh, Kelwang dan Munding telah menjadi pemuda yang sangat tampan dan rupawan. Terutama Mpu Panukuh yang mewarisi kelembutan watak ayahnya dan ketampanan khas Sanjaya dan Pengging. Namun soal wibawa, Mpu Panukuh memiliki wibawa yang jauh lebih besar dari ayahandanya, hanya Mpu Panukuh juga memiliki kerendahan dan kebaikan hati ibunya."Senang sekali bertemu dengan Guru. Saya menghaturkan salam hormat." Kata Mpu Panukuh yang hampir saja berlutut di hadapan Sang Wiku jika saja Sasodara tidak menghentikannya. "Tidak Gusti. Gusti tidak perlu menghormati saya seperti itu. Gusti adalah calon pemimpin besar, maka Gusti tidak boleh memberikan sembah pada hamba sahaya seperti saya." Kata Wiku Sasodara."Guru adalah biksu Agung dan kedudukan Guru itu bisa
Jentra memacu kudanya menuju wilayah Rakai Gajahlewa di Gunung Gora. Ia meninggalkan Medang dengan diam-diam untuk mencari Rukma, Gaurika dan Ganika. Berita terakhir yang dia tahu adalah bahwa Rukma menyampaikan pesannya kepada Dyah Ayu Meitala yang sedang berada di Sapada, menuju Gora tetapi mereka berpisah jalan setelah Dyah Ayu Meitala memutuskan, mengikuti nasehat Wiku Sasodara untuk pergi ke negara Pali.Namun sayang setelah itu tidak ada kabar lagi tentang Rukma selain isu yang mengatakan bahwa Rukma telah bersatu dengan Mpu Kumbhayoni dan bergabung dengan kekuatan Gajahlewa. Rakai Gajahlewa sendiri meruapakan Rakai di bawah kerajaan Medang namun setelah surutnya Sanjaya, ia menolak untuk tunduk kepada Medang. Hal ini tentu saja membuat Jentra sangat khawatir."Siapa kau ki sanak? Berani sekali melintasi wilayah kami tanpa ijin. Batas barat Sungai Sarayu adalah wilayah Rakai Gajahlewa, dan untuk memasukinya kau memerlukan ijin." Kata dua orang ksatria dengan pakaian yang cukup m
Candrakanti yang menerima tanda mata dari Sriti berupa hiasan pinggang milik Jentra menahan kesedihan dan kemarahannya."Kakang Jentra kau tega sekali. Mengapa kau mengkhianatiku lagi, apa semua yang kulakukan untukmu tidaklah cukup?"Tangis Candrakanti. "Ada apa, Bu?"Tanya Gyandra pada ibunya. Candrakanti cepat-cepat menghapus air matanya supaya Gyandra tidak tahu kesedihannya."Tidak ada apa-apa ndhuk. Ibu hanya menunggu ayahmu, mengapa belum kembali juga?" Candrakanti berpura-pura tidak terjadi apapun. Gyandra tertawa melihat ibunya."Ibu ini lucu. Bukankah beberapa tahun selalu bersama ayah di Udarati, masak baru ditinggalkan sebentar saja sudah rindu lagi." Katanya."Kemarilah." Candrakanti memeluk putrinya yang telah beranjak dewasa itu."Nanti jika kau sudah menikah, kau akan merasakan bagaimana merindu pada suamimu dan kau juga akan merasakan apa yang ibu rasakan jika ayahmu belum kembali. Apalagi ini sudah hampir lebih enam minggu ayahmu belum kembali." lanjut Candrakanti."B
Purnama bulan Kaso baru saja berlalu. Dua orang berusia muda sedang berbincang di atas kudanya melalui jalanan yang berbatu.Sawah-sawah sudah tidak lagi nampak ditanami, tapi justru sudah mulai nampak menghitam karena sisa-sisa batang padi telah mulai dibakar. Pada masa seperti ini, petani sudah bersiap untuk menanam palawija karena hujan diperkirakan sudah tidak akan banyak lagi yang turun mengairi sawah-sawah mereka.Dua orang muda itu berkuda menyusuri sawah-sawah yang sebentar lagi akan mengering dengan berlindung dari terik matahari yang membakar kulit di bawah pepohonan yang berjajar di sepanjang jalan. Sepertinya, mereka berdua adalah para Panuran yang baru saja selesai memungut pajak dari desa setempat. Namun, baru saja mereka melewati tikungan yang menuju jalan hutan, mereka dicegat delapan orang bersenjata.Kedelapan orang bersenjata itu sepertinya adalah perampok yang memang suka mencegat petugas pajak dan merampas pajak negara yang tidak sedikit jumlahnya."Berhenti! Se
Jentra melanjutkan perjalanannya menuju Kedu di utara. Namun, ia harus melalui banyak sekali rintangan. Dari binatang buas yang mengganggu, badai pancaroba yang menghancurkan pepohonan, dan wanua-wanua yang kurang bersahabat terutama wanua atau watak yang dikuasai oleh Rakyan atau rama berwangsa Sanjaya. Namun, Jentra tetap harus menjalankan misinya untuk mengetahui wanua-wanua mana yang memang memiliki potensi melakukan pemberontakan.Selama masa perjalanan itu, ia merasa dibuntuti seseorang. Ia memang berpura-pura tidak tahu dan mencari kesempatan untuk meringkus orang yang membuntutinya.Sampai suatu malam, Jentra sengaja beristirahat di bawah pohon supaya penguntitnya mendekat. Ia sengaja tidak menambahkan kayu api dan pura-pura tertidur. Tidak berapa lama telinganya mendengar orang berbisik lirih."Apakah dia sudah tertidur?"Dari pendengaran Jentra. Penguntitnya adalah wanita dan tidak hanya satu orang, namun beberapa orang, tanpa Jentra bisa memastikannya."Sepertinya sudah,
Jentra baru sadar keesokan paginya. Ia berusaha mengingat semua yang terjadi, namun semuanya samar-samar.Akhirnya, Jentra berkemas untuk kembali ke Kedu dan memberikan laporan kepada Sri Maharaja Rakai Garung atas apa yang ditemukan dan dilihatnya. Namun, sesampainya di Sima Deruk, ia dihadang banjir bandang yang begitu besarnya.Hujan deras sudah hampir lima hari mengguyur Sima Deruk. Air Sungai Banjaran mulai meninggi karena terus menerus menerima curahan air langit yang tak kunjung berhenti."Emaaak! Bapaaak!"Jentra mendengar suara teriakan keras seorang anak di antara derasnya air banjir. Ia pun mengedarkan pandangan, lalu bertemu sosok yang terombang-ambing di atas sebuah rakit. Tubuh kecilnya mencoba melintas air yang semakin deras. Beberapa kali ia menghindari terjangan ranting besar dan kayu yang hanyut. Ia mencoba mencapai kebun pisang yang tidak jauh jaraknya dari rumahnya. Ia mendayung rakit dengan tangan kecilnya."Emaaakk! Bapaakk!!" teriakannya begitu menyayat hati. N
Jentra...Jentra!" Teriak Pangeran Balaputradewa dari dalam ruang pemujaan. Seorang abdi tergopoh-gopoh mendengar teriakan dari dalam dan segera bersujud di depan pintu bangunan besar tempat biasanya para bangsawan bersemadi. "Maaf Pangeran. Tuan muda Jentra belum kembali." Jawabnya sambil menghaturkan sembah. Pangeran Balaputradewapun membuka pintu utama balai semadi. "Belum pulang? Ke mana saja dia? Aku sangat ingin berlatih ilmu sapu angin yang baru saja kupelajari." Katanya."Benar Pangeran. Tuan muda Jentra belum pulang dari tugas yang diperintahkan Yang Mulia Sri Maharaja Rakai Garung untuk menyelidiki perdikan-perdikan yang dikuasai oleh wangsa Sanjaya."Jawab abdi balai semadi. "Hhhmm....sayang sekali. Padahal aku sangat ingin berlatih ilmu ini untuk menghadapi ilmu Danurwenda dan Astra Kenanga miliknya."Kata Pangeran Balaputradewa."Astra Kenanga? Apakah tidak terlalu berbahaya bermain dengan ilmu itu Mahamentri I Halu?" Tanya Wiku Wirathu, penasehat Sang Maharaja Rakai Gar