Pohon kebo dikenal juga dengan pohon Karet merah .
Belum habis ketegangan yang disebabkan oleh serangan Kemamang. Kelompok Jentra harus menghadapi kabut yang begitu pekat."Semua tenang, jangan panik atau ketakutan. Ini hanya kabut uap air biasa. Jadi kita tunggu semuanya menjadi lebih terang saat pagi nanti. Jangan ada yang meninggalkan tempat ini karena akan sangat berbahaya jika kita tersesat. Jurang menganga bisa dimana saja. Mantra yang kuucapkan akan melindungi kita dari hantu Kemamang tadi." Kata Wiku Sasodara."Jadi bagaimana ini sebaiknya?" Tanya Amasu." Kita bergantian jaga dan sebaiknya yang berjaga dua orang setiap kali." Kata Wiku Sasodara."Tapi kita bertujuh sekarang." Amasu menyela."Saat giliran Rukma, aku akan berjaga bersamanya dan Gaurika." Kata Wiku Sasodara."Benar. Jadi guru Amasu berjaga dengan yayu Sriti, kan?" Gaurika memastikan.Wiku Sasodara mengangguk. Amasu menghela nafas dan Sriti sedikit cemberut. Sementara Candrakanti mengangkat alis dan tersenyum dengan sedikit perasaan kemenangan bahwa Wiku Sasodara
Malam berlalu hampir tanpa istirahat. Semua orang nampaknya sangat lelah. Wiku Sasodara akhirnya memutuskan untuk memulai perjalan siang hari, supaya mereka yang kurang tidur bisa melanjutkan istirahat beberapa jam lagi. " Jentra, pergilah menangkap beberapa ekor ikan di sungai bawah sana. Setidaknya dagingnya bisa menambah tenaga untuk para wanita. Atau pergi tangkap babi dan rusa." Kata Wiku Sasodara."Biar kutemani." Sahut Sriti bersemangat. Candrakanti langsung melirik Jentra dengan pandangan yang kurang menyenangkan."Oh, tidak perlu! Tempat itu bisa jadi berbahaya."Kata Jentra."Biar dia pergi sendiri. Kau bantu Candra saja membuat sarapan untukku dan Amasu, karena kami tidak makan daging. Oh ya, aku membawa biji jagung dan millet, kalian bisa membuat bubur dari bahan ini." Wiku Sasodara mengulurkan bungkusan dari bondotan (semacam tas kain yang diikat ujung-ujungnya) yang dibawanya. Sriti sedikit kesal namun ia tak punya pilihan.Jentra turun ke mata air. Ia melihat banyak sek
Rombongan Sasodara dan Jentra mulai mendaki lagi selepas tengah hari. Mereka mulai memasuki hutan yang gelap dengan pohon-pohon besar yang bahkan tidak dapat dipeluk sepuluh orang bergandengan. Sulur-sulurnya juga menjuntai ke bawah hingga menyentuh tanah."Hati-hati dengan ular besar! Mereka sering mnyergap dari atas." Wiku Sasodara mengingatkan anggota rombongannya. Sungguh perjalanan yang sangat berat karena pendakian telah dimulai. Jalan yang cukup menanjak, berbatu atau berlumpur yang jika tidak hati-hati bisa membuat orang tergelincir. Candrakanti mengamati setiap pohon dan yang sulurnya bergerak ia waspadai, bisa jadi hembusan angin tetapi tidak jarang juga pergerakan seekor ular pohon sebesar-besar paha orang dewasa."Banyak sekali ular di tempat ini." Kata Candrakanti."Kau takut?" Ejek Sriti."Bukan takut, tapi geli saja melihatnya." Jawab Caandrakanti.Belum lagi keduanya diam dengan percakapannya, tiba-tiba seekor ular besar sebatang kelapa meluncur dan hampir saja melil
"Apakah sudah ada kabar dari Sriti?" Tanya Pangeran Balaputeradewa pada Karmika salah seorang sandi wanita yang diselundupkan Sang Pangeran di dalam pasukan sandi bentukan Maharaja."Belum, Gusti." Kata Karmika"Hah, apa sih yang dikerjakan Sriti sehingga ia tidak mengirimkan kabar apapun? Bagaimana dengan Rukma?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Kabar terakhir yang hamba terima justru dari panglima Jentra. Mereka masih berada di hutan larangan Suksma Ngulandara, Gusti." Jawab Karmika."Kepada siapa Panglima Jentra memberikan kabar tersebut?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Beliau mengirimkan kabar kepada Wiku Wirathu untuk disampaikan kepada Maharaja dan mengirimkan berita kepada penanggung jawab Pasukan sandi Gananendra." Jawab Karmika."Apakah kondisi mereka baik-baik saja, Karmika?" Tanya Pangeran Balaputeradewa lagi."Sejauh yang saya tahu dari berita sandi, mereka dalam keadaan baik-baik saja Gusti." Karmika memberikan keterangan lebih lanjut."Lalu, ada berita apa dari istana sej
Penyerangan Maharaja Rakai Garung terhadap Sima Kelasa dan Panaraban telah membuat Raja Pengging Basundra murka. Namun karena kebijaksanaannya dan kewibawaannya sebagai seorang Raja, ia tak mau melibatkan kepentingan negara untuk melindungi adiknya. Maka ia mengutus beberapa orang perajurit sandi Pengging untuk memeriksa keadaan, sekaligus memantau pergerakan para sanditaraparan yang diperintahkan untuk menyisir seluruh kerajaan, demi menemukan keponakan Sang Raja, Mpu Panukuh.Mereka yang diutus Sang Maharaja adalah, Panglima tertinggi Pasukan sandi Pengging yang bernama Anggaraksa, dimana ia memiliki kesaktian setara dengan Panglima Jentra kenanga, Nagarjuna, Karuna Sancaka serta Panglima Medang lainnya. Ia disertai oleh Gentala dan Jaladara yang juga memiliki kelebihan yang dapat dibandingkan dengan Rukma karena mereka ada di bawah bimbingan seorang brahmana yang juga tidak kalah sakti dengan Wiku Sasodara dan Candavira bernama Badra Bhavana dan Prapta Pratala.Ketiga orang yang
Kabut tebal yang menelimuti Udarati menjadi keuntungan sekaligus kerugian bagi para pendaki dilihat dari tujuannya. Panglima Nagarjuna dan beberapa orang anak buahnya yang memiliki misi khusus dari Maharaja Samarattungga untuk mengawasi pergerakan Wiku Sasodara dan rombongannya, menjadikan kabut ini sebagai keuntungan yang membuat semua gerak-gerik mereka tidak terbaca lawan. Hal yang sama dilakukan oleh Cayapata dari Kerajaan Pengging yang juga mengambil kesempatan untuk bisa mendapatkan Mustika itu. Sementara di sisi lain Panglima Sandi Kanjuruhan yang bernama Hatala-pun tak mau kalah untuk ikut di dalam pendakian, sekaligus mengawasi wilayah kerajaannya, yang mulai disusupi orang-orang Asing."Sudah berapa orang yang kau lihat Ihatra?" Tanya Panglima Hatala"Hampir kurang lebih dua puluh sampai dua puluh lima orang." Jawab Ihatra"Dari Medang semuanya?" Tanya Hatala memastikan."Tidak tuanku. Tapi ada beberapa dari Pengging Tatar Sunda dan Galuh." Ihatra kembali menanggapi pertany
Kabar dari Anggaraksa telah membakar hati Basundra, Raja Pengging. Maka diam-diam Sang Raja mulai mengerahkan pasukannya di perbatasan Barat, Utara dan Selatan. Sang Raja bahkan menurunkan hampir seratus lima puluh ribu pasukan. Dedamnya dipicu oleh perlakuan Maharaja Samarattungga atau Rakai Garung kepada kemenakannya.Hal ini-pun dilaporkan pada Kunara Sancaka oleh Ganandara sebagai anggota pasukan sandi Medang. Kunara Sancaka yang saat ini dalam kondisi sendiri, sedikit panik. Namun ia mencoba mengimbangi pasukan Pengging dengan mengerahkan seratus ribu pasukan yang terdiri dari tiga devisi berbeda. Ia bahkan memobilisasi para petani untuk memperkuat infantrinya.Pengerahan para petani dan warga sipil lainnya tentu saja membuat banyak Rakyan pemimpin Sima protes dengan kebijakan Kunara Sancaka."Panglima, tindakanmu ini benar-benar menyusahkan kami. Jika perang ini terpaksa dijalani, maka Medang tidak hanya akan mengalami kerugian militer saja, tapi juga kegagalan produksi pangan.
Wiku Wirathu-pun memohon memasuki perkemahan pasukan Pengging dan mohon untuk menghadap Raja Basundra. Namun jalannya dihadang oleh Panglima Anggaraksa."Selamat malam Wiku. Ada yang bisa kami bantu?" Tanya Panglima Anggaraksa kepada Sang Wiku."Selamat malam Panglima Anggaraksa. Saya mohon, jika diperkenankan saya ingin menghadap Raja Basundra untuk berunding dan menawarkan perdamaian." Kata Sang Wiku dengan suara yang lembut dan tenang."Sebaiknya Wiku kembali saja. Tuanku Basundra sudah pergi untuk beristirahat sehingga tidak ingin menemui siapa-pun. Beliau harus menjaga stamina untuk pertempuran besok pagi." Jawab Anggaraksa dengan sedikit pongah karena merasa kekuatan Pengging ada di atas angin. "Baiklah. Saya akan menunggu hingga beliau nanti terbangun pada saat pagi untuk memberikan persembahan pada Dewa Surya. Setelah itu biarkanlah saya bicara dengan paduka Raja Basundra." Jawab Wiku Wirathu."Hmm, apakah memang begitu sifat-sifat orang-orang Medang yang suka memaksakan kehe