"Baiklah, Bu. Saya pulang dulu kalau gitu," pamit Gayatri."Iya, biar hati kamu juga lumer kalau nanti di rumah." Bu Ratna terkekeh. Terlebih melihat reaksi Gayatri.Gayatri memandang Bu Ratna dengan segan. Dia memang tidak mengira kalau Bu Ratna tau dia marah sama Rendra.Sepanjang jalan yang mereka lalui Gayatri hanya terdiam. Jarak yang tidak begitu jauh dari rumah sakit, hanya sebentar mereka sudah sampai di rumah. Gayatri langsung ke kamar merebahkan tubuhnya."Aku kasih minyak kayu putih ya?" tanya Rendra..."Ghak usah. Ghak perlu repot-repot." Jawaban Gayatri masih sengol."Sayang,.. jangan lama-lama dong ngambeknya. Kasihan anakmu nanti kalau ketularan juteknya."Gayatri hanya mendengus menanggapi ucapan Rendra.Rendra yang lupa, segera mencium bibir Gayatri seperti kebiasaannya saat duduk di hadapan tempat tidur Gayatri. Rasa mual yang dari tadi mengaduk-aduk perutnya, seketika membuncah. Gayatri segera turun dari tempat tidurnya, berlari ke wastafel. Rendra yang baru ingat
"Rend, kamu mau balik saja. Sini duluh," teriak Artika."Aku agak telat ini, Ma." Rendra terburu-buru."Makanya jangan nglembur terus!" sindir Artika yang melihat rambut anaknya. Rendra menjadi malu. Dia memang sampai kesiangan gara-gara kecanduan Gayatri setelah seminggu lebih hanya ganggur. Apalagi setelah pertengkaran kemarin. Rasanya semalaman hanya menghabiskan malam bersama Gayatri masihlah kurang."Mama mau ngrunding acara selamatan kehamilan Gayatri.""Ma, ini sudah kesiangan. Rendra manut saja. Rundingan sama Gayatri bagaimana baiknya." Rendra langsung beranjak pergi. Apalagi melihat Bu Ratna sepertinya sudah sehat."Ok, Ok. Sana kamu pergi. Emang kamu pegawai negri, beda kayak papamu yang waktunya bisa lebih longgar semaunya. Karena kerja di perusahaan sendiri." Artika akhirnya menyerah. Lalu menatap Gayatri yang juga menampakkan sikap segannya setelah Artika mencandai putranya. Untungnya anak-anak Gayatri ada di luar, keliling-keliling kompleks rumah sakit."Aku tadi dian
"Ayu, nanti agak sore adikmu datang sama Nadin. Dia ingin membahas konsep pernikahannya dengan kamu." Pagi-pagi, Garnis sudah menelpon Gayatri yang masih di kamar. Rendra yang kebetulan libur karena hari Minggu, masih betah di belakang punggungnya yang menguping sambil tiduran.Gayatri kemudian menekan loos speaker. Walau begitu Rendra masih menempelkan tubuhnya di punggung Gayatri. Sampai Gayatri sering mengibasnya dengan sikunya."Jadi bener nih, Ma, ghak ada acara lamarannya?"Terdengar Garnis terkekeh, "Ya, ada dong, Yu. Cuma jaraknya ghak jauh sebelum nikahnya. Katanya keluarga kita juga sama saja, kok." Garnis terkekeh."Maksudnya?" Gayatri tak habis pikir dengan jalan pikiran Geisha.."Mama kurang paham apa maunya dua anak itu. Mungkin juga untuk lamarannya juga kali yang mereka ingin bahas sama kamu. Mereka sepertinya ribet banget maunya. Tapi mereka ghak ingin merepotkan kami, sekaligus tak ingin merepotkan diri, makanya pakai saja jasa kamu." Gayatri sekarang memang ber
Galuh sudah meletakkan handphone-nya dengan tangis yang tak lagi bisa dibendungnya. Gayatri mendekat dan memeluk anak gadisnya itu dengan sayang. Seolah dia melihat penderitaan yang sama yang pernah dia rasakan sebelumnya."Kenapa kamu tak memberi dai kesempatan untuk menjelaskannya?""Kalau yang namanya pria, di mana saja, sama, Bund. Kelihatannya baik, tapi di belakang kita, nertawain kita yang seolah-olah menjadi wanita bodoh. Bunda sendiri pernah mengalaminya, bukan?""Jangan kausamakan semua pria seperti ayahmu, Luh. Setiap orang berbeda.""Ujung-ujungnya juga sama, Bund.""Tenang, Luh. Tenangkan hatimu duluh. Jangan gegabah mengambil keputusan.""Aku bosan melihat penghianatan, Bund." Kembali Galuh terisak. Gayatri segera memeluknya. Dalam diam Gayatri merasakan kepedihan. Ternyata apa yang dialaminya telah membilurkan luka juga di hati putrinya. Ketakutan akan mengalami yang sama, kecurigaan yang sama.Gayatri tidak jadi mengatakan apa yangi ngin dia sampaikan untuk Galuh. Usa
Raksa sudah mulai menyanyikan lagu Bidadari Surga di sesi foto-foto. Lagu pertama yang dipilih Gheisha untuk mengiirngi foto mereka. Untuk pertama, kedua mempelai bersama kedua orang tua, Hadiwijaya dan Hariwijaya beserta nyonyanya berfoto. Disusul keluarga Gayatri yang berseragam sama dengan keluarga Hariwijaya. Baru keluarga besar Hariwijaya.Seluruh jajaran pengusaha yang hadir berfoto satu-satu mencandai mereka. Hadiwijaya dan Hariwijaya beserta nyonyanya.Galuh yang setelah sesi foto kembali ke bandnya, hendak menemani Raksa dicegat seseorang."Apa khabar, Nak?"Galuh tercengang. Orang yang selama ini seperti telah menghilang dari kehidupan mereka telah ada di depannya. Sebagai anak, kerinduan itu begitu bergayut di pelupuk matanya. Ditatapnya kembali pria tinggi besar berbaju batik yang kini nampak tampan dengan kulitnya yang kini bersih. Namun sekejab, kerinduan itu lenyap setelah pertengkaran demi pertengkaran, juga tiap kejadian yang ada kini terlukis dengan jelasnya di in
Hari telah menjelang sore. Suara adhan ashar telah berlalu. Gayatri sudah mematuk dirinya dengan berdandan secantik mungkin, sama seperti tiap hari Jum'at yang sering dia lakukan tiap sebelum sholat ashar. Diliriknya kalender yang berada di ruang keluarga. Ini adalah minggu ke empat setelah tiga minggu yang lalu suaminya tak juga nampak pulang. Dan Gayatri tak pernah lelah berharap akan kedatangan suaminya itu.Dia belum juga memasak, sementara sebentar lagi kedua buah hatinya akan pulang dari sekolah. Sengaja Gayatri berpuasa walau hari ini hari Jum'at, walau tak ada tuntunan untuk puasa hari Jum'at, selain puasa Daud yang dilakukan Gayatri. Setidaknya selain mendapat pahala, dengan puasa dia akan lebih menghemat pengeluaran, mengurangi jatah nasi yang akan masuk ke perutnya.“Assalamualikum!” Ternyata anak laki-lakinya sudah pulang.“Waalaikumussalam!” jawab Gayatri sambil mengulurkan tangannya untuk dicium putranya itu. “Kamu sudah lapar, Ling?” tanyanya hanya basa basi, dia man
“Apa?” Prayogi tak percaya dengan permintaan Gayatri. "Aku mencintaimu, aku takkan bisa hidup tanpa kamu," kata Prayogi menggenggam tangan Gayatri erat “Beri aku kesempatan, Tri. Maafkan aku!”“Kamu sudah menghianati kepercayaannku, Yah. Bagaimana aku bisa menerimamu kembali?” kata Gayatri sambil melangkah ke dapur, hendak memasak. Matanya sudah dipenuhi genangan air yang terus mengalir di kedua pipi beninganya. Seandainya saja dia tidak mengingat kedua buah hatinya yang akan pulang dan mencari makanan, dia akan mengurung dirinya di kamar dan menangis sejadi-jadinya. Hatinya teramat sakit dan terluka. Orang yang selama ini dia abdikan hidupnya dengan meninggalkan segalanya kini telah menghianatinya.Prayogi masih mengekornya. Memeluknya dari belakang. “Bund, maafkan aku! Ini uangmu selama aku tidak pulang,” katanya kembali sambil memberikan uang untuk digenggam Gayatri.Gayatri mengibaskan tangan suaminya. Uang yang dinantinya selama empat minggu berhamburan memenuhi ruangan dapur s
“Dari mana kamu, Galuh? Kenapa wajahmu habis di make up?”Terlihat Galuh berusaha menutupi mukanya. Namun Gayatri masih berusaha melihat dengan menarik tangan Galuh dan memegang dagunya. “Ini apa, Galuh? Apa yang telah kamu lakukan di luar sana?”“Dibilangi bukan apa-apa juga,” kata Galuh dengan melototkan matanya."Kalau orangtua ngomong itu yang sopan jawabnya. Kamu ghak tau betapa khawatirnya kami dengan mencarimu kemana-mana tadi," sahut Prayogi yang juga merasa curiga dengan kelakuan anaknya.“Apa yang kau lakukan dengan anak berandal itu?”“Maksud Bunda apa?” tanya Galuh yang sudah nglonyor ke kamarnya tanpa memperdulikan ayahnya yang baru datang setelah berminggu-minggu tak pulang. Dia bahkan memandang Prayogi dengan tatapan yang menghujat.Gayatri yang sudah panas hatinya dengan kelakuan suaminya, membuat makin panas dengan yang dilakukan putrinya.“Bukankah kamu keluar sama Raksa, anak band itu?"Galuh terdiam sejenak. Dari duluh bundanya mengatakan tidak suka dia dekat deng